Hatinya teriris-iris, gelar dokter yang diraih akan dipersembahkan kepadanya. Ia mau membuat gembira hati kakek di hari tuanya. Ia tidak dan belum berterima kepadanya tentang jerih payah mengasuh, membesarkan dan menyekolahkannya. Pada malam itu ia bermalam di gubuk tempat ia dibesarkan, ia bersembahyang dan mendoakan keselamatan di akhirat kakeknya. Di bawah sajadah ia yang di pakai sembahyang ditemukan sepucuk surat yang ditulis semdiri oleh kakek dengan bahasa daerah yang artinya cucuku yang kakek sayangi, dengan perjuangan yang cukup panjang dan berat namun membuatku bersemangat hidup. Gembiraku adalah kehadiranmu di sisiku, jiwaku telah kuabdikan demi masa depanmu yang cerah. Hari wisudamu adalah hari terakhir kuantar engkau cucuku dalam gerbang perjuangan terakhir. Rinduku padamu untuk bertemu setiap saat adalah rinduku akan keberhasilanmu mengukir nama. Maafkan kakek, cucuku! Aku tidak bisa menantimu untuk bersama lagi dalam satu perjalanan, sebab takdir Tuhan yang memisahkan kita. Biarlah gubuk tua dan kebun kesayangan kakek akan menjadi saksi bisu tentang arti perjuangan hidup seorang peengemis menjadi kakek. Satu pesan saya jika esok engkau menjadi "orang" janganlah menanusiakan binatang dan membinatangkan manusia sebagaimana kakek diperlakukan dahulu. Sebab kalau seperti itu maka di depan langkah kita bencana sedang mengintai. Abadikan hidupmu untukl menolong sesaa manusia. Dunia ini hanyalah persinggahan sementara. Kehidupan abadi adalah kehidupan yang aku jalani.
Seiring dengan perjalan waktu, dokter itu kini bekerja sebagai dokter ahli di salah satu rumah sakit ternama di Jakarta. Suatu hari ketika ia memeriksa seorang pasien, dia melihat ada kalung yang dipakai oleh ibu yang sudah lanjut usia persis sama kalung yang bergantung di lehernya semenjak dia masih kecil. Setelah diselidiki ternyata ibu itu adalah ibu kandungnya sendiri, berpisah semenjak kecil ketika tangan ibu dengan sekuat tenaga menggendong banyinya namun lebih kuat hempasan air, sehingga banyinya terlepas dari tangan. Alangkah gembiranya dia bisa hidup bersama ibunya. Namun ia tidak lupa selalu berziarah ke makam kakeknya di kampung. Disamping itu pula dia memberikan pengobatan gratis kepada seluruh warga masyarakat termasuk warga masyarakat yang jengkel ketika ia disekolahkan oleh kakek. Mulai saat itu warga masyarakat sudah terbuka matanya tentang arti dan pentingnya pendidikan. Investasi kepada anak akan lebih baik daripada invertasi kepada sawah dan ternak.