Mohon tunggu...
Asep Ariyanto
Asep Ariyanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas Koran Kompas

Asep Ariyanto, lahir pada 15 Dessember 1992 di Cilacap, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Berasal dari keluarga sederhana yang berkultur Jawa. Namun, beruntung, dapat mengenyam pendidikan formal di SD N 03 Kesugihan, yang cukup kental dengan nilai-nilai Umum, dan lulus tahun 2006. Selanjutnya meneruskan sekolah di MTs N 03 Kesugihan, tamat tahun 2009, dan di SMK Boedi Oetomo 2 Gandrung Mangu, tamat tahun 2020. Namun keberuntungan Tak berpihak padanya, karena selepas SMK Ia harus berjualan Es Doger. Kuliah di Jurusan Pendidikan Guru Madrasah, Di Institut Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG) Cilacap ditekuninya sejak tahun 2015. Di sini ia berjumpa dengan Dr. Juju Saepudin, S.Ag, M.Ag yang dipandang paling penting mempengaruhi semangat belajarnya, dan mendorongnya untuk berkecimpung di dunia Kepenulisan. Lulus tahun 2019 dengan Skripsi berjudul “Media Pembelajaran Berbasis Game Online”. Selepas meraih Sarjana Pendidikan Sejarah, aktivitas Asep Ariyanto lebih banyak dihabiskan waktu untuk mengajar dan menjadi guru tetap di MI YaBAKII Kalisabuk 01, sejak tahun 2016. Pada tahun 1995. Di luar kesibukannya sebagai guru, ia menekuni Youtube dan terlibat secara aktif dalam organisasi Ikatan Youtuber Indonesia. Sejak tahun 2017, Novel yang telah ditulis: 1. Perjuangan Sang Pengejar Mimpi; 2. Perjuangan Si Anak Pantai; 3. Kumpulan Cerpen Tentang Cinta Penulis ini dapat dihubungi pada HP & Whatsap 085702408169 Alamat e-mail: arimotivasi@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Arti Perjuangan Seorang Pengemis

26 Oktober 2020   10:34 Diperbarui: 26 Oktober 2020   10:41 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mereka mulai mendirikan gubuk yang terbuat dari bambu dan berdinding kertas karton. Hari-hari dilalui dengan perasaan senang. Pa Tua berkebun dan dibantu oleh anak itu. Hasil kebunnya dijual di pasar. Uang dipakai untuk membeli beras dan kebutuhan hidup sehari-hari, di samping itu pula sebagian disimpang untuk biaya sekolah anak tersebut. Setelah tamat di SD, anak itu berkeinginan melanjutkan di SMP. Walaupun berat permintaan tersebut dikabulkan lagi oleh Pa Tua, karena kebutuhan sehari-hari saja sangat sulit, apalagi usia Pa Tua semakin hari semakin beranjak dan tenaga sudah berkurang. Tiga tahun terlewatkan si anak ini bermohon lagi kepada Pa Tua agar dia dapat melanjutkan pendidikan di SMA. Dengan sangat berat dan rasa kasihan, Pa Tua mengabulkan permohonan si anak tersebut dengan catatan, ia harus berkerja lebih keras membantu Pa Tua berkebun.

Mulai hari ini, dia akan lebih giat bekerja dan belajar. Setiap hari ia berjalan kaki ke sekolah sambil memikul ubi kayu untuk dijual di dalam perjalanan dan untuk kantin sekolah. Hasilnya jualannyalah dipakai membayar biaya sekolah. Tidak terasa waktu terlewatkan dia sudah kelas tiga SMA. Setiap malam ia tidak bisa memejamkan matanya antara mau menyampaikan keinginannya untuk kuliah dan rasa kasihan pada Pa Tua, karena dengan sisa umurnya hanya dihabiskan untuknya. Sepantasnya orang seusia dengan dia, tinggal di rumah saja. Tetapi tidak seperti Pa Tua semangat kerjanya tinggi sekali demi anak itu.

Dengan niat tulus ia menyampaikan permintaan terakhir kepada Pa Tua bahwa setelah ia lulus nanti, ia berkeinginan melanjutkan ke bangku perkuliahan pada fakultas kedokteran. Pa Tua sangat terkejut mendengarkan keinginan itu. Anak muda seusia dengan dia yang orang tuanya dianggap berada memiliki banyak ternak sapi, banyak kebun dan pabrik penggilingan beras, mereka tidak memiliki cita-cita setinggi itu, apalagi hidup kita serba kekurangan antara bumi dan langit. Mereka hanya bermodalkan satu ternak sapi dan satu kebun ubi. Untuk sementara saya belum kabulkan permintaanmu cucuku, saya pikir-pikir dulu, ucap Pa Tua. Mulai hari itu Pa Tua berpikir keras untuk jalan terbaik anak itu. Di satu sisi tidak masuk akal kalau anak itu mau kuliah. Kuliah memerlukan biaya sangat banyak. Sisi lain adalah ia menghargai motivasi anak itu. Pa Tua sangat mengerti, dan tidak mau melukai perasaan anak itu. Pa Tua berniat anak itu tidak tercipta seperti dirinya yang terluntah-luntah bagai manusia yang tak berharga dan sampah di mata orang.

Dengan petunjuk Tuhan, Pa Tua berpikir bahwa langkah, jalan hidup manusia ada di tangan Tuhan, manusia hanya berusaha. Betapa berdosanya Pa Tua jika nasib dan masa depan anak lebih baik, namun Pa Tua yang tidak memberikan kesempatan dan membantunya. Apapun resiko akan saya pikul walaupun sampai perjauangan akhir demi perjuangan hidup. Pada suatu hari Pa Tua memanggil anak itu untuk mengabulkan permohonannya. Anak itu sangat berterima kasih, bersujud dan mencium kaki kakek tua itu. Kakek tua itu satu-satunya permatanya yang sangat disanyangi dan dikagumi. Setelah pengumuman, anak itu lulus terbaik di sekolahnya.

Mendengar si anak itu akan melanjutkan kuliah di perguruan tinggi, maka semua warga masyarakat yang ribut dan jengkel, sinis bahkan mengeluarkan kata-kata yang tak pantas didengar. Meraka mengatakan bahwa hari ini, kakek itu menjual kerbaunya, besok setelah cucunya kuliah, maka dirinya akan dijual pula. Pengusaha kampung mendatangi rumahnya agar si anak itu bekerja saja di sawah dan pabrik penggilingan padinya itu dan akan lebih bagus masa depannya. Namun kakek itu tidak berubah prinsip. Akibatnya orang-orang kampung tidak simpati kepada dia. Mereka katakan kalau suatu saat kakek itu kehabisan bahan makanan dan mati kelaparan, maka kami tidak akan membantu.

Suatu hari, hujan baru saja reda, si anak itu pergi ke pasar seperti kebiasaan memikul ubi kayu untuk dijual. Dalam perjalanan, ia mendapatkan mobil bagus terpeleset bannya pada jalan desa yang licin sehingga mobil itu tidak bisa bergerak. Ia dengan spontan menurunkan pikulannya dan membantu orang tersebut, hingga menjelang siang hari. Ia lupa kalau jam belanja orang di pasar sudah selesai, akibatnya pendapatan hari itu tidak ada. Tidak lama kemudian ban mobil sudah terangkat dan betapa terharunya orang punya mobil itu karena masih ada anak muda yang bersifat dan bersikap seperti itu. Tidak seperti anak-anak lainnya yang nakal, gois dan antisosial terutama di kota. Dia rela mengorbankan dirinya untuk membantu orang lain.

Orang itu memperkenalkan dirinya, ternyata ia adalah pengusaha kaya datang berkunjung ke desa itu untuk melihat kondisi lapangan dalam usaha menanam investasi. Orang kaya itu mengeluarkan uang dari sakunya dan diberikan kepada si anak muda itu, tetapi alangkah herannya karena anak muda mengembalikkan dan tidak mau mengambil. Katanya sudah sepantasanya ia membantu orang lain, apa ia miliki hanya sebuah otot. Walaupun dipaksa untuk menerima tetapi selalu ditolak sehingga orang kaya tersebut hanya dapat memberikan kartu nama bila suatu saat ke kota kiranya mencari alamat itu.

Menjelang ujian masuk perguruan tinggi fakultas kedokteran, ia pun mencoba mendaftarkan diri dengan bekal uang setelah sapi kakek dijual. Ia berangkat ke kota dengan membawa kartu nama yang diberikan oleh orang yang pernah ditolongnya. Alangkah kagetnya setelah melihat rumah megah pada alamat itu. Orang kaya itu menerimanya senang hati kalau si anak itu mau tinggal bersamanya pada saat pendaftaran. Dengan ucap terima kasih dan rasa syukur kepada Tuhan. Alhamdulillah setelah mengumuman, ia diterima di fakultas kedokteran. Kakeknya sangat bergembira bercampur cemas, jangan-jangan nanti cucunya macet di tengah jalan apalagi kalau ia sendiri sudah tua dan namanya ajal mungkin saja tidak lama lagi dipanggil menghadap oleh Tuhan yang Maha Kuasa.

Perkuliahan berjalan satu semester. Dia harus belajar dan bekerja lebih keras lagi untuk biaya kuliah. Si anak itu sambil kuliah dia bekerja membantu orang menambal ban, malam hari memberikan bimbingan belajar di rumah anak orang kaya itu, di samping itu pula selain kiriman dari kakek di kampung juga dia juga mendapat bea siswa dari kampus. Dengan demikian dia dapat membayar biaya kuliah dan rumah kost. Tiga tahun dia menempuh perkuliahan, tibalah saatnya untuk menyelesiakan perkuliahan. Betapa gembiranaya karena waktu yang dinantikan akan telah tiba yakni wisuda. Dengan semangat dan rasa gembira, sayang yang meluap-luap, ia mengabari kakeknya di kampung lewat sepucuk surat yang berisi bahwa cucunda telah selesai dalam perkuliahan dan semua itu berkat perjuangan hidup kakek dalam mengasuh, membimbing, nemelihara, membesarkan dan menghidupi saya. Jika bukan karena kakek maka saya tidak ada di dunia seperti ini. Saya mohon dengan sangat kakek berkesempatan dan tidak berkeberatan dan rasa senang dan bahagianya saya, kalau kakek saya jemput minggu depan untuk hadir dalam acara wisuda cucunda. Sebagai informasi bahwa cucunda sebagai lulus terbaik wisudawan tahun ini, insya Allah menurut dekan Fakultas Kedokoteran bahwa mahasiswa yang lulusan terbaik akan dipanggil langsung untuk bekerja di rumah sakit yang ternama di Indonesia setelah diwisuda. Sesuai dengan cita-cita cucunda, maka nasib kita akan berubah, kakek saya ambil dan saya bawah di mana saya bertugas. Kakek tidak usah bekerja lagi, saya mau kakek menikmati jerih payah kakek yang telah menyekolahkan saya.

Alangkah sedihnya anak itu, karena menjelang acara wisuda kakeknya tidak membalas suratnya bahkan tidak ada kabar sepatah kata pun tentang kondisinya. Memang selama dua bulan terkahir anak itu sibuk dengan penyelesaian studinya. Ia pun mencari kabar tetapi orang-orang ia temui tidak dapat memberikan keterangan. Sesuai janji kepada kakeknya untuk datang menjemputnya, sehingga ia berkemas-kemas pulang kampung. Jarak kota tempat kuliah dengan kampung sangat jauh. Perjalanan mobil selama dua hari baru tiba. Itupun terkadang harus jalan kaki menelusuri lereng-lereng gunung. Desa tempat tinggalnya memang dikategorikan desa terpencil. Jadi wajar kalau informasi tentang kampungnya terbatas ketika dia kuliah. Dengan semangat dan rasa gembira campur cemas ia hampir tiba di rumah kakeknya alias Pa Tua. Dari kejauhan rumah itu alias gubuk tua sepertinya sudah lama tidak berpenghuni. Dulunya banyak tanaman sayur-sayuran, bersih dari dedaunan, tetapi sekarang kelihatannya kebun di depan gubuk gersang dan ditumbuhi ilalang. Alangkah terkejutnya setelah melihat gubuk tua itu sudah kosong tidak berpenghuni lagi. Ia masih teringat ketika ia masih kecil bermain berkejar-kejaran, bercanda, bermain bersama Pa Tua di tempat itu. Ia melihat baju sehari-hari yang sering dikenankan Pa Tua tergantung di pintu. Alat kebun cangkul, sabit dan parang juga masih tergantung di dinding.

Lama ia duduk termenung, apakah kakeknya sudah pindah tempat? Tetapi kenapa alat-alat kebun tidak dibawa serta dan ke mana ucap dalam hatinya. Tanpa disadari tiba-tiba matanya tertuju pada gundukan tanah di samping kebunnya dulu. Ia merasa curiga dan mendekat, ternyata di atas gundukan tanah itu tertulis nama "Kakek Wafat, hari Kamis, 12 Agustus 2008. Entah di mana perasaannya berlabuh pada saat itu, sehingga ia jatuh pingsan tak sadarkan diri. Ternyata Pa Tua wafat menjelang hari wisudanya. Setelah ia siuman kembali, ia sadarkan diri, ia mengenang kembali masa-masa bersama Pa Tua ketika ia pungut dan dijadikan sebagai cucu dan berbagai macam perjuangan hidup yang dia tempuh bersama Pa Tua. Ia berteriak keras ke langit meminta kepada Tuhan agar dipertemukan dengan kakeknya walaupun hanya sejenak saja untuk melepaskan rindu dan mengucapkan terima kasih, tetapi apa buat kakeknya sudah berada di alam lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun