Mohon tunggu...
asek adi pidekso
asek adi pidekso Mohon Tunggu... Sales - Marketing

Marketing

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Musik Itu Dekat, Kamu Juga Bisa Berkarya!

11 Maret 2020   00:07 Diperbarui: 11 Maret 2020   01:07 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap tanggal 9 Maret kita merayakan Hari Musik Nasional. Ya, bagi para pecinta musik, termasuk saya, tentu sudah mengingat betul tanggal ini. Bila perlu, ada pengingat khusus di handphone maupun highlight di kalender supaya jangan sampai lupa untuk memasang status dan mengunggah foto terkait hari musik nasional. Lalu, bagaimana dengan orang yang merasa biasa saja terhadap musik?

Begini, pada dasarnya, setiap orang mengetahui apa itu musik. Orang awam pun bisa menggambarkannya dengan kalimat begini, "Itu loh, yang diputar di acara tujuh belasan kampung!", "Biasanya kalo acara kondangan atau pernikahan selalu ada!" atau "Nonton TV atau Youtube juga mesti ada!". Beberapa contoh kalimat di atas menggambarkan bahwa kebanyakan orang setidaknya tahu apa itu musik, meski tidak harus bisa memainkan alatnya maupun menyanyi dengan nada yang pas.

Padahal sebenarnya, segala sesuatu yang ada di sekitar kita bisa menghasilkan musik. Pernyataan ini mengutip salah satu komposer Tanah Air, mendiang Slamet Abdul Sjukur dalam sebuah acara pada tahun 2014 lalu di Surabaya. Kebetulah salah satu anggota tim saya, berkesempatan menghadirinya.

Sebelum Anda lebih jauh mengernyitkan dahi, saat ini saya mengajak Anda untuk hening sejenak, kemudian membuka telinga lebar-lebar dan hati yang penuh ketulusan. Coba dengarkan baik-baik dan resapi, kira-kira apa yang didengar di sekitar Anda? 

Mungkin embusan angin, gesekan sapu lidi dari tetangga sebelah, kicau burung, suara kucing yang lewat di depan rumah, atau bahkan ketukan dari kaki Anda sendiri yang tidak betah jika terlalu lama berdiam. Ya, hal-hal sepele itu yang sebenarnya mengandung musik.

Dalam acara yang digagas oleh Pertemuan Musik Surabaya (PMS) tersebut, Slamet menjelaskan bahwa ketidaksengajaan alam di sekitar kita itu jika dipadukan membentuk irama yang harmoni. Hanya saja, seringkali manusia kurang peka dengan keindahan alam ciptaan Tuhan berupa suara lantaran terlalu sibuk dengan kegiatan dan dunianya sendiri.

Untuk itu, Slamet mengajak seniman muda asal Surabaya, Gema Swaragita mengingatkan masyarakat untuk lebih peka dengan alam sekitar. Gema pun menggabungkan temuan-temuan suara di alam maupun tempat sekitarnya menjadi alunan musik yang harmonis. 

Tak kurang akal, suara pintu rumah yang tengah dibuka dan ditutup pun dimanfaatkan Gema menjadi komposisinya. Tertantang? Pastinya. Namun kolaborasi Slamet dan Gema membuahkan hasil berupa apresiasi dari masyarakat Surabaya yang hadir pada saat itu.

Apresiasi khalayak terhadap musik yang dihasilkan tentu tidak datang begitu saja, termasuk bagi Slamet dan Gema. Sebelumnya, mereka harus memeras otak habis-habisan untuk bisa meracik "ramuan yang pas" agar konsep komposisinya bisa diterima oleh masyarakat, terutama kaum awam. 

Berbicara soal karya termasuk dalam hal musik ini, saya dan anggota tim tentu tidak sebanding dengan Slamet Abdul Sjukur dan Gema Swaratyagita yang memang memiliki latar belakang pendidikan dan profesi dalam bidang musik. Namun, kami ingin membagikan gambaran sederhana ketika seorang musisi akan menulis sebuah komposisi.

Pertama, menentukan tema lagu yang akan ditulis

Musik -- dalam hal ini kita fokusikan pada lagu -- merupakan ekspresi dan ungkapan hati penulisnya. Untuk itu, keberadaan tema sangat penting karena menjadi pondasinya. 

Buat tema yang umum lebih dulu, misal cinta, persahabatan, edukasi atau hiburan. Kemudian, dari tema yang sudah ditentukan, kerucutkan lagi menjadi topik yang lebih sempit beserta gambaran alur ceritanya. Tema besar yang dipersempit ini akan memudahkan kita supaya lebih fokus.

Penentuan tema dan topik memang lebih mudah ketika berdasarkan pengalaman maupun curahan hati penulis. Namun tema dan topik juga bisa diambil dari pengalaman orang lain maupun ditentukan oleh pihak ketiga atau pihak pemesan lagu.

Kedua, menulis lirik lagu

Proses penulisan lirik lagu bisa dibilang cukup memeras otak karena kita harus membuat kalimat dari alur cerita yang ingin kita sampaikan ke audiens. Namun, kalimat yang disusun cenderung terbatas alias tidak bisa semudah kita bercerita biasa atau menulis cerita pendek atau cerpen. 

Simpel, namun pesannya bisa "sampai". Seringkali revisi terus dilakukan untuk membuat lirik yang pas. Belum lagi, jika kita ingin membuat rima atau kesamaan suku kata pada bagian akhir kalimat.

Dalam proses penulisan lirik lagu, kita harus membaginya dalam beberapa bagian, seperti bait, reffrain, coda, hingga ending. Biasanya, bait menggambarkan bagian awal atau proses dari alur cerita.  

Reffrain seringkali menjadi poin utama dari lagu. Sedangkan coda yang tidak selalu ada dalam sebuah lagu, biasanya memberikan penekanan khusus dan hanya ada sekali dalam sebuah lagu. Berbeda dengan bait dan reffrain yang dapat diulang-ulang kata maupun nadanya. Sementara ending, menjadi pemanis di akhir lagu.

Ketiga, memberikan nada pada lirik lagu yang telah ditulis

Nada menjadi kunci utama sebuah lagu, selain liriknya. Menjadi nyawa sebuah lagu, tidak heran jika penulis lagu memberikan waktu dan energi khusus untuk menentukan nada-nadanya.

Di awal, kita perlu membayangkan, baiknya lagu ini memiliki genre apa karena setiap genre memiliki nyawanya sendiri. Sebut saja genre musik rock yang khas dengan rythim section dengan gitar bass, drum dan keyboard, didukung dengan beat atau ketukan yang konsisten yang konsisten dan mencolok. Tentu sangat berbeda dengan genre musik balada atau ballad yang berbentuk narasi dan kerap dimaknai sebagai lagu cinta.

Selanjutnya, tinggal memasukkan nada-nada yang diinginkan, sesuai dengan genre-nya. Pasalnya, setiap genre musik ditambah dengan kultur musikal yang berbeda dari setiap bangsa memiliki sistem skala nada yang berbeda. 

Beberapa di antaranya: tetratonik atau skala empat nada, pentatonic atau skala lima nada heksatonik atau skala enam nada, heptatonik atau skalatonik, dan diatonic atau skala yang menggunakan dua interval , yaitu tangga nada setengah dan tangga nada penuh. Di Indonesia sendiri, terutama Pulau Jawa dan Bali, ada dua genre skala pentatonik yang biasa kita kenal dengan titi laras sendro dan pelog.

Keempat, coba nyanyikan, mainkan, dan revisi

Setelah lagu jadi, sebaiknya segera nyanyikan dan mainkan dengan alat musik sederhana, seperti gitar atau piano. Ini adalah fase trial and error di mana revisi akan banyak dilakukan setelah menemukan kejanggalan saat menyanyi dan memainkan alat musik. 

Kejanggalan yang dimaksud di sini akan ditemukan ketika kita menggarapnya dengan hati. Tidak heran, nanti kita akan sering berkata, "Kok kayak ada yang kurang pas deh di sini."

Kelima, dokumentasikan karya

Ketika lagu sudah jadi, kurang pas rasanya jika hanya disimpan sendiri dalam catatan pribadi. Di era modern seperti sekarang, lebih baik segera wujudkan karya nyata dengan merekamnya. 

Kalau mau kualitasnya istimewa, memang proses pembuatan audio dan video dlakukan secara terpisah. Lalu, segera posting ke situs berbagi seperti soundcloud, youtube dan sebagainya. Jangan lupa untuk dibagikan di media sosial supaya banyak orang bisa melihat karya kita !

Ini salah satu karya kami:


Kamu sudah siap menulis lagu ?

Kediri, 10 Maret 2020

Anggota tim :

Asek Adi Pidekso

Luana Yunaneva

Daniel Padno Andayono

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun