Mohon tunggu...
Asdal Angkar
Asdal Angkar Mohon Tunggu... Relawan - Pelajar

Manusia dan muslim

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Uang yang Kami Sembah..?

26 Mei 2024   17:25 Diperbarui: 2 Juli 2024   14:54 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Background : Pexels (Reynaldo)

Berdekade kami berlalu

Menanjak satu garis keriput

Memudar ingat dan syukur

Baca juga: Pohon Berlambang

Dan memuja semua pencapaian

________________________

Masa muda, hati datang dan pergi

Berkata kasar-lembut beralas status

Penyeganan, bukan penghormatan

Manusia dipandang sebagai penghalang

________________________

Berlarut hari diganti

Kehidupan tiada berarti

Kecuali nominal di dahi

Penentu kelayakan diri

________________________

Di masa jaya, menyembunyikan tangan

Pada manusia yang terdampak sengsara

Di masa pelik, mengacungkan jari

Berkeluh kesah, pada Yang Maha Kuasa

________________________

Di dalam doa, suatu monolog

Karena Tuhan tiada di hati

Hanya modal dan laba yang terbenak

Sedang ketulusan hati sudah terbenam

________________________

"Oh Tuhan, aku senang memberi

Jika Engkau mengganti lebih"

"Oh Tuhan, aku sudah memberi

Cepatlah bayar diriku"

Demikian, hening maupun bising

Tuhan hanya seyogianya perantara

________________________

Kompas hati, ditentukan sebuah nilai

Kaya, boleh lah sombong

Miskin, harus lah iri

Rival, segera lah mendengki

________________________

Dan keselamatan beratap kepalsuan

Membohongi diri, menipu keluarga

Karena suatu terpaan narasi 'seharusnya'

Hingga membiarkan kepunahan hati terjadi

"Tak apa, selama diri dipandang eksistensi"

________________________

Pedoman hidup pun mulai berguguran

Perkataan benar, untuk mereka yang selaras ego

Doktrin agama, agar Tuhan melimpahkan kejayaan

Baik-buruk bukan lagi tangga melodi

Karena untung-rugi sudah menjadi realisasi

________________________

Hati pun mulai terjual

Sebelumnya merdeka, kini dalam penggembokan

Berempati untuk yang menderita, usang

Berharap bahagia dalam sederhana, naif

Belajar hidup bukan karena uang, buntu

Dan mendermakan diri untuk maslahat, gurau

________________________

Hingga dunia banyak restriksi

Semua keharusan mengacu pada keuangan

Semua larangan mengacu pada keserakahan

________________________

Kebebasan? Iya, bebas memilih

Diagungkan masyarakat atas limpah perhiasan

Atau diabaikan walau berbakti untuk kebaikan

Yang tiada mendatangkan segenggam kemegahan

________________________

Maka, dimanakah kehormatan?

Jika manusia mudah sekali dinilai

Dan Tuhan didambakan layaknya khayalan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun