Mohon tunggu...
ary prakasa
ary prakasa Mohon Tunggu... -

Seorang yang ingin tahu tentang dunia jurnalistik dan sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tidit...Tidit... Part 1

31 Maret 2014   05:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:16 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tidittidit..”

Bunyi ponsel Luna terdengar menggema di udara.
Ponsel itu ia letakkan di atas sebuah meja belajar di kamarnya. Ponselnya beberapa kali berdering mengeluarkan nada yang sama. Namun, Luna tidak meresponnya. Ya, Luna masih terlelap. Tampak kelesuan di wajahnya. Kantung matanya yang masih hitam, menunjukkan betapa larutnya ia tidur tadi malam. Buku nya masih berserakan di atas meja yang ia tiduri. Tanpa selimut, tanpa bantal. Namun, ia tampak nyaman dengan semua itu.

2 jam berlalu, Luna masih tertidur pulas. Tiba-tiba tangan kiri Luna menggeser ponselnya. Dan—

“Bruak!”

Ponselnya jatuh dan berserakan di lantai. Bagai tersambar petir, Luna langsung terbangun.

“Astagfirullah!” Kalimat itu refleks keluar dari bibir wanitu berusia 24 tahun itu.
Tampak wajahnya yang masih kusut, malah semakin kusut melihat ponselnya. Ia segera menyatukan komponen ponselnya dan menjadikan satu kembali. Dengan lihainya, ia sudah selesai mengotak-atik ponselnya itu. Ia begitu lihai, karena ia sudah sering menjatuhkan ponselnya sewaktu masih duduk di bangku sekolah. Ceroboh. Itu lah yang sering ia dengar dari teman temannya dulu.

Kini ia bukanlah menjadi sosok yang dulu. Ia kini telah bermetamorfosis. Baik luar maupun dalam tampak begitu anggun. Layaknya kupu-kupu, ia banyak disenangi oleh teman teman di kampusnya. Penampilannya yang begitu sempurna dalam berhijab, menjadikan ia banyak di buru oleh para ustadz, dan pemuda di daerahnya. Namun, Ia menolak semuanya. Bahkan artis pun ada juga yang hendak meminangnya, namun ia tolak.

Penolakannya itu bukan tak beralasan. Menurut teman-temannya, ia masih belum minat untuk itu. Ada juga yang mengatakan kalau ia merasa tidak tertarik pada lelaki di daerahnya itu, karena ia jarang sekali berinteraksi dengan lawan jenisnya. Paling paling hanya pada rektornya, atau pada orang orang tertentu dengan kepentingan tersendiri yang menyangkut kuliahnya. Karena prilakunya itu, ia dijuluki sebagai Tytania ‘s Flower.

Tak lama setelah ia menghidupkan ponselnya, tampak 2 pesan belum terbaca. Kedua pesan itu dari pengirim yang sama, Flynn. Sosok pemuda yang sudah lama ia kagumi. Bagi Luna, Mungkin lebih dari perasaan kagum maupun respect. Tapi lebih kepada perasaan yang begitu dalam dan pekat dan hanya diketahui dan dimengerti oleh Luna. Karena bila ia menerima pesan dari pemuda itu, pasti selalu ia akan tersenyum bahagia. Terkadang ia suka ketawa sendiri bila menerima pesan tersebut. Walau sedang gundah dan galau menerpa pelabuhan hati Luna, Selalu saja sms dari nya mampu membalikkan suasana hati Luna.

“tit… tit..” Bunyi ponsel Luna terdengar. Ia sedang membuka pesan tersebut.

Loading… Teng Nong!

“Assalamualaikum?
Akhirnya tiba juga hari ini. Jangan sampai terlambat ya. ”
31/05/2013 08:15:12

Ia hanya tersenyum melihat sms ini. Lalu ia membuka pesan yang satu lagi.

Loading… Teng Nong!

“Assalamualaikum?
Dasar… Mau sampai kapan tidurnya buk… Udah 2 jam nih. Kalau tidak cepat, keburu hujan. Kakak tunggu di tempat yang biasa. Di Pohon Merah Muda”
31/05/2013 10:16:14

“Astagfirullahaladzim!” Sentaknya kaget melihat sms yang kedua itu.
Dengan segera ia langsung menuju kamar mandi.

“Zep..zep..zep” Gerakannya begitu cepat dan penuh dengan semangat.

11.11
Matahari mulai menjulang tinggi. Langit tampak biru yang diterangi oleh cerahnya sang mentari. Kicauan para burung menghiasi suasana Bukit Sinubu. Semilir angin yang berhembus, menerbangkan daun daun yang layu tanpa arah. Tampak dari persimpangan jalan kecil itu, sosok seorang gadis sedang terengah engah berlari menuju pintu masuk ke bukit Sinubu.
Bukit itu merupakan salah satu objek wisata yang cukup terkenal. Dahulunya sih begitu, namun seiring perubahan zaman, ada sebuah fenomena misterius yang menyebabkan tempat ini tidak dijadikan tempat wisata lagi. Karena hal itu lah, tempat ini menjadi tempat yang cukup angker bila di malam hari, katanya.

Pohon Merah Muda letaknya sekitar 400 meter dari pintu masuk bukit Sinubu dan berada pada ketinggian 100 meter dari permukaan tanah. Pohon Merah Muda merupakan salah satu ikonnya tempat wisata ini dulu. Karena warna daunnya yang berwarna pink dan bentuknya yang cukup unik, maka disebutlah Pohon Merah Muda.

Untuk mencapai pohon itu, maka diperlukan waktu sekitar 30 menit dari pintu masuk bila berlari. Dan 45 menit bila berjalan dengan santai. Untuk menaiki bukit tersebut harus melewati tangga-tangga batu yang cukup banyak. Maka bila yang fisiknya lemah, mungkin akan kelelahan bila sampai di pohon tersebut. Tapi bagi Luna, tempat ini sudah ibarat rumah. Ia tahu semua jalan pintas yang ada di daerah ini. Karena waktu kecil ia sering banget tersesat di sini. Pengalaman Luna begitu dalam akan tempat ini. Penuh dengan hal hal yang membuatnya tertawa bila ia mengingatnya.

Tibanya Luna di pintu masuk yang berbentuk gapura itu, menorehkan senyuman kecil di wajahnya yang cerah dan bersemangat. Keringat yang mengalir di pelipisnya, terus ia seka. Ia berhenti sejenak bukan karena lelah. Tapi ia malah terdiam sambil menutup matanya. seperti sedang menetapkan hati.

Keheningan pun tiba menyelubungi Lingkungan sekitar tempat ia berdiri. Sang mentari pun mulai menarik selimut tebal miliknya. Cuaca pun mendung.

Tak lama ia berdiam diri, lalu ia langsung berlari menyusuri tangga menyusuri tempat itu. Langkahnya yang tanpa henti itu tak terlihat lelah sedikitpun. Semangat dan kekuatan yang ia miliki saat ini seolah olah seperti para pejuang kemerdekaan, yang tak gencar pada apapun. Menakjubkan.

Dalam beberapa menit ia telah tiba di bagian tengah dari tempat ini. Di tengah tempat ini terlihat begitu menawan, walau pondok dan rumah di sini tak ada lagi yang menempati, namun masih cukup terawat. Di sebelah barat tempat ini, terdapat sungai kecil yang dangkal. Dasarnya bisa terlihat jelas. Tinggi airnya sekitar semata kaki. Di sebelah timur tempat ini terdapat sebuah panorama kota yang terlihat begitu indah. Namun mendung menutupi keindahan itu.

Sekitar 180 meter lagi, ia akan tiba di pohon itu. Namun dengan menggunakan jalan pintas, ia bisa memendekkan jarak menjadi 90 meter. Luna dengan segera menuju ke jalan pintas yang ia ketahui itu. Namun…
“Aduh! Gawat!” jerit gadis belia itu dalam hatinya ketika ia melihat bahwa rute itu telah ditutup oleh bebatuan dan tanah. Tanpa pikir panjang, ia terpaksa menelusuri rute yang biasa. Walau begitu, keceriaan di wajahnya tidak bergeser sedikit pun. Dengan lincah ia terus menelusuri jalan itu dan meninggalkan jejak kaki di tanah basah.

Pohon merah muda yang besar itu kini hanya sebuah kayu besar nan lapuk. Batangnya tak lagi sekeras dahulu. Rantingnya tak lagi dipenuhi dedaunan. Kerindangan telah hilang.

“Kini tak ada lagi yang akan mau berdiri di bawah naunganmu, wahai pohon tua” terdengar suara dari sesosok lelaki yang berdiri di dekat pohon itu.

Tangannya ia letakkan di batang pohon seolah ia sedang berkomunikasi dengan pohon itu dan berusaha merasakan kehidupannya. Namun pohon tak meresponnya. Bukan tak ingin, tapi tak bisa.

11.44
Luna tiba di tempat itu. Tempat dimana pohon itu berada. Ia masih belum bisa menegakkan badannya karena kelelahan. Nafasnya masih tidak teratur. Keringat itu tak lagi ia seka dengan tangannya. Melainkan handuk untuk mengelap keringatnya.

Perlahan ia mulai menegakkan badannya. Kelelahan tak lagi tampak di wajahnya. Sekarang hanya senyumanlah yang menghiasi wajah gadis cantik itu. Matanya berbinar. Pandangannya terpaku pada satu hal. Pria yang berdiri dengan topi hijau di kepalanya. Berjaket hijau dan celana jeans hijau pekat. Serba hijau kecuali baju kaos nya, yang berwarna putih.

Luna mulai berjalan perlahan mendekati pria itu. Ia tidak dapat melihat wajahnya karena pria itu searah dengannya. Ia terus mendekati tanpa ada kebimbangan hati. Matanya begitu bening tanpa keraguan. Langkahnya pun perlahan semakin cepat. Tak sabar lagi, tak tahan lagi, dan tak sanggup lagi Luna menahan kerinduan yang telah lama terpendam. Rindunya terhadap Flynn begitu besar. Sehingga kecepatan Luna dalam melangkah begitu cepat dan penuh hasrat. Air mata tampak menyertai langkahnya. Berderaian jatuh ke tanah.

Jarak antara mereka mulai mengecil. Terus mengecil. Dan tibalah Luna di sana. Satu meter ia berdiri dari pria hijau itu. Luna hanya bisa melihat punggungnya. Luna tak sanggup berbicara. Ia hanya menatap punggung pria itu. Ia jadi begitu nervous. Tangannya memengang erat roknya. Bibirnya terkunci rapat. Keberaniannya tak jua muncul.

“Jika kau mengatakan apa yang kau rasakan, maka perasaanmu itu akan sampai pada orang lain dan mereka akan mendengarnya. Itu pasti! Iya kan, Luna?!” Sambil lelaki itu berkata, ia membalikkan badan menghadap gadis jelita itu.

Seketika itu cuaca menjadi mendung. Langit biru itu, kini kusam. Tak ada siulan burung yang centil. Tak ada ringkikan jangkrik. Hanya angin yang mulai membawa suhu rendah. Wajah lelaki itu tertutup oleh bayangan awan. Namun, setebal apapun itu, Luna tahu betul siapa dia.
Air matanya yang mengalir tiba tiba berhenti. Ia hanya terbengong. Terkejut.

“F—Flay!”
“Yo!” Respon pria hijau itu yang ternyata bukan sosok yang diinginkan Luna.
Sambil mengelap air matanya, ia coba menahan emosi yang tadinya hendak meluap. Ia coba tuk menatapnya dengan tatapan yang biasa.
“K—Kenapa kau disini, Flay!? Bukannya kau ada mata kuliahan tambahan?” Sentak wanita berhijab itu dengan intonasi agak terbata.
“Itu… eh, anu—”
“Hmm, jangan jangan kalian buat kejutan lagi ya. Aku benci kejutan. Apa lagi kalau kejutan yang kalian rancang. Pasti menyakitkan hati. Nusuk banget!” Jelas Luna bak guru sejarah.

Memang dari dulu, Flynn dan Flay selalu buat Luna menangis. Namun Flynn lah yang menenangkannya di saat ia terlalu keras menangis. Kejadian itu kira kira sudah sekitar tiga tahun. Awal dari pertemuan mereka adalah ketika Luna menjatuhkan ponselnya ke sungai dangkal dekat sekolah. Flynn datang dan menolongnya. Sejak saat itu mereka berdua mulai dekat. Kalau Flay, Ia merupakan adik angkat Flynn. Ia masuk ke sekolah disaat Flynn kelas XII. Dan di saat itu Luna dan Flay satu angkatan. Dan itu membuat mereka bertiga menjadi benar benar akrab.

Luna begitu antusias menunggu respon Flay. Namun Flay hanya terdiam. Tertunduk. Seketika itu suasana menjadi mati. Angin mulai berhembus kencang. Langit mulai pekat. Tampak kilatan telah mempotret mereka berulang ulang.

“Hey, Flay. Kenapa malah diam…, Biasanya kamu akan ribut dan beradu argumen yang gak penting. Tapi, kenapa malah diam?” Luna berusaha memecahkan kesenjangan waktu.
Namun Flay tetap belum merespon. Ia hanya tertunduk. Wajah Luna tampak cemberut dengan dahinya mengerut.
“Aku akan beritahu sesuatu yang spesial. Asal kamu mau janji sesuatu padaku? Gimana?”
Flay akhirnya mulai membuka mulut lagi. Mendengar itu, Luna hanya mengangguk. Tapi sebelum itu, tampak sekilas wajah Luna yang penuh kekecewaan. Flay tahu betul maksud dari ekspresinya itu. Dalam sekejap itu juga, Luna berubah menjadi riang kembali.

“Lun, sebenarnya…”
“hmm…”
Mata Flay menjadi liar. Ia seolah olah tak mau menatap Luna.
“Sebenarnya…”
“Kamu mencintaiku..” Sambung Luna dengan suara mengejeknya dan diikuti dengan gelak tawanya.
“B—Bukan itu!” Flay melayangkan statement keras.
“Sok kejam! Merah pun pipi itu…” Goda Luna

Luna tidak tahu persis bagaimana perasaan Flay padanya. Ia suka menebak nebak dan membuat Flay terkadang terkejut. Suasana mulai hening kembali. Kali ini, awan lebih tebal. Tampaknya Flay harus cepat.

“Lun, kamu janji ya kamu gak akan nangis?”
Setelah Flay bertanya. Luna malah asyik melirik ke sana kemari. Matanya liar. Entah apa yang ia cari.
“Lun!” Flay memegang bahu Luna sekejap lalu melepasnya lagi. Ia bermaksud agar Luna menjadi serius.
“Iya.. iya.. Aku Janji.” Balas gadis itu santai
Flay melanjutkan bicaranya
“Sebenarnya…”
“hm”
“Sebenarnya…”
“…”
“Sebenarnya Kak Flynn telah MATI!” Dengan kuat Flay berteriak disertai bunyi Guntur yang keras.
“!”

Mendengar hal itu, wajah Luna berhenti berekspresi. Ia coba tuk menyanggah Flay.

“Apa maksudmu, Flay? Flynn masih hidup. Lihat ini.” Seraya mengatakan itu, Luna mengambil ponselnya dengan tangan yang gemetaran hebat.
Lalu ia menunjukkan sms dari Flynn. Ia memperlihatkan semua sms itu pada Flay.
“Maksud kamu ini Lun?!” Flay juga mengeluarkan sebuah ponsel.
Ponsel itu amat Luna kenal. Warna hijau dengan garis putih di tengahnya. Itu milik Flynn.
“B—Bagaimana?! Apa! Maksudnya!?” Luna bingung.
“Semua sms sms itu aku yang mengirimnya, Lun.”
“Sejak kapan?”
“Sejak Ia pergi keluar kota. Ia meninggal setelah beberapa hari ia berangkat.”
“Itu… sudah satu setengah tahun.” Jawab Luna lemas

Matanya kini terlihat kelam. Wajahnya Lesu. Ia seolah setengah sadar. Pandangannya tidak menuju manapun. Ya. Luna saat ini sedang memutar balik memory yang ada di ingatannya. Kenangan itu, tawa itu, tangisan itu, senyuman itu, tak sadar telah membuatnya mengalirkan air mata. Tanpa ada isak tangis, air mata itu terus mengalir. Hujan mulai turun, dan membasahi mereka dengan cepat. Kini tak ada yang tahu, sudah berapa banyak air mata yang Luna luapkan. Awalnya air mata itu ia simpan untuk tangisan kebahagiaannya, tapi ia malah mengeluarkannya untuk kepahitan ingatan yang menggores relung hatinya.

Pakaian mereka basah. Tak satu pun dari mereka beranjak pergi. Mereka terdiam seperti patung. Tidak tahu apakah Flay juga menangis dikala itu juga. Yang jelas, kesenduan telah menyelimuti keduanya saat ini. Setelah beberapa menit terdiam di dalam hujan yang tak begitu deras lagi. Flasy memberanikan diri untuk mengatakan sesuatu

“Lun, Aku akan beritahu semuanya. Apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa aku berbohong. Mengapa bisa seperti ini. Aku akan jelaskan semuanya, Lun!”
Luna tak merespon. Ia terlalu larut dalam kesedihannya.
“Itu semua bermula ketika perpisahan itu, Saat perpisahan dengan murid kelas XII. Di hari yang penuh dengan bunga…”
Ya, Di hari yang penuh dengan bunga yang terkembang lebar di angkasa. White Carnivals…

To be Continued…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun