Mohon tunggu...
Fiksiana

Hienze Bersaudari

10 Maret 2019   15:15 Diperbarui: 10 Maret 2019   15:25 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

HIENZE - 1

Adena POV.

Gue Adena Henzie, saat ini gue sedang memandang indahnya langit terbentang luas di hadapan gue, dengan cowok yang bener bener gue sayang. Duduk bersila, di atas fender depan mobil Jeep milik Zee, di pinggir danau. Sesekali gue memandang bulan yang bersinar indah, kemudian beralih memandang Zee yang ada banyak persamaan dengan bulan.

Zee itu pacar gue. Baru dapat 5 bulan ini, gue pacaran sama dia. Dan hari ini tepat anniversary kita. Iya, saat ini!!! Dia memberikan hadiah yang sangat luar biasa indah. Dimana gue bisa menikmati indahnya hari dengan menatap bulan bersamanya.

Iya, memang sesederhana itu. Tapi begitu membekas dalam memori indah.

Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Gue memutuskan mengajak cowok itu segera mengantar gue pulang. Pulang. Pulang. Pulang. Hanya Adeva Henzie alasan kenapa gue perlu pulang ke rumah itu.

Cewek itu sudah melipat kedua tangannya di depan dada, mondar mandir di depan gerbang rumah, tatapannya terlihat kesal. Gue bisa lihat jelas itu sebelum menuruni mobil Jeep milik Zee. Spontan, gue mengendus. Perasaan menjadi tidak enak. Pasti si Deva mau marahi gue habis habisan di depan rumah. Kaya nini-nini cerewet. Biasa, sifat mama gue nurun ke dia.

Hanya ke gue dia bawelnya setengah mati. Entah kenapa, gue hanya bisa memaklumi, dan sedikit bersyukur. Meski mama sudah tiada, setidaknya ada yang suka marahi gue kalau pulang terlambat.

"Pulang telat lagi, hebat." sapanya, bertepuk tangan ria. Seolah gue memenangkan medali emas tingkat nasional. Terdengar suara tawa Zee dari dalam mobil, sebelum cowok itu benar benar meninggalkan pekarangan rumah.

"Papa sudah ngomel ngomel di dalem. Dari tadi marahin gue mulu, karena lo enggak pulang pulang . Lo udah kelas 12, Dena!!"

Gue terkekeh mendengar Papa ngomel ngomel tentang gue. "Basi, lo. gak mungkin. Masa peduli dia sama kita!"

Adeva ikut terkekeh, "Udah kelas 12, Den." Merangkul lengan gue, menariknya memasuki rumah. Yang mungkin enggak pantas disebut rumah. Karna rumah itu tempat orang orang menunggu kehadiranmu.

"Gue percaya lo bisa jaga diri baik baik, nilai lo lumayan lah. Tapi gak baik buat kesehatan lo, Den." ujar nini-nini cerewet itu.

"Gue keluar cuman week-end doang kok," gue melakukan pembelaan, yang mungkin Adeva sudah bosan mendengarnya.

"Tapi lo dari pagi sampe malem jam 10. Lo enggak capek?" Adeva masih cerewet seperti biasanya.

"Enggak, gue seneng. Kan sama pacar. Lo sih, memang harus membuka diri lagi, Dev. Lo gak bisa terus terusan  iri sama gue. Gafa gak bakal kembali lagi. Makanya  cari pacar! biar bisa sama sama keluar bareng!" sebenarnya gue enggak bermaksud menghina Adeva karena kejombloannya selama 2 tahun ini yang mungkin dia masih gagal move on dengan mantannya. Gafa, anak SMA Dirgantara. SMAnya dulu, dan SMA gue dulu.

Adeva hanya mengembungkan mulutnya, cemberut. Sensitive dengan topik yang gue angkat, yang bisa membuka luka lamanya. "Gue becanda kok" akhirnya gue berbicara lagi setelah 2 menit hening.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun