Adeva ikut terkekeh, "Udah kelas 12, Den." Merangkul lengan gue, menariknya memasuki rumah. Yang mungkin enggak pantas disebut rumah. Karna rumah itu tempat orang orang menunggu kehadiranmu.
"Gue percaya lo bisa jaga diri baik baik, nilai lo lumayan lah. Tapi gak baik buat kesehatan lo, Den." ujar nini-nini cerewet itu.
"Gue keluar cuman week-end doang kok," gue melakukan pembelaan, yang mungkin Adeva sudah bosan mendengarnya.
"Tapi lo dari pagi sampe malem jam 10. Lo enggak capek?" Adeva masih cerewet seperti biasanya.
"Enggak, gue seneng. Kan sama pacar. Lo sih, memang harus membuka diri lagi, Dev. Lo gak bisa terus terusan  iri sama gue. Gafa gak bakal kembali lagi. Makanya  cari pacar! biar bisa sama sama keluar bareng!" sebenarnya gue enggak bermaksud menghina Adeva karena kejombloannya selama 2 tahun ini yang mungkin dia masih gagal move on dengan mantannya. Gafa, anak SMA Dirgantara. SMAnya dulu, dan SMA gue dulu.
Adeva hanya mengembungkan mulutnya, cemberut. Sensitive dengan topik yang gue angkat, yang bisa membuka luka lamanya. "Gue becanda kok" akhirnya gue berbicara lagi setelah 2 menit hening.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H