Â
Penelitian tersebut dilakukan untuk membuktikan seberapa besar pengaruh bahasa yang disampaikan dan diterima oleh anak-anak untuk kemudian diproduksinya kembali. hasil yang diterima pun ternyata berbanding lurus dengan apa yang diproduksi ulang oleh anak-anak tersebut. Anak-anak yang tidak memiliki masalah pendengaran memproduksi lebih banyak dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki masalah pendengaran.
Â
Hasil penelitian tersebut bahwa bahwa semakin kita banyak kita melakukan kontak bahasa baik berupa kode maupun tuturan akan memiliki dampak yang signifikan terhadap hasil produksi bahasanya. Begitu pula dengan yang terjadi pada kasus kedwibahasaan seseorang. Dengan banyaknya input (masukan) yang diterima maka output (luaran) akan sebanding pula yang dihasilkan. Hanya saja, hal tersebut tidak terjadi pada seluruh ketegori yang ada.
Untuk melihat fenomena terrsebut, ada baiknya peulis ketengahkan pula batasan sosio-kultural  yang diajukan oleh Labov(Figueroa 1994) dalam meninjau kedwibahasaan ini.
"a speech community cannot be conceived as a group of speakers who all use the same forms; it is best denned as a group who share the same norms in regard to language"Â
Dalam definisi tersebut, kita melihat bahwa yang memiliki tingkat kesamaan adalah norma atau aturan yang berlaku di sebuah kelompok dalam masyarakat bahasa tersebut. Kelompok-kelompok ini kemudian dijelaskan labov dalam bukunya yang lain bahwa kelompok-kelompok masyarakat bahasa dapat ditinjau ulang melalui pola stratifikasi sosial, pergeseran gaya, dan evaluasi subyektif.
Batasan-batasan sosio-kultural yang diajukan oleh Labov itu kemudian juga mendasari penentuan aspek kedwibahasaan seseorang. Adapaun evaluasi subyektif sendiri merupakan batasan individual dalam menilai dengan siapa dan situasi apa mereka berbicara. Misalnya, yang penulis dapatkan dalam buku Bahan Ajar Sosiolinguisitik dimana disebutkan disana bahwa ada tiga penyebab terjadinya pemilihan bahasa dalam kedwibahasaan seseorang. Pertama, perubahan situasi pembicaraan. Dimana dalam masyarakat kita dibedakan menjadi dua, yaitu Formal dan non-formal. Kedua, topik pembicaraan. Dimana pada topik pembicaraan, proses pemilihan bahasa akan terjadi secara sublim dengan melihat identitas dan latar belakang dari lawan bicara. Ketiga, keterlibatan pembicara.
Likuiditas bahasa
Dari studi kasus dan contoh di atas, kita melihat bahwa kedwibahasaan individu maupun masyarakat tidak ubahnya sebagai sebuah cairan yang akan menempati ruang-ruang kosong yang ditinggalkan. Ia akan berubah menyesuaikan pola stratifikasi sosial, pergeseran gaya, maupun evaluasi subyektif dalam interaksi kebahasaan mereka.
Labov(Figueroa 1994) senidiri menyebutkan bahwa ia percaya terdapat genuine bilinguals dan tidak mempercayai keberadaan bidialectal. Tentu saja kepercayaan labov memiliki dasar yang kuat dimana sebelumnya ia mempercayai bahwa bahasa sendiri adalah fakta sosial. Sedangkan penulis sebagaimana disebutkan di awal, memiliki porsi kepercayaan yang lebih terhadap bahasa sebagai mentalitas sebuah kebudayaan, dimana dalam hal ini berarti menaliikrarkan kebudayaan dan masyarakat tentunya.