Mohon tunggu...
Bang Fu
Bang Fu Mohon Tunggu... Penulis - Kuncen di kolom #Criticaldailyreportase dan #PedagogI'n'AnalogI

"meletup-letuplah api kebersamaan dan jadikanlah daku penerang untuk gelapnya dunia ini" -sastrus24

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Likuiditas Bahasa : Sebuah Hipotesis

12 April 2020   03:07 Diperbarui: 12 April 2020   04:04 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Setelah pada pertemuan kuliah sebelumnya -- sebelum merebaknya pandemi -- yang membahas lebih lanjut mengenai masyarakat bahasa (Speech Community) dari berbagai pakar sebagai perpanjangan tangan penjelasan teori strukturalisme yang dicetuskan Ferdinand De saussure, yaitu: langue, Langage, Parole.

Pada definisi-definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli, sebagai pribadi saya lebih mencondongkan diri atau ikut ambil bagian pada definisi masayarakat bahasa yang di cetuskan oleh Noam Chomsky yang berujar bahwa komunitas bahasa merupakan komunitas ujaran yang benar-benar homogen yang anggotanya memiliki kompetensi bahasa yang sama. Disini kita perlu menggarisbawahi bahwa kompetensi yang dimaksud oleh Chomsky adalah sebagaimana pembacaan Joseph (1989)[1] bahwa istilah kompetensi lebih dekat kepada langage. Lebih lanjut Langage dijelaskan sebagai sebuah kombinasi antara Langue (abstrak sistem) dan parole (konkret sistem).

Competence yang kemudian dipahami sebagai landasan dasar dari sebuah masyarakat bahasa melahirkan beberapa pendekatan untuk menguji seberapa penting dan homogen peranananya.

Homogenitas Competence dapat melihat seberapa besar pengaruh pemerolehan bahasa dalam komunitas bahasa, atau kontak bahasa dari masyarakat bahasa yang lain. Maka, dengan sudut pandang yang demikian juga kita dapat memetakan lingualitas suatu masyarakat bahasa, tentu dengan melihat besaran  performance yang dihadirkan dalam masyarakat tersebut

Koentjaraningrat[2] dalam paparannya mengenai bahasa sebagai sebuah produk mentalitas kebudayaan kembali menegaskan hakikat penggunaan bahasa yang patuh terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, bentuknya cair dan saya mengistilahkannya sebagai likuiditas bahasa. 

Likuiditas bahasa atau kecairan dari sebuah bahasa pada umumnya dapat ditemukan pada jenis masyarakat bahasa yang multilingual. Artinya terdapat proses panjang pemerolehan bahasa yang ditentukan melalui kontak bahasa pada masayarakat bahasa yang lain karena sedikit banyaknya lingualitas yang dimiliki oleh suatu masyarakat akan berpengaruh signifikan pula pada performance yang mereka hadirkan.  

 Seperti yang kita ketahui bersama bahwa masyarakat monolingual memiliki perbedaan yang signifikan dengan masyarakat bilingual ataupun multilingual. Pada gejala performance yang dihadirkan masyarakat monolingual, tentu tidak akan ditemukan adanya campur dan alih kode bahasa, ataupun penyimpangan-penyimpangan bahasa yang lain. Sebab, homogenitas competence bahasa yang dimiliki dalam masyarakat monolingual berlandaskan pada proses pemerolehan bahasa yang minim terjadinya kontak bahasa

 Bilingual dan Bilingualisme

 Dwibahasa atau bilingual dalam kamus linguistik[3] dijelaskan sebagai mampu atau biasa memakai dua bahasa, serta bersangkutan dengan atau mengandung dua bahasa. Lalu bilingualisme atau kedwibahasaan sendiri diartikan dengan penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau suatu masyarakat. 

 Berdasar penjelasan tentang bilingual dan bilingualisme bahasa di atas, penulis menemukan kesepakatan bahwa bilingual dan bilingulisme terjadi pada tataran performance bahasa seseorang ataupun masyarakat bahasa tertentu.

 Dalam sebuah jurnal yang diinisiasi oleh Studies in Bilingualism(Plaza-Pust dan Morales-Lpez 2008), dalam salah satu kajiannya yang membahas Code-mixing in signs and words in input to and output from children oleh Anne Baker dan Beppie Van den Bogaerde sebagaiman pendapat-pendapat umum dalam kajian sosiolinguistik yang menekankan pembahasan bahwa faktor umur memiliki pengaruh yang signifikan, khususnya pada anak-anak. Atas dasar pandangan umum itulah, Anne Baker dan rekannya kemudian melakukan penelitian kepada enam anak dimana tiga dintaranya merupakan tuna rungu.

 

Penelitian tersebut dilakukan untuk membuktikan seberapa besar pengaruh bahasa yang disampaikan dan diterima oleh anak-anak untuk kemudian diproduksinya kembali. hasil yang diterima pun ternyata berbanding lurus dengan apa yang diproduksi ulang oleh anak-anak tersebut. Anak-anak yang tidak memiliki masalah pendengaran memproduksi lebih banyak dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki masalah pendengaran.

 

Hasil penelitian tersebut bahwa bahwa semakin kita banyak kita melakukan kontak bahasa baik berupa kode maupun tuturan akan memiliki dampak yang signifikan terhadap hasil produksi bahasanya. Begitu pula dengan yang terjadi pada kasus kedwibahasaan seseorang. Dengan banyaknya input (masukan) yang diterima maka output (luaran) akan sebanding pula yang dihasilkan. Hanya saja, hal tersebut tidak terjadi pada seluruh ketegori yang ada.

Untuk melihat fenomena terrsebut, ada baiknya peulis ketengahkan pula batasan sosio-kultural  yang diajukan oleh Labov(Figueroa 1994) dalam meninjau kedwibahasaan ini.

"a speech community cannot be conceived as a group of speakers who all use the same forms; it is best denned as a group who share the same norms in regard to language" 

Dalam definisi tersebut, kita melihat bahwa yang memiliki tingkat kesamaan adalah norma atau aturan yang berlaku di sebuah kelompok dalam masyarakat bahasa tersebut. Kelompok-kelompok ini kemudian dijelaskan labov dalam bukunya yang lain bahwa kelompok-kelompok masyarakat bahasa dapat ditinjau ulang melalui pola stratifikasi sosial, pergeseran gaya, dan evaluasi subyektif.

Batasan-batasan sosio-kultural yang diajukan oleh Labov itu kemudian juga mendasari penentuan aspek kedwibahasaan seseorang. Adapaun evaluasi subyektif sendiri merupakan batasan individual dalam menilai dengan siapa dan situasi apa mereka berbicara. Misalnya, yang penulis dapatkan dalam buku Bahan Ajar Sosiolinguisitik dimana disebutkan disana bahwa ada tiga penyebab terjadinya pemilihan bahasa dalam kedwibahasaan seseorang. Pertama, perubahan situasi pembicaraan. Dimana dalam masyarakat kita dibedakan menjadi dua, yaitu Formal dan non-formal. Kedua, topik pembicaraan. Dimana pada topik pembicaraan, proses pemilihan bahasa akan terjadi secara sublim dengan melihat identitas dan latar belakang dari lawan bicara. Ketiga, keterlibatan pembicara.

Likuiditas bahasa

Dari studi kasus dan contoh di atas, kita melihat bahwa kedwibahasaan individu maupun masyarakat tidak ubahnya sebagai sebuah cairan yang akan menempati ruang-ruang kosong yang ditinggalkan. Ia akan berubah menyesuaikan pola stratifikasi sosial, pergeseran gaya, maupun evaluasi subyektif dalam interaksi kebahasaan mereka.

Labov(Figueroa 1994) senidiri menyebutkan bahwa ia percaya terdapat genuine bilinguals dan tidak mempercayai keberadaan bidialectal. Tentu saja kepercayaan labov memiliki dasar yang kuat dimana sebelumnya ia mempercayai bahwa bahasa sendiri adalah fakta sosial. Sedangkan penulis sebagaimana disebutkan di awal, memiliki porsi kepercayaan yang lebih terhadap bahasa sebagai mentalitas sebuah kebudayaan, dimana dalam hal ini berarti menaliikrarkan kebudayaan dan masyarakat tentunya.

Mentalitas sendiri penulis yakini sebagai competence atau istilah yang diperkenalkan Chomsky kepada kajian linguistik. Maka, untuk memenuhi rongga-rongga kosong yang dibiarkan terbuka pada proses performance adalah tugas yang diembankan pada kemampuan likuiditas bahasa itu.

 

Pemberlakuan Likuiditas tidak saja berlaku pada kedwibahaasan, melainkan juga dapat berlaku pada kasus-kasus multingual lainnya. Sayangnya, kajian likuiditas bahasa ini masih berupa draft yang masih terlalu muda. Masih banyak celah dan rongga yang dibiarkan menganga, lalu masih kurangnya pembacaan literatur-literatur tambaha sebagai penunjang komprehensifitas pembahasan mengenai likuiditas bahasa ini.

Tapi sebagai peneliti, penulis berhak mengajukan draft hipotesis ini untuk melakukan kajian dan penelitian lebih lanjut mengenai likuiditas bahasa terutama pada sebuah masyarakat bahasa

Daftar Pustaka

Figueroa, Esther. 1994. Sociolinguistic Metatheory. First. New York: Elsevier Science Inc.

Koentjaraningrat. 1974. "Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan." In Bab 1, bab 2, bab 3, bab 4,.

Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Fourth. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Plaza-Pust, Carolina, dan Esperanza Morales-Lpez. 2008. "Sign bilingualism: Language development, interaction, and maintenance in sign language contact situations." : 333--79.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun