Teriakan tersebut sejatinya bukan hanya setelah kegiatan pemungutan suara saja, akan tetapi jauh sebelumnya, terutama setelah mereka mendapatkan peta kekuatan pendukung masing-masing paslon. Seperti diketahui, partai politik pendukung paslon 02 terdiri dari partai Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat. Kondisi ini jauh berbeda dari parpol pendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin, sebab di sana ada PDI Perjuangan, Partai Golkar, PPP, Nasdem, PKB, Hanura, dan ditambah partai baru, seperti PKPI, PSI, dan Perindo. Kondisi yang dapat dikatakan 'tidak berimbang' ini menjadikan tim BPN seperti terkena buah simalakama, apabila dimakan bapak mati, jika tidak dimakan ibu meninggal. Kemudian, terlihat secara jelas, bahwa kompetitor Prabowo-Sandi merupakan seorang petahana, masih menjadi presiden yang sah di Republik Indonesia. Situasi inilah yang dirasakan oleh paslon 02 dan tim pendukungnya. Mereka harus memutar otak lebih keras lagi untuk memenangkan pilpres. Ibaratnya seperti Daud melawan Goliath.
Bagi mereka bila bertanding secara head to head, kecil peluangnya untuk memenangi pertandingan tersebut. Tak heran, sebelum penetapan paslon oleh KPU, Prabowo Subianto sempat mewacanakan untuk mundur dari perhelatan, meskipun konsekuensinya menurut peraturan KPU dapat terkena pidana 5 tahun penjara. Dari situlah sudah terlihat nyali bertempurnya menjadi kurang memiliki sifat militansi yang tinggi. Namun, dengan bergulir waktu, akhirnya Prabowo mengikuti kontestasi pilpres secara head to head melawan 'musuh bebuyutannya,' (terulangnya Pilpres 2014) hanya berbeda pendamping saja.
Adanya peta kekuatan yang dinilai berbeda jauh tersebut, tak heran bila kedua kubu terus meningkatkan daya gempurnya dalam berkampanye guna menarik simpati masyarakat agar memilih paslon jagoannya masing-masing secara all out, termasuk paslon kubu 02. Mengingat dari perhitungannya, Prabowo Subianto sendiri sudah empat kali mencalonkan diri menjadi calon pemimpin negara dan selalu mengalami kekalahan. Mulai dari konvensi Partai Golkar 2004, mendampingi Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati 2009, didampingi Hatta Radjasa 2014, dan hingga kini Pilpres 2019. Apabila tahun ini mengalami kekalahan lagi, dimungkinkan kontestasi 2024 yang akan datang pihaknya sudah tidak bisa lagi untuk mengikuti, mengingat umur yang sudah sangat senior. Oleh karena itu, besar harapannya apabila dalam pertandingan kali ini Prabowo harus memenanginya, apapun resikonya.
Deklarasi Kemenangan yang Berulang
Belum lama ini BPN kembali menggelar acara kemenangan Parbowo-Sandi yang dibalut dengan pengungkapan fakta-fakta kecurangan Pemilu 2019 bertempat di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta. Selain dihadiri Prabowo-Sandi, sejumlah elite BPN serta para pendukung paslon nomor urut 02 juga turut hadir dalam acara yang terang-terangan menyebutkan secara teknis terkait dugaan kecurangan yang terjadi pada Pilpres 2019. Dan yang menjadi puncaknya adalah klaim kemenangan yang disampaikan oleh Dewan Pakar BPN, Laode Kamaludin yang berdasarkan pada data sistem informasi Direktorat Satgas BPN, paslon 02 dinyatakan memperoleh suara sebesar 54,24 persen (sebelumnya diklaim menang lebih dari 62 persen) atau 48.657.483 suara, sedangkan paslon 01 memperoleh suara sebesar 44,14 persen. Â Posisi itu diambil dari total 444.976 TPS atau 54,91 persen dan dinilai sudah melebihi keperluan dari ahli statistik untuk menyatakan bahwa data tersebut sudah valid. Selanjutnya, BPN menyatakan bahwa pihaknya menolak hasil perhitungan suara Pilpres 2019 yang dilakukan oleh KPU, alasannya telah terjadi banyak kecurangan yang merugikan pihaknya.
Dengan adanya kecurangan yang dianggap merugikan paslon 02, maka selain tidak mengakui hasil rekapitulasi dari KPU, para pendukung tim BPN berniat akan melakukan apa yang dinamakan people power. Sebenarnya istilah tersebut sebelumnya terus digaungkan oleh sesepuh PAN dan BPN, Amien Rais semenjak media menyiarkan kekalahan paslon 02 melalui quick qount pasca pemungutan suara. Namun karena seringnya terjadi friksi dan dinilai berpotensi makar oleh pemerintah, maka oleh Amin Rais belakangan tidak lagi menggunakan istilah people power, tapi kedaulatan rakyat. Penggunaan idiom tersebut dimungkinkan menjadi penyemangat untuk mendiskualifikasikan paslon 01 yang dianggap telah melakukan berbagai kecurangan dan sekaligus bisa merebut kekuasaan nantinya.
Pertanyaan Rakyat
Yang menjadi pertanyaan publik hingga kini adalah mengapa kubu paslon 02 menganggap kecurangan hanya terjadi pada pilpres saja, padahal ada pemilu legislatif untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota? Mengapa kubu paslon 02 buru-buru mendeklarasikan kemenangan pilpres, bukankah rekapitulasi resmi dari KPU belum selesai, dan mengapa yang menjadi dasar kemenangan paslon 02 dari hasil internal BPN yang subyektivitasnya sangat kental, ditambah tidak adanya unsur transparan terkait data serta proses penghitungannya? Mengapa kubu paslon 02 justru sudah menyebutkan Prabowo sebagai presiden? Dan, bila ada kecurangan tidak menggugat saja ke Mahkamah Konstitusi? Apabila pertanyaan tersebut tidak terjawab dengan baik, maka kubu 02 dinilai tidak memiliki komitmen untuk membangun negara tercinta, hanya mementingkan kelompok maupun golongannya saja, tidak juga berkomitmen tentang siap menang dan siap kalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H