Pelaksanaan pemungutan suara pemilihan umum secara serentak di Indonesia pada 17 April 2019 telah berjalan dengan baik dan relatif berjalan sebagaimana mestinya. Masyarakat dinilai antusias dalam memberikan suaranya di tempat pemungutan suara di masing-masing daerah. Namun demikian, setelah hitung cepat atau quick qount muncul dan diketahui pemenangnya kendati masih sementara, timbul persoalan yang tidak bisa diremehkan begitu saja, terutama pada pemilihan presiden (pilpres). Persoalan tersebut terletak pada soal pasangan calon presiden dan wakil presiden yang merasa kalah dan menganggap telah terjadi kecurangan secara terstruktur dan massif. Untuk itu, niatan untuk mendiskualifikasikan pasangan yang menang, hingga muncul gerakan people power menjadi permasalahan tersendiri.
Sejumlah persoalan tersebut, sebenarnya akar permasalahannya yang nyata adalah aksi klaim dan deklarasi kemenangan pasangan capres 02, Prabowo Subianto -- Sandiaga Uno yang berdasarkan hasil penghitungan internal tim Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi memenangkan kontestasi pemilihan presiden.
Bahkan, kemenangan tersebut dapat dikatakan fantastik hingga mencapai lebih dari 62 persen, meskipun sebelumnya tim BPN meragukan sejumlah lembaga survei yang dalam quick count nya memenangkan pasangan capres 01 Jokowi-Ma'ruf Amin. Sementara dalam pernyataan salah satu petinggi BPN, Fadli Zon menyatakan bahwa pihaknya tidak mempercayai hasil dari sejumlah lembaga quick count yang memenangkan pasangan 01.
Namun, entah kenapa tiba-tiba beberapa waktu pasca pemungutan suara, Prabowo Subianto beserta tim pendukungnya mendeklarasikan diri sebagai pemenang presiden terpilih yang berpegang pada quick count, exit poll, dan real count yang dilakukan internal BPN di Jalan Kertanegara 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, rumah peninggalan orang tua Prabowo. Seakan layaknya me-review kejadian yang sama, dejavu tersebut dilakukan juga dengan kegiatan ritual sujud syukur yang bersamaan dengan berjalannya sejumlah lembaga survei yang hampir semuanya memenangkan Jokowi-Ma'ruf Amin.
Acara deklarasi kemenangan pun tidak hanya sekali, tapi justru diulang kembali, namun kali ini Prabowo Subianto didampingi oleh cawapres 02 Sandiaga Uno yang sebelumnya tidak tampak. Bukan itu saja, eforia kemenangan pasangan 02 terus dilakukan oleh para pendukungnya, terutama di seputaran wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya dengan memasang baliho, spanduk, dan atribut lainnya. Mereka terus antusias dan meyakini bahwa Prabowo-Sandi menang dalam kontestasi pilpres. Uniknya, seiring dengan berjalannya waktu, para elite pendukung Prabowo-Sandi sudah menyebut sosok Prabowo Subianto dengan sebutan presiden dalam setiap kesempatan.
Terkait penyebutan presiden tersebut, sebenarnya menjadi problematika tersendiri. Penyebutan presiden lagi-lagi dianggap sudah melekat di antara para pendukung dan justru dianggap sebagai dagelan yang konyol, karena pendukungnyapun bingung untuk apa penyebutan tersebut. Hal ini seperti yang terjadi ketika salah satu pendukung paslon 02, Priyo Budi Santoso (kini petinggi Partai Berkarya dan BPN) merasa kebingungan ketika ditanya untuk apa penyebutan presiden terhadap Prabowo dalam salah satu program dialog di televisi swasta nasional, sementara menang pilpres saja belum, apalagi dilantik oleh wakil rakyat menjadi presiden, jauh panggang daripada api.
Bukan itu saja, sebutan presiden, hingga kini justru masih menjadi bahan teatrikal yang bersifat satire, mengikuti ketika para purnawirawan perwira tinggi TNI satu persatu memberi penghormatan ala militer kepada Prabowo seraya berucap, "siap presiden." Perkataan siap presiden akhirnya menjadi booming dan viral di media sosial, bukan hanya di dalam negeri, bahkan video pendek siap presiden terdapat di luar negeri yang diperagakan oleh orang luar negeri juga. Sungguh suatu ironi yang menyakitkan.
Sebenarnya yang menjadi persoalan bukan terkenalnya kata siap presiden semata, namun penggunaan kata presiden itulah yang menjadi core of the problem, selain deklarasi kemenangan atas Pilpres 2019 yang dilakukan oleh paslon 02, karena membuat masyarakat justru terus terpecah belah antara dua polar yang berseberangan antara satu dengan yang lainnya dalam satu kontestan. Kenapa, mari diurai satu per satu. Acara deklarasi dan klaim kemenangan jelas bertentangan dengan norma dan regulasi yang diterapkan penyelenggara, Komisi Pemilihan Umum (KPU), termasuk bertentangan dengan hak demokrasi rakyat yang memilih.
Secara nalar, pihak KPU belum rampung dalam melakukan rekapitulasi hasil real count secara resmi. Ditambah sejumlah lembaga survey tentang quick count justru memenangkan paslon 01 setelah 100 persen suaranya masuk. Sedangkan penghitungan suara internal BPN sendiri malah belum jelas datanya mengingat mereka di berbagai kesempatan di ranah publik tidak bersedia untuk meng-combined datanya, termasuk prosedur dan proses mendapatkannya dengan lembaga survei lain yang sudah menjadi rujukan KPU.
Selanjutnya terkait penyebutan dan pemanggilan kata presiden terhadap capres 02 semakin menambah kisruhnya suasana politik dan membingungkan masyarakat. Hal ini karena sebutan kata presiden ada aturan hukumnya yang jelas, bukan sebagai gagah-gagahan klaim kemenangan. Dalam konstitusi ketatanegaraan kita, presiden itu sendiri merupakan salah satu lembaga negara yang orangnya dipilih oleh rakyat secara demokratis melalui sistem pemilihan umum dengan syarat-syarat ketentuannya. Di Indonesia, presiden selain harus memenangkan kontestasi pilpres secara langsung, harus memiliki legitimasi yang sah dengan diangkat, dilantik, dan disumpah oleh perwakilan rakyat. Dalam perhelatan Pilpres 2019 ini, pelantikan presiden direncanakan akan dilakukan pada 20 Oktober 2019 melalui sidang paripurna dan tentunya disaksikan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Dari uraian tersebut di atas, persoalan deklarasi kemenangan dan penyebutan presiden terhadap capres 02 tidak tertutup kemungkinan digunakan untuk tujuan politik dengan menggiring opini publik agar kemenangan pasangan Prabowo-Sandi terus melekat di hati masyarakat, terutama para pendukungnya. Apabila atribut tersebut sudah melekat, maka jika paslon 02 dinyatakan kalah oleh KPU melalui rekapitulasi pemenangan kontestasi Pilpres 2019, maka dimungkinkan akan menjadi titik akumulasi sebagai bahan kekecewaan massa pendukung. Untuk mengantisipasi hal tersebut, tak heran bila BPN dan think tank pendukungnya selalu meneriakkan telah terjadi kecurangan secara masiv dan terstruktur serta pemilu tidak berjalan sebagaimana mestinya, alias tidak demokratis, jujur, dan adil.