Belum lama ini publik dikejutkan oleh pemberitaan terkait rencana pembebasan Ustad Abu Bakar Ba'asyir yang direncanakan bulan Januari 2019. Sebagai pihak penghubung di Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat, diutuslah pengacara tim kemenangan nasional Jokowi-Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra sekaligus bersifat sebagai pemberitahuan kepada masyarakat.
Pemberitahuan tersebut, tentunya disambut oleh pihak Abu Bakar Ba'asyir, terutama tim pengacara muslim, Mahendradata, yang mengatakan bahwa sebenarnya pembebasan itu merupakan hal yang biasa mengingat faktor kemanusiaan, di mana Abu Bakar Baasyir telah berusia sepuh.Â
Hal ini tentunya seiring dengan alasan yang dikemukakan oleh Yusril Ihza Mahendra, yang menguatkan pembebasan tersebut karena faktor kemanusiaan dan telah disetujui oleh Presiden Jokowi.Â
Abdul Rohim, sebagai anak Abu Bakar Ba'asyir juga menyambutnya dengan rasa syukur dan berjanji untuk merawat sang ayah untuk tidak melakukan berbagai acara dakwah di luar. Dari Solo, Jawa Tengah tentunya masa istirahat itu kiranya akan dipergunakan sebaik-baiknya.
Kabar yang dinilai menggembirakan oleh keluarga dan handai taulan Abu Bakar, ternyata tidak sejalan dengan pihak yang dianggap sebagai korban aksi terorisme bom Bali pada 2002 yang lalu.Â
Mereka, terutama dari negara Australia -- merupakan korban terbanyak peristiwa bom Bali I -- merasa terusik dengan kebijakan pemerintah Indonesia yang berencana untuk membebaskan Abu Bakar Ba'asyir yang selama ini dianggap sebagai masterpiece aksi terorisme di Indonesia. Mereka menganggap bahwa pemerintah Indonesia tidak menghargai perasaan korban.Â
Tudingan pemerintah Australia tersebut tentunya menjadi bahan olahan negeri kangguru guna menekan Indonesia agar membatalkan kebijakan terkait pembebasan narapidana teroris, mengingat narapidana tersebut belum sepenuhnya menjalani masa hukuman yang telah dijatuhkan di pengadilan.
Entah karena lontaran pihak Australia atau apa, yang jelas pemerintah Indonesia memiliki kedaulatan atas hukum dan tidak bakal didikte oleh pihak manapun, termasuk Australia. Namun yang pasti, pemerintah Indonesia kini akan mengkaji kembali rencana pembebasan Abu Bakar Baasyir, terutama terkait aspek ideologi Pancasila, negara kesatuan Republik Indonesia, dan aspek hukum itu sendiri.Â
Demikian dikatakan oleh Menko Polhukam Wiranto di kantornya di jalan Medan Merdeka, Jakarta Pusat, baru-baru ini. Dikatakannya, bahwa keputusan tersebut diambil dalam rapat koordinasi yang dipimpin oleh Presiden. Presiden Jokowi, menurut Wiranto, tidak grusa-grusu untuk mengambil sebuah keputusan. Dan itu sudah didiskusikan pertimbangan panjang atas rencana pembebasan Ba'asyir, yang disebut dengan alasan kemanusiaan.
Sementara itu, Yusril Ihza Mahendra ketika ikut berkomunikasi dengan Presiden sebelum ada polemik pembebasan Abu Bakar Ba'asyir menyebutkan, bahwa Presiden akan membebaskan Baasyir tanpa syarat, hanya alasan faktor kemanusiaan saja.Â
Pernyataan ini senada dengan Ditjen Pemasyarakatan Kemenkum HAM yang diuangkapkan oleh pihak Humas Ditjen Pemasyarakatan Ade Kusmanto yang menyebutkan, bahwa opsi pembebasan Ba'asyir,di antaranya pembebasan bersyarat dan grasi dari Presiden.Â
Untuk pembebasan bersyarat, Ba'asyir disebut Kemenkum HAM sebenarnya sudah bisa mengambilnya pada 13 Desember 2018. Alasannya, Ba'asyir sudah menjalani dua pertiga masa pidana terkait vonis kasus pelatihan militer kelompok teroris di Aceh. Hitungan ini mengacu pada sidang vonis pada 16 Juni 2011. Saat itu, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan Ba'asyir bersalah dan menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara.
Untuk menempuh pembebasan bersyarat, Ditjen Pemasyarakatan menyebut ketentuan bagi narapidana di antaranya meneken surat setia kepada NKRI. Aturan ini tertuang pada PP 99/2012 serta dalam pasal 84 Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018 tentang syarat dan tata cara pemberian remisi, asimilasi, cuti, dan pembebasan bersyarat.Â
Jika melalui mekanisme pembebasan bersyarat, menurut perhitungan, dua pertiga masa pidananya adalah pada tanggal 13 Desember 2018. Karena Abu Bakar Ba'asyir hingga saat ini belum berkenan menandatangani surat pernyataan ikrar kesetiaan kepada NKRI sebagai salah satu persyaratan pembebasan bersyarat.
Sedangkan Tim Pengacara Muslim (TPM) lantas menjelaskan alasan Ba'asyir menolak menandatangani dokumen untuk pembebasan bersyarat, karena dokumen itu di antaranya berisi pengakuan tindak pidana, padahal Ba'asyir, menurut TPM, menegaskan tidak melakukan apa yang didakwakan. Ketua Dewan Pembina TPM Mahendradatta di kantornya, Jalan Raya Fatmawati, Jakarta Selatan, juga menjelaskan bahwa alasan Ba'asyir menolak meneken ikrar setia kepada NKRI karena sudah setia pada Islam.
Dari kronologi inilah publik menjadi gamang, apalagi kasus tersebut dikait-kaitkan dengan pelaksanaan Pemilihan Presiden 2019, terutama adanya sanggahan dari Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi yang tercatat sebagai kompetitor pertarungan politik di Pilpres 2019 atas petahana, Jokowi. Belum lagi pernyataan TPM lain, seperti yang dikatakan oleh Achmad Michdan, bahwa jika pembebasan tersebut ditunda, maka akan menjadi bahan pertanyaan besar.
Sekali lagi, yang jelas soal pembebasan Abu Bakar Ba'asyir harus sesuai dengan koridor hukum yang berlaku di Indonesia. Bagaimanapun juga, ia dipidana karena terbukti tersangkut persoalan terorisme. Sementara terorisme itu sendiri sudah menjadi musuh bersama bagi masyarakat Indonesia dan internasional, sebagai public enemy # 1.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H