Mohon tunggu...
Aryo Darpito
Aryo Darpito Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Haloo! Aku Aryo. Penulis yang suka jalan-jalan sambil foto-foto. Sembari nulis, sembari motret.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyatukan Persepsi dan Komunikasi Masyarakat Pluralis

22 Februari 2024   08:00 Diperbarui: 22 Februari 2024   08:07 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pengantar

Dalam kehidupan bersama, manusia tentu tidak bisa lepas dari keberagaman. Keberagaman itu terkadang disalahartikan menjadi suatu berkonotasi negatif. Hari peringatan seperti Hari Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Lahirnya Pancasila, Kesaktian Pancasila dan sebagainya, selalu ada pertanyaan yang menggoda. Apakah seluruh hari-hari istimewa yang telah ditetapkan sebagai momentum sejarah itu, sekedar sebuah rutinitas waktu yang sepi dari imajinasi budaya: ataukah hari-hari itu merupakan amanat peristiwa luar biasa (extraordinary) yang menagih keharusan kolektif untuk merefleksikan seluruh makna yang dipesankan?

Tulisan ini akan membawa pada bahasan bagaimana persepsi dari agama dan kebudayaan yang saling bersentuhan membawa pesan yang baik untuk persatuan dan perkembangan masyarakat yang majemuk. Ketika masyarakat dapat menempatkan diri dalam relasi masyarakat yang heterogen ini, tentu kontrol dan konektivitas sosial dapat berjalan sesuai dengan norma-norma yang ada.

Perkembangan persepsi dan komunikasi dalam jalinan keberagaman dalam kompleksitas masyarakat selalu berada dalam tren positif. Keterbukaan melalui dialog yang rutin dilakukan menunjukkan intelektualitas dan kepekaan oleh para tokoh masyarakat semakin berkembang. Terlebih banyak daerah-daerah yang sudah mulai terbuka akan agama-agama yang beragam.

Agama dan kebudayaan tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat. Sebagian masyarakat menganggap agama harus steril dari budaya, sementara sebagian lain menganggap agama bisa berdialog dengan budaya. Dalam hal ini saya melihat sebuah hal yang sangat kontradiktif, karena pada praksisnya sebuah agama akan diterima masyarakat ketika agama itu dapat melebur, menyatu dalam kebudayaan setempat.

Katolik-Jawa: Sejarah singkat

Sejak 3 Januari 1961, seluruh Vikariat Apostolik di Nusantara berubah statusnya menjadi Provinsi Gerejawi. Titik ini menjadi kelahiran hierarki di Indonesia. Maka sejak saat ini Vikariat Apostolik Semarang berubah statusnya menjadi KAS.

Namun demikian sudah sejak tahun 1808, Semarang telah menjadi stasi dari Prefektur Apostolik Batavia dimana Pastor L. Prinsen bertugas melayani saat itu. Pada 1859 Ambarawa menjadi stasi baru dengan datangnya imam-imam Serikat Yesus. Menyusul kemudian pada 1865 Yogyakarta menjadi stasi baru dan juga disusul kemudian Magelang.

Pastor Fransiskus Georgius J. van Lith, SJ mendirikan sekolah guru di Muntilan pada 1904. Jasa Romo Van Lith tercatat karena pembaptisannya kepada sekitar 100 orang di Sendangsono yang menjadi salah satu tonggak perkembangan umat Katolik di Jawa Tengah. Penyebaran para guru selanjutnya menyebabkan Gereja Katolik berkembang lebih pesat di Jawa Tengah dan juga di seluruh Jawa. Seminari Menengah didirikan di Muntilan pada 1911 dan nantinya pindah ke Mertoyudan. Pada 1936 didirikan Seminari Tinggi di Yogyakarta.

Post Modern di tanah Jawa

Perkembangan pesat agama di tanah Jawa menunjukkan bahwa kebersamaan dalam masyarakat tanah Jawa dan kebersatuan melebur dengan baik. Tentunya tak lepas dari peran para misionaris yang bermisi dan melihat inkulturasi sebagai peluang untuk penyebaran agama Katolik di tanah Jawa.

Tentu tidak mudah dalam menyatukan persepsi di tanah yang sudah menganut keyakinan lokal pada awalnya. Namun dengan niat murni dari para misionaris dan misi yang humanis, yang pada pelaksanaannya tidak mengakibatkan sebuah konflik yang cukup berarti dan dapat menyatukan dari budaya setempat dengan kekatolikan yang dibawa oleh para misionaris inilah yang berlanjut pada perkembangan pesat Katolik di tanah Jawa.

Relasi yang sederhana dari para masyarakat tanah Jawa perlu kita pelajari. Kearifan budaya lokal dan kentalnya tradisi yang positif ini patut kita teladani. Misalnya, berdasarkan pengalaman penulis pada saat menghadiri ibadat di lingkungan, disitu diperlihatkan kebersamaan yang sangat terasa dan partisipasi aktif dalam mengikuti rangkaian ibadat menunjukkan bagaimana masyarakat menaruh penghormatan tidak hanya tatanan ibadatnya, tetapi juga warga yang dapat meluangkan waktunya dan berjalan cukup jauh untuk menghadiri ibadat lingkungan. Ruang dialog menjadi fokus utama tiap kali selesai ibadat. Inilah yang jadi ajang untuk mempererat relasi sederhana dalam rangka menyatukan persepsi dan komunikasi yang pluralistik.

Walau sudah berada dalam tahun teknologi, tradisi yang bisa dibilang 'kuno' dan tidak relevan di zaman sekarang tetap terjaga. Ini menunjukkan bahwa postmodernis tidak menjadi pengaruh besar terhadap kontinuitas tradisi. Hal ini juga memperlihatkan bagaimana komunikasi yang terjalin dengan amat baik dari tiap individu.

Katolik-Jawa : Sebuah refleksi

Pluralitas yang sudah mendarah daging di masyarakat Indonesia ini menjadi salah satu keunggulan dalam kancah internasional. Bukan karena menonjolnya suatu agama atau identitas tertentu yang dapat membuat unggul, namun dalam agama, kebersamaan yang dapat menyatukan persepsi dan komunikasi inilah yang menjadi keunggulan tersendiri bagi Indonesia.

Akhirnya, inkulturasi dalam menyatukan dua perspektif berbeda ini memiliki sifat berkelanjutan. Maksudnya, untuk keberlangsungan keberagaman dan tradisi dari tiap daerah di masa yang akan datang adalah kerja bersama dan kesadaran tiap individu sebagai bagian dari masyarakat yang pluralis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun