Selanjutnya sang sulung atau sang kakak terpatri pembiasaan untuk mengalah hanya karena usia atau mengalah sebelum berupaya. Pembiasaan ini menurunkan kekuatan leadership sang kakak di masa akan datang.Â
Pahamilah bahwa segala bentuk pembiasaan yang dilakukan dan diserap anak-anak sering kali dibawa hingga mereka dewasa, karena ingatan ini cenderung bersandar di bagian bawah sadar dan berdampak pada cara berpikir mereka.
Untuk itu penulis memiliki beberapa saran untuk mama yang bertanya ini, yaitu:
Pertama yang perlu diperhatikan adalah di awal sebelum kejadian sang bungsu meminta sesuatu yang diinginkan. Pastikan orangtua meminta komitmen atau sederhananya kepastian pilihan sang anak bungsu atau kakaknya.
Tanyakan "Dita (sang bungsu) mau yang mana, yang ini atau itu? Adi (sang kakak) mau yang mana, ini atau itu? Ingat ya setelah kalian memilih maka puaslah kepada pilihan kalian, selesaikan dengan pilihan kalian, karena setelah memilih ini tidak ada lagi di antara kalian yang dapat meminta pilihan lain, jelas anak-anak?"Â
Atau bisa tambahkan, "Dita, apakah Dita sudah pastikan pilihanmu, coba kamu pertimbangkan mau yang kamu pilih sendiri atau mau seperti pilihan kakakmu, ingat ya setelah memilih tidak ada lagi yang boleh untuk meminta pilihan orang lain."
Ketegasan ini perlu diajarkan ke anak-anak kita sejak dini agar mereka belajar untuk memiliki kebiasaan teguh dalam pilihannya, tidak goyah dan bimbang atas pilihan yang mereka sudah tetapkan.Â
Orangtua yang sering membiasakan anak bungsu untuk dimenangkan dan membuat anak sulung mengalah ini adalah pembiasaan yang tidak pas dan dapat mendatangkan kelemahan kepada kedua anak tersebut, sang bungsu akan berkembang sikap semena-menanya sehingga sulit diatur dan sang kakak akan berkembang sikap minder, kurang arahan dan sulit menentukan keputusan.
Tegaslah dengan ketepatan narasi yang dibangun kepada anak kita, walau air mata sang bungsu dan rengekannya yang super volumenya merusak suasana, izinkan sang bungsu tegak dalam pilihannya. Orangtua tidak baik mengalah karena air mata dan rengekan anaknya yang manja, yang ingkar atas keputusan yang telah dibuat sang anak.
Suatu ketika anak penulis pernah juga berkata, "El dak mau ikut papi mami pergi, biarlah El di rumah saja."
Setelah itu penulis dan istri memutuskan untuk pergi, dan meninggalkan sang anak. Anak ini akhirnya menangis keras dan penulis tetap pergi untuk mengajarkan ia tentang suatu keputusan yang ia ambil sendiri.