Di saat penulis menjalankan tugas sebagai kepala SD di salah satu sekolah swasta, penulis sempat menikmati belajar bersama kepala SD lainnya yang memiliki waktu yang lama menjadi kepala sekolah. Satu waktu penulis menyempatkan diri datang ke salah satu SD negeri yang kepala sekolahnya sangat ramah dan mengundang penulis untuk hadir bertamu ke sekolah yang beliau pimpin.
Dalam pertemuan ini, kami berdialog dan penulis mendapat satu pembelajaran menarik terkait penerimaan peserta didik baru di SD negeri yang beliau pimpin. Beliau mengatakan, "Pak walau SD kami ini bebas bayar atau gratis, sebagian warga di sekitar kami ini malah tidak memilihkan putra/i bersekolah di tempat kami, mereka lebih memilih bersekolah di sekolah swasta walau harus berbayar lebih".
Hiruk pikuk urusan penerimaan peserta didik baru (PPDB) di beberapa tempat tidak terjadi di SD Negeri ini, SD ini malah tidak menjadi sekolah rebutan malahan setiap tahun jumlah peserta didiknya berkurang jadi calon peserta didiknya tidak perlu memalsukan kartu keluarga mereka agar bisa dapat kursi di sekolah ini.
Penulis mengamati lebih dalam, dan bertanya-tanya, "Apa sebab sekolah ini tidak menjadi pilihan utama untuk melanjutkan pendidikan dasar, padahal  lokasi sekolah ini padat pemukiman?"
Kepala SD Negeri ini memberikan jawaban yang sangat lugas. "Pak, saat ini para orangtua yang ada di lingkungan ini yang keadaan ekonomi mereka sudah lebih baik, mereka lebih memilih menyekolahkan putra/i nya di sekolah swasta. Mereka menganggap di sekolah swasta lebih banyak program pengembangan daripada SD Negeri yang cenderung hanya menyelesaikan kurikulum saja atau text book saja. SD Negeri dianggap kurang update program-program yang inovatif dan kreatif".
Ungkapan dari kepala SD ini memberi gambaran yang jelas sekali. Keributan terkait PPDB di beberapa tempat di negeri ini mungkin disebabkan salah satunya adalah tingkat ekonomi warga yang masih belum baik sehingga tiada pilihan lain selain ke sekolah negeri, kemudian dikarenakan juga kurangnya sekolah swasta yang memadai di lingkungan tersebut, atau mungkin disebabkan sekolah negeri yang dituju masih melekat stereotip sebagai sekolah unggulan atau favorite.
Orangtua saat ini telah memiliki pemikiran yang jauh lebih mendalam terkait pilihan sekolah untuk putra/i nya, mereka tentu memilihkan sekolah terbaik menurut mereka yang mereka ketahui melalui informasi antar keluarga atau pertemanan mereka. Reputasi sekolah menjadi kata kunci penting mengapa sekolah tersebut menjadi rebutan atau pilihan orangtua untuk memilih sebagai tempat bersekolah bagi putra/i mereka.Â
Selanjutnya tentu biaya, jika ada sekolah dengan reputasi baik, dan biaya yang pas dengan kantong para orangtua, penulis yakin sekolah itu pasti menjadi sekolah yang selalu penuh bangku kelasnya dan bahkan orangtua rela mendaftarkan anaknya mungkin dimulai anaknya belum lahir.
Hal ini sudah terjadi di salah satu sekolah swasta di salah satu kota yang penulis ketahui. Sekolah ini akhirnya memberi kebijakan untuk memprioritaskan relasi yayasan terlebih dahulu untuk menerima peserta didik baru, selanjutnya yang memiliki saudara kandung yang telah bersekolah di sana, kemudian yang memiliki kesamaan tempat ibadah di sana, selanjutnya barulah yang berani memberi sumbangan lebih ke sekolah.
Ada juga satu sekolah yang sempat penulis terkaget-kaget, yang membuat orangtua berlomba-lomba memberi sumbangan untuk sekolah hingga miliar rupiah agar anaknya diterima di sekolah tersebut. Luar biasa sekali sekolah ini, asetnya sudah pasti berlimpah dan semoga guru-guru mereka sejahtera serta fasilitas sekolahnya pun semoga mumpuni sesuai dengan sumbangan yang mereka terima.
Dari pengalaman berdialog dan mengamati hal-hal terkait persekolahan ini, penulis ijin memberikan masukan kepada yayasan atau kepala sekolah yang mendapat tugas memajukan satuan pendidikannya. Sekolah hari ini bukan hanya untuk membuat siswa/i duduk di dalam kelas dan hanya mendapatkan pelajaran akademis saja mereka perlu diberi penguatan-penguatan yang lebih berarti ketimbang hanya duduk, mendengarkan, mengulang, dan dinilai.
Siswa/i perlu diberi tantangan yang lebih untuk membuat mereka lebih siap di masa depan mereka. Tantangan-tantangan ini dapat berupa program-program pengembangan diri, seperti penguatan literasi, numerasi, karakter unggul. Sekolah dapat menyelipkannya di dalam keseharian menyelesaikan materi ajar, beri warna lain dan optimalkan waktu bersama siswa/i.Â
Selanjutnya lakukan promosi ke warga sekitar sekolah dengan melakukan kegiatan yang memberi sumbangsih ke warga sekitar sekolah, dan kegiatan ini terus dilebarkan zonanya hingga ke tingkat kabupaten bahkan internasional.
Tim sekolah perlu sekali untuk membuat rancangan perencanaan jangka pendek dan panjang, yang dibicarakan dengan berdasarkan riset dari kebutuhan masyarakat, kelayakan sekolah, serta kenyataan yang diterima dari proses pembelajaran bersama siswa/i.Â
Program perancangan ini perlu melibatkan guru, orangtua, yayasan dan tentu kepala sekolah. Syukur-syukur sekolah memiliki tim pengembangan yang tugasnya melakukan riset untuk terus mengevaluasi perjalanan sekolah selama merealisasikan visi dan misinya.
Sekolah perlu terus menerus tegas dalam rencana, dan target. Sekolah tidak perlu ikut-ikutan sekolah lain sehingga senantiasa menjadi follower/pengikut saja, namun sekolah perlu berani menjadi trendsetter/ pembuat tren baru yang belum dimiliki sekolah lain. Visi sekolah perlu dikaji minimal per tahun begitu juga misinya serta value sekolah pun perlu dikajikan apakah masih relevan dengan perubahan jaman yang luar biasa cepat.
Ingat dahulu game online, rental internet, warung telekomunikasi (wartel) itu menjamur dan hari ini hampir semua tutup lantaran datangnya si smart phone serta murahnya biaya internet dengan akses di manapun. Perubahan ini seharusnya disadari oleh sekolah, bahwa sekolah perlu terus melakukan riset untuk pengembangan agar sekolah terus mendapat tempat di masyarakat.
Kepemimpinan yayasan dan sekolah perlu sekali dikaji apakah membuka komunikasi yang terbuka, flexible, dinamis, dan gerak cepat dan tepat? Apakah masih gaya kolonial yang birokratif yaitu kepemimpinan yang masih menunggu atasan tertinggi yang mengambil keputusan sehingga lini manajemen tengah dan bawah tidak berwenang mengambil keputusan di zona mereka alhasil semua keputusan harus menunggu dan menunggu layaknya penyempitan pada leher botol atau bottle neck.
Dari segala masukan dan usulan di atas, hal yang memang sangat penting dan urgensi untuk difokuskan dalam upaya membuat sekolah laku keras di masyarakat adalah KEPEMIMPINAN.Â
Model leadership sekolah sangat memberi arti penting untuk memajukan sekolah. Sekolah-sekolah yang maju pesat hari ini mereka menerapkan kepemimpinan kolaboratif dan partisipatif.Â
Kepemimpinan yang menerapkan model matiks dimana setiap lini di bawah memiliki zona untuk berwenang sesuai dengan deskripsi kerjanya. Alhasil setiap zona kepemimpinan dapat ruang untuk dikaji, dievaluasi dan dikembangkan agar zona tersebut dapat berkembang. Pimpinan tertinggi cukup observasi, monitoring dan pengembangan bukan lagi terlibat ke dalam sehingga terkesan kurang dapat memberikan delegasi yang luas.
Ini sebagian kecil yang dapat penulis bagikan dalam pertemuan tulisan kali ini. Semoga kita sebagai pelaku pendidikan dapat mengembangkan diri secara terus menerus serta pada akhirnya kita dapat mengembangkan sekolah kita dan tentu ketika sekolah berkembang hal ini sangat berdampak kepada perbaikan kehidupan bangsa dan negara kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H