Penulis kembali bercerita pengalaman penulis di saat penulis menjadi seorang kepala SMP di salah satu sekolah swasta. Waktu itu SMP kami sangat muda, dan sebagai SMP yang muda tentu menjadi PR utama adalah membangun sistem persekolahan yang setiap kali dilakukan pendekatan, evaluasi dan pembaharuan. Apalagi di masa itu, penentuan kualitas sekolah berujung pada kemampuan para murid untuk lulus dari ujian nasional dengan nilai rerata yang baik dan berada di atas rerata sekolah-sekolah lain. Kompetisi rerata nilai ujian nasional pun menjadi hal yang wajar terjadi di lingkungan pendidikan formal saat itu.
Sebagai SMP yang baru, tentu kami tidak dapat melakukan seleksi seketat SMP yang sudah ada namanya, alias sudah terkenal. Kami hanya dapat melakukan seleksi melalui tes sederhana yang kami gunakan untuk sekedar mengetahui kemampuan akademis murid khususnya kemampuan matematika dan bahasa Inggris. Namun ada satu tes yang kami kuatkan yang menurut hemat saya waktu itu adalah tes kesanggupan orangtua untuk bekerjasama dengan sekolah. Hal ini menjadi penting karena kami menerapkan filosofi pendidikan dengan sebuah pendekatan 4 kaki meja.
Filosofi 4 kaki meja bermakna bahwa meja yang dapat meletakan banyak hal diartikan sebagai penguatan kemampuan murid yang ingin dituju yaitu kemampuan untuk memahami banyak hal dan dapat menjadi tempat untuk pengembangan dari banyak hal seperti kemampuan akademis, kemampuan non akademis, kemampuan dalam mengendalikan diri, mengenal diri, dan lainnya. Meja ini akan seimbang dan tidak goyak karena ditopang oleh 4 kaki meja. Siapa saja 4 kaki meja tersebut? Ya yang pertama adalah tentu topangan yang diberikan oleh yayasan selaku penyelenggara pendidikan, yayasan memberikan dukungan berupa saran, sarana-prasarana, keuangan, visi, juga budaya sekolah yang diharapkan.
Kaki yang kedua adalah sekolah dimana di dalamnya adalah kepala sekolah dan tim sekolah yaitu guru dan tenaga kependidikan (staf administrasi, keamanan, kebersihan). Sekolah memberikan pelayanan pendidikan yang prima mulai dari proses pembelajaran yang membangun, menyenangkan dan membawa kemajuan kepada murid, sekolah juga memberikan penguatan kepada murid dan orangtua murid untuk saling bekerjasama dalam menjalankan pendidikan.
Kaki yang ketiga adalah orangtua murid, peranan orangtua murid disini adalah untuk terus memantau perkembangan murid khususnya di rumah, juga aktif dalam membangun interaksi bersama pihak sekolah dalam upaya mendukung kegiatan sekolah untuk  memajukan putra-putrinya.
Kaki yang keempat adalah murid, mereka sebagai subjek belajar yang dinamis penuh warna. Murid perlu dilibatkan dalam kegiatan persekolahan agar mereka pun merasakan pendidikan di sekolah sebagai bagian dari kehidupannya hal ini dapat membangkitkan semangat mereka untuk bersekolah.
Kerjasama 4 kaki meja ini sangat perlu direkatkan agar pendidikan dapat berjalan secara optimal. Berikut penulis menuangkan kerjasama antar 4 kaki meja dalam melakukan pemecahan masalah yang terjadi pada salah satu murid. Katakan saja nama murid ini adalah A. Ia didaftarkan bersekolah di SMP yang penulis pimpin waktu itu dengan dasar kemampuan matematika dan bahasa Indonesia dan tambahan bahasa inggrisnya cukup. A juga tampak tidak banyak bicara, kurang intensif dalam kontak mata, serta juga tampak seperti murid yang pada umumnya yang terkesan masih anak SD yang baru lulus.
A diantar oleh Papa-nya untuk mendaftar sekolah dan juga untuk hal lainnya terkait pendaftaran. Papa A terlihat sebagai orangtua yang santun, berpendidikan, punya visi kuat untuk anaknya. Tiba waktunya kami mengundang kedua orangtua A untuk hadir dalam wawancara bersama pihak sekolah dan pihak yayasan. Namun waktu itu yang hadir sekali lagi hanya Papa A saja, Mama A waktu itu belum dapat hadir dikarenakan adanya tugas pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan. Hal ini kami maklumi dan kami tetap jalankan proses wawancara tersebut.
Setelah akhirnya kami terima A menjadi murid SMP, selang 1 bulan pembelajaran terjadi sebuah kejadian yang belum pernah kami alami sebelumnya. "Pak Frengky, ada laporan dari murid kita bahwa ada murid yang menyebarkan pornografi melalui facebooknya ke teman-teman lainnya", Guru BK kami menyampaikan temuan ini. Tanpa perlu waktu lama, saya meminta untuk segera diselidiki kebenaran laporan ini dan tentu panggil A agar melakukan klarifikasi tindakannya. Setelah berlangsung hanya beberapa menit, data telah ditemukan berupa halaman facebook yang berisi penyebaran pornografi. Selanjutnya setelah data ditemukan, saya minta ditemukan dengan A yang dihadiri oleh wali kelas, guru BK dan kepala sekolah.
Kami lakukan wawancara mendalam dengan A, untuk mengetahui motif dan kebiasaan apa yang sudah hadir di dalam dirinya yang terbentuk sebelum ia menjadi murid SMP kami. Akhirnya A mengakui tindakannya, namun belum merasa bersalah. Tugas kami berikutnya adalah menemukan akar masalah yang ada pada A agar kami dapat membantu A keluar dari kebiasaan buruk ini. Dikarenakan A cukup pemalu untuk mengungkapkan hal-hal salah yang sangat pribadi, maka saya mengubah pertemuan dengan cara intensif berdua dengan A. Di saat pertemuan 4 mata berlangsung, dengan kemampuan sugesti yang pernah saya pelajari, saya coba untuk membuat A bercerita secara mendalam apa saja yang ia lakukan di luar sekolah di saat SD.
Saya cukup kaget setelah mendengar cerita A bagaimana ia memulai menonton pornografi dimulai dari rental game online di suatu tempat penyewaan. Di sana juga ia belajar merokok, melakukan tindakan negatif lainnya yang tidak pantas sebagai murid sekolah dasar. A juga bercerita bagaimana mama papanya pun tidak mengetahui hal ini karena ia tidak menceritakannya kepada orangtuanya.
Setelah mendapat cerita yang cukup dari A, penulis mulai merangkai kronologis sebab akibat yang mendukung terjadinya pembiasaan membagi pornografi yang dilakukan A. Untuk melengkapi data, penulis pun mengundang orangtua A untuk hadir bertemu dan menjelaskan terkait kejadian yang terjadi. Penulis meminta kehadiran kedua orangtuanya dan bukan hanya papa dan mamanya. Suatu ketika hanya papa A yang hadir, penulis tolak dan meminta untuk bersama mama A juga untuk hadir. Waktu itu, penulis hanya berpikir bahwa ini adalah anak dari mama dan papa, maka keduanya wajib hadir untuk menguatkan kaki meja 3 untuk itu dengan tegas penulis minta kedua orangtua wajib hadir guna mencarikan solusi untuk A.
Yayasan sebagai kaki meja pertama telah penulis libatkan dengan memberikan laporan kejadian yang terjadi dan proses penangganan yang dilakukan. Yayasan mendukung sepenuhnya apa saja yang dilakukan. Saat kedua orangtua A datang dan menghadap, penulis menggali bagaimana pendekatan yang dilakukan mama dan papa A dalam keseharian bersama A. Penulis menemukan ada ketidakharmonisan dalam komunikasi antar mama dan papa A. Terlihat mereka cenderung memiliki pendapat masin-masing yang berseberangan dan terlihat juga adanya interaksi yang kurang kompak antar mereka. Disinlah penulis mendapat sebuah kesimpulan bahwa akar masalah A melakukan tindakan kurang terpuji adalah karena A tidak mendapatkan kesamaan visi dari mama dan papa A.
Dalam pertemuan pertama bersama orangtua A, penulis mengajak kedua orangtua A untuk sepakat dulu untuk satu nada dalam melakukan pendekatan kepada A. Guna memunculkan tingkat urgensitas atau ketermendasakan yang tinggi agar kedua orangtua A melek dalam kasus anaknya, penulis menceritakan segala hal yang telah dilakukan oleh A selama menjadi murid sekolah dasar mulai dari merokok hingga pornografi. Kedua orangtua sontak kaget dan tampak raut muka mereka sedih dan kecewa serta juga menyesal. Papa mama A adalah sarjana pendidikan, mereka sangat santun dan penuh nilai-nilai religius, seketika mendengar perilaku anaknya demikian, tentu ini bah arang yang dicorengkan dimuka mereka.
Papa A tipe papa yang memberikan kelonggaran kepada A, sedangkan mama A adalah tipe mama yang memberi ketegasan hingga cukup keras kepada A. Kedua peran ini sering beradu di dalam pendekatan kepada A. Papa A bercerita bahwa A pernah menjadi murid teladan, dengan prestasi segudang. Namun A mendapat perudungan dari teman-teman A yang kalah bersaing dengan A. Perundungan ini berdampak pada A sehingga A tidak mau lagi berprestasi dan malah A mencari pendekatan lain dengan cara melanggar dan melakukan tindakan tidak terpuji guna mendapat teman-teman yang tidak merundung dirinya.
Tindakan berseberangan dengan tindakan sebelumnya seringkali menjadi pilihan anak yang mengalami perundungan. Pada awal perundungan terjadi, A belum mendapat penyelesaian sehingga papa A memindahkan A ke sekolah dasar lain, dan akhirnya A memulai kehidupannya sebagai murid yang seing nongkrong di warnet (warung internet) disinilah awal tindakan tidak terpuji terjadi.
Penulis sebagai kepala sekolah waktu itu, terus merenungkan bagaimana cara memberikan pendampingan ke A agar ia bisa selamat dan terbentuk kebiasaan baru yang terpuji. Penulis ingat suatu ajaran yang mengatakan bahwa pikiran adalah pelopor, pembentuk, pengantar. Jika kita berpikir ke arah yang baik maka kebaikan akan bersama kita, dan sebaliknya jika kita berpikir ke arah yang buruk maka hal buruk pun akan bersama kita. Untuk itu penulis mengajak tim guru untuk terus baik dan tegas kepada A Â agar dia terus dipantau ke arah tindakan terpuji.
Penulis mengajak papa dan mama A yang memiliki cara pendekatan berseberangan agar menyatu sebagai satu tim. Papa dan mama A akhirnya mengeluarkan air mata mereka sebagai reaksi penyesalan yang mereka lakukan hingga membuat A melakukan tindakan tidak terpuji. Air mata ini sangat berarti bagi penyelesaian awal, ini sebagai bentuk bahwa kedua orangtua menyadari kesalahan mereka dalam pengasuhan terhadap anaknya. Setelah kedua orangtua sepakat untuk bekerjasama sebagai satu tim, maka penulis mengajak kedua orangtua bertemu dengan A dalam sesi pertemuan di sekolah.
Mata A pun berkaca-kaca penuh ketakutan dan kecemasan, tanpa banyak bicara ia terdiam dalam kesalahannya. Penulis menceritakan ke A bahwa penulis layak untuk memberitahu segala hal yang tidak terpuji yang pernah dilakukan A yang belum diketahui oleh kedua orangtua A. Penulis meminta kesepakatan bersama antara A, dan kedua orangtua A, dengan sebuah pertanyaan. "Apakah A ingin melanjutkan bersekolah di sini?, jika jawabannya iya, mari kita kerjasama untuk keluar dari kebiasaan yang tidak terpuji", dengan lantang penulis sampaikan, "Sepakat kita bekerjasama untuk keluar dari kebiasaan tidak terpuji ini?", A secara pelan-pelan menjawab, "Ya Pak Frengky", dan kedua orangtua A pun menjawab dengan tekanan intonasi yang jelas,"Ya Pak, kami sepakat".
Pertemuan awal ini sungguh penting untuk menentukan upaya dan menuju target penyelesaian yang dicita-citakan. Syukurlah masih ada jalan baik untuk A dimana dukungan semua kaki meja telah bekerja untuk membantu A. Setelah pertemuan ini, penulis meminta kepada guru kelas dimana A berada, untuk juga saling mendukung A agar ia mendapat tempat yang baik bukan dihindari, dicemooh atau dirundung lagi. Kesepakatan bersama para murid lainnya ini pun menjadi kekuatan untuk membantu A keluar dari kebiasaan buruknya. Selanjutnya penulis meminta A untuk terus melapor hal baik apa saja yang ia lakukan mulai dari perhari, per-2 hari, per-3 hari, perminggu, perbulan dan seterusnya. Laporan ini dibuat berjenjang, untuk 1 bulan pertama A wajib lapor hal baik yang ia lakukan per hari, lalu untuk bulan ke-3 ia wajib lapor perminggu. Laporan ini dilakukan secara lisan, dihadapan penulis langsung atau guru BK atau juga guru kelas A.
Selain tindakan di kelas, penulis juga menyempatkan untuk hadir di rumah A. Penulis ingin mengetahui seperti apa kegiatan A setelah dilakukan pendekatan-pendekatan. Penulis harap dengan kunjungan langsung ke rumah, A dapat merasakan adanya kasih sayang yang tulus dari sekolah untuk membantu ia keluar dari kebiasaan buruk yang pernah ia lakukan. Sesampai di rumah A, dengan malu-malu ia menyapa dan mencium tangan penulis sebagai salam yang pernah ia lakukan sebelum ia dirundung di sekolah dasar dahulu kala. Penulis tidak bicara banyak, hanya mengatakan hal-hal sugesti agar ia dapat memahami dengan mudah,"Hebat, kamu hebat, sudah lebih baik, kami semua bahagia atas hal ini". A merespon dengan tersipu-sipu dan mengatakan," Terima kasih Pak Frengky".
Membangun lingkungan yang kondusif di sekolah yang saat ini diberi slogan sekolah ramah anak dapat membantu murid yang memiliki kebiasaan buruk keluar dari kebiasaan tersebut dan memulai kebiasaan baik yang patut dilakukan. Konsistensi dalam bentuk tindakan itu yang terpenting bukan hanya lengkap administrasi sebagai sekolah ramah anak. Tindakan-tindakan yang terukur, terlaksana dengan konsisten pernuh pengorbanan dan juga fokus membantu A untuk keluar dari kebiasaan buruknya.
Tibalah di penghujung kelulusan A, ia mendapat nilai yang cukup baik, bahkan saat ini A sudah berkuliah. Penulis mendapat kabar langsung dari orangtua A, dan mereka mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas usaha sekolah yang serius untuk membantu anaknya keluar dari kebiasaan buruknya. Hari ini A telah berjalan dijalan yang patut, yang membanggakan dirinya, kedua orangtuanya, sekolahnya dan lingkungannya.
Semoga sebagai pendidik, kita semua terus berupaya seoptimal mungkin untuk membantu murid-murid kita yang masih perlu dukungan kita agar mereka kelak menjadi generasi emas yang memajukan bangsa dan negara Indonesia. Semoga kita dilengkapi dengan kesehatan, kebahagiaan dan kesejahteraan agar kita dapat terus berdedikasi sebagai pendidik masa depan yang membanggakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H