Salah satu adegan paling mengusik adalah kameo Scorsese sebagai penumpang taksi yang memberitahu Travis bahwa ia ingin membunuh istrinya yang berselingkuh. Dengan nada tenang namun penuh kebencian, pria itu menguraikan rencananya sambil memegang pistol. Momen ini menjadi pemantik bagi Travis untuk menyusun rencana pembunuhan. Adegan ini menunjukkan bagaimana ide kekerasan mulai berakar dalam pikiran Travis, seolah ia menemukan pembenaran baru untuk aksi brutalnya.
Namun, ketika rencana pertama itu gagal, yaitu membunuh calon presiden sekaligus bos Betsy, Travis pun melampiaskan frustrasinya kembali pada orang-orang di sekitar Iris. Dalam adegan penuh darah, ia membunuh mucikari dan pelanggan Iris, tindakan yang disorot media sebagai aksi heroik. Ironisnya, di balik glorifikasi ini, Travis tetap tidak berubah. Di adegan penutup, mungkin kita melihat ada perubahan, mulai dari perlakuan Betsy yang lebih ramah kepadanya, serta bagaimana Travis tampak lebih akrab ketika bercengkrama dengan rekan-rekan sesama sopir. Tapi, semua perubahan itu berujung pada open ending, saat kamera menyorotnya kembali melaju di tengah malam New York City, menyusuri jalanan sepi yang membawa kita kembali ke adegan pembuka. Semua seakan berputar, dan Travis tetap menjadi Travis, sebuah penutup yang sempurna.
Berbicara soal alienansi, memang ia menjadi sorotan utama yang menjangkiti kehidupan para pria muda di kota-kota besar Amerika Serikat pasca-Perang Vietnam. Travis sendiri adalah personifikasi dari generasi pria yang baru saja kembali dari perang menuju realitas asing yang tidak memberikan habitat untuk hidup. Banyak veteran perang seperti Travis mengalami keterasingan karena mereka dipaksa beradaptasi dengan masyarakat yang tidak memahami atau menghargai trauma yang mereka bawa.
Travis, seperti banyak pria muda lainnya, mewakili korban kapitalisme urban di mana individu dipisahkan dari komunitasnya dan dipaksa menghadapi realitas yang asing. Inilah yang disebut alienansi. Karl Marx berkelakar bahwa manusia modern, terutama di kota besar, sering kali berhadapan dengan keterputusan koneksi dengan esensi kemanusiaannya karena sistem yang menekankan individualisme dan konsumsi tanpa henti. New York sebagai kota metropolitan, apalagi di pertengahan tahun 70-an mendadak jadi ekosistem bagi para pria malang yang mengadu nasib dengan trotoar, narkoba, dan alkohol. Tiga serangkai itulah yang menjerumuskan para veteran muda ke dalam lingkaran setan kehidupan.
Jika ditelisik, film ini memberikan sumbangsih pemahaman baru tentang alienansi, bahwasanya Marx terlalu condong untuk mengkambinghitamkan kapitalisme sebagai sumber masalah sosial. Di film ini, kapitalisme tidak dibahas secara eksplisit, tetapi dampak sosial dari kebijakan politik para kapitalis dapat terlihat secara realistis. Jika kita tidak mau menyebutnya sebagai perang ideologi, maka perang Vietnam merupakan perangnya para pebisnis dalam tanda kutip. Perang itu bukan sekadar konflik senjata, tetapi juga tentang siapa yang bisa menjual lebih banyak senjata sambil tetap memasang gelagat patriotik di depan layar kaca. Sedangkan Travis, ia adalah residu hidup dari perang yang hanya disisihkan seperti barang cacat pabrik. Nampaknya, itu yang ingin disampaikan oleh Scorsese, bahwa ketika Travis melihat New York, ia tidak menganggapnya sebagai tempat tinggal melainkan tempat yang penuh kekacauan, dekadensi moral, dan kebusukan, yang menurutnya tidak tidak bisa lagi diselamatkan atau diperbaiki, hanya bisa dihancurkan.
Sementara maskulinitas radikal adalah kritik tajam terhadap konstruksi gender patriarkis. Dalam pandangan sosiologi gender, maskulinitas radikal lahir dari tekanan untuk menampilkan kekuatan, keberanian, dan dominasi dalam masyarakat yang sering kali mengabaikan nilai empati. Tekanan ini semakin parah ketika para veteran perang kembali ke tanah air, di mana mereka diharapkan tetap tegar, pemberani, dan pantang depresi setelah bertugas. Padahal, kenyataan di medan perang telah menghancurkan mereka, baik secara fisik, psikis, maupun karir, membuat banyak dari mereka kehilangan pijakan hidup.
Dan obsesi Travis untuk menyelamatkan Iris adalah hasil fantasinya untuk menjadi maskulin melalui kekerasan dan dominasi, seperti halnya koboi klasik Amerika, yang digambarkan sebagai pria tangguh yang menyelamatkan wanita dengan senjata di tangan. Karena hanya itulah satu-satunya cara untuk memvalidasi eksistensi dirinya sendiri dalam dunia yang terus mengabaikan dan mengasingkannya.
Simfoni Terakhir Bernard Herrman
Sinematografi yang apik belum tentu cukup untuk menghiasi penampakan sebuah film jika tidak disertai dengan musik yang relevan.
Adalah Bernard Herrmann yang menciptakan musik yang melekat pada jiwa "Taxi Driver". Sebelumnya, komposer legendaris ini lebih kental dengan musik horor, tapi di film ini, ia berani meninggalkan jalur konvensional dengan menciptakan skor yang lebih terdengar jazz. Melalui repetisi harmoni dari instrumen saxophone, musik Herrmann berhasil menangkap esensi isolasi dalam jiwa Travis. Sebenarnya, ada ironi dalam penggunaan jazz di sini, karena genre musik ini lebih sering diasosiasikan dengan kebebasan, tetapi di tangan Herrmann justru jazz menjadi suara yang mengiringi keterasingan dan keterjebakan Travis.
Melodi saksofon yang mengalun lembut saat Travis mengemudi di bawah neon kota New York bukan hanya elemen pendukung, tetapi sebuah narasi emosional. "Taxi Driver" adalah bukti bahwasanya musik menjadi nyawa yang memberikan sentuhan hidup dalam cerita.
Kesimpulan
"Taxi Driver" membuka jalan bagi Scorsese untuk memperkenalkan namanya sebagai salah satu sineas paling berpengaruh di dunia perfilman. Melalui film ini, Scorsese menyediakan template sekaligus standar baru  bagi Hollywood dalam memproduksi sebuah film. Film yang tidak hanya mengandalkan cerita, namun juga didukung oleh akting, sinematografi, dan musik yang mumpuni, tanpa melupakan hakikat aslinya sebagai cermin sosial. Menjadikan "Taxi Driver" sebuah potret sempurna sisi gelap kehidupan urban dari lensa sinema.
Secara keseluruhan, rating yang layak untuk "Taxi Driver" adalah 9/10.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI