Mohon tunggu...
Denox
Denox Mohon Tunggu... Lainnya - juru tulis serabutan

verba volant, scripta manent

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Taxi Driver, Potret Sempurna Sisi Gelap Kehidupan Urban dari Lensa Sinema

24 Januari 2025   12:15 Diperbarui: 24 Januari 2025   12:21 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kota adalah tempat yang penuh kontradiksi. Di tengah keramaian dan kesibukannya, ada kesepian dan kesendirian yang menyelinap diam-diam. Kota memberikan latar belakang yang dinamis, terkhususnya dalam mengiringi sebuah cerita, kota menjadi panggung sesungguhnya bagi drama, tragedi, dan absurditas manusia yang terus berkelindan tanpa jeda. Di era New Hollywood, kota menjadi template baru yang melatari film-film barat. Di antara banyaknya sineas progresif di era tersebut, Martin Scorsese adalah yang paling visioner dalam mengilustrasikannya.

Baginya, kota bukan sekadar latar fisik, melainkan sebuah karakter dengan dinamika dan kompleksitasnya sendiri. Ritme kota yang tidak pernah berhenti dimanfaatkannya untuk mengeksplorasi tema-tema tabu yang jarang diangkat saat itu. Ia berani menunjukkan sisi gelap kota yang sering terabaikan melalui kriminalisme, prostitusi, dan sudut-sudut kumuh.


Diantara semua karya-karyanya, satu yang paling nyata merepresentasikan kehidupan kota adalah "Taxi Driver" yang dirilis pada tahun 1976. Film dibuka dengan sorotan kamera yang tertuju pada seorang pria bersama mobil taksinya, menyusuri jalanan New York City dengan lampu-lampu neon, satu-satunya teman yang menemaninya di sepanjang jalan. Dia dalah karakter utama kita, Travis Bickle, seorang sopir taksi introvert yang diperankan oleh aktor kawakan Robert De Niro. Setelah banyaknya malam yang dilalui, Travis merasa dirinya semakin tenggelam dalam rutinitas monoton yang penuh dengan frustrasi akan kesepian. Ia pun berusaha mencari makna dalam dunia yang seakan tidak berfungsi, sementara kota yang penuh dengan kegaduhan justru terus mengasingkannya. Pada babak-babak berikutnya, plot cerita akan membawa pemirsa pada episode kehidupan Travis dalam menemukan jati dirinya di antara penolakan masyarakat terhadap sampah negara seperti dirinya. Sekilas, mungkin plotnya tampak sederhana, tapi di balik itu, nyatanya film ini bukan hanya tentang sopir taksi biasa. Di dalamnya juga menyimpan potret suram keterasingan, moralitas, dan alienansi yang muncul di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota besar.

Ketika Sinematografi Bercerita
Tidak seperti di film-film sebelumnya, Scorsese memilih untuk tidak membanjiri "Taxi Driver" dengan banyak dialog. Sebagai gantinya, ia menggunakan bahasa visual untuk medium bercerita. Uniknya, Scorsese tidak memakai simbolisme apapun untuk menyampaikan gagasan ceritanya, melainkan ia mengemas narasinya melalui sudut pengambilan gambar dan pergerakan kamera yang tepat. Salah satu contohnya adalah adegan ketika Travis menelepon Betsy untuk meminta maaf setelah upaya kencan mereka gagal. Alih-alih memusatkan kamera pada Travis, Scorsese mengarahkan pandangan kamera ke lorong kosong di sebelahnya. Keputusan untuk tidak menyorot wajah Travis justru memperkuat rasa malu dan kegagalannya, membuat penonton tidak hanya melihat, tetapi juga merasakan kehampaan yang dialaminya.

Contoh lainnya adalah adegan ketika Travis mengintip Betsy di kantor kampanye dari luar jendela. Kamera mengambil sudut close-up dari luar, memperlihatkan bagaimana kaca jendela menjadi batas fisik dan metaforis antara Travis dan Betsy. Di sini, kita memahami bahwa Travis bukan hanya merasa terasing secara sosial, tetapi juga terjebak dalam dunianya sendiri yang penuh distorsi dan delusi. Dan cara tersebut cukup efektif untuk mengekspresikan narasi tanpa dialog-dialog yang panjang.

Di sisi lain, sinematografi Scorsese juga memberikan ruang bagi De Niro untuk menunjukkan kemampuan aktingnya secara maksimal. Dalam "Taxi Driver", De Niro menampilkan performa yang emosional dan realistis, jauh melampaui standar akting tekstual yang umum di era klasik. Terutama improvisasi yang dilakukannya ketika berbicara di depan cermin. Hingga kini, scene tersebut dianggap sebagai salah satu bukti nyata bahwa De Niro adalah salah satu aktor paling berpengaruh di era New Hollywood. Pendekatan ini yang disebut revolusi perfilman, yang memberi jalan bagi akting yang tidak hanya berbicara melalui kata-kata, tetapi juga melalui gerakan tubuh dan imajinasi.

Bibit Embrio Method Acting
Penampilan Robert De Niro dalam "Taxi Driver" menyumbang kontribusi besar terhadap perkembangan mazhab method acting di dunia perfilman. Melansir dari The Hollywood Times, De Niro memang menyiapkan dirinya dengan sangat serius untuk karakter Travis. Ia rela menjadi sopir taksi selama beberapa minggu di New York City demi mendalami kehidupan pekerja kelas bawah. Ia bahkan sampai mengurung dirinya di apartemen untuk beberapa minggu supaya bisa merasakan psikologis karakter Travis sebagai pemuda yang trauma akibat Perang Vietnam. Pendekatan ini membuatnya tidak hanya berperan sebagai Travis, tetapi menjadi Travis secara utuh. Hal yang sama bisa dilihat dalam perannya di "Raging Bull", di mana ia menaikkan berat badannya sebanyak 27 kg demi mendalami karakter Jake LaMotta di akhir karirnya.

Jika dibandingkan dengan peran Marlon Brando di "The Godfather" sebagai Don Vito Corleone, yang juga menggunakan pendekatan method acting, terlihat Brando lebih mengandalkan intonasi dan ekspresi wajah untuk menghidupkan karakternya, sementara De Niro menciptakan karakternya melalui transformasi fisik, ekspresi emosional, dan identifikasi mendalam. Sehingga, performa De Niro memberikan pergeseran besar dalam cara aktor berinteraksi dengan perannya, menjadikannya salah satu pelopor method acting yang mempengaruhi banyak aktor generasi setelahnya.

Selain De Niro, Jodie Foster sebagai Iris dan Cybill Shepherd sebagai Betsy juga layak diapresiasi. Foster, yang ketika itu masih remaja, mampu memerankan Iris, seorang gadis muda yang terjebak dalam dunia prostitusi dengan menghadirkan sisi rentan yang natural dan penuh empati. Dari sini, sepertinya bibit-bibit bakat aktingnya sudah terpancar sejak usia dini. Di sisi lain, Shepherd sebagai Betsy juga mampu memberikan penampilan yang meyakinkan sebagai gadis muda idealis yang kemudian menjadi partner singkat Travis.  

Alienansi dan Maskulinitas Radikal
Banyak yang berkelakar kalau menyaksikan "Taxi Driver" seperti membaca tesis dengan teori-teori yang komprehensif. Karena di balik plotnya yang absurd, ada kritik sosial yang tajam tentang alienasi dan maskulinitas radikal. Salah satu momen yang paling mencolok adalah ketika Travis mulai mempersiapkan diri untuk sebuah misi, dengan berlatih fisik di apartemennya, membeli senjata api, dan mencukur rambutnya menjadi mohawk. Rentetan adegan itu menunjukkan bagaimana Travis membayangkan dirinya sebagai penyelamat, seperti koboi yang memberantas kejahatan, sebuah fantasi yang menguatkan citranya sebagai pria tangguh yang bersedia untuk menyelamatkan seorang wanita.

Adapun Betsy menjadi objek harapan bagi Travis, sebagai wanita yang harus diselamatkan dari cengkraman bosnya, seorang calon presiden. Ketika rencananya untuk mendekati Betsy gagal, obsesinya pun beralih kepada Iris, seorang pekerja seks di bawah umur. Travis meyakini bahwa menyelamatkan Iris dari dunia prostitusi adalah tindakan heroik, karena melalui heroisme tersebut, masyarakat akan memvalidasi keberadaannya.

Salah satu adegan paling mengusik adalah kameo Scorsese sebagai penumpang taksi yang memberitahu Travis bahwa ia ingin membunuh istrinya yang berselingkuh. Dengan nada tenang namun penuh kebencian, pria itu menguraikan rencananya sambil memegang pistol. Momen ini menjadi pemantik bagi Travis untuk menyusun rencana pembunuhan. Adegan ini menunjukkan bagaimana ide kekerasan mulai berakar dalam pikiran Travis, seolah ia menemukan pembenaran baru untuk aksi brutalnya.

Namun, ketika rencana pertama itu gagal, yaitu membunuh calon presiden sekaligus bos Betsy, Travis pun melampiaskan frustrasinya kembali pada orang-orang di sekitar Iris. Dalam adegan penuh darah, ia membunuh mucikari dan pelanggan Iris, tindakan yang disorot media sebagai aksi heroik. Ironisnya, di balik glorifikasi ini, Travis tetap tidak berubah. Di adegan penutup, mungkin kita melihat ada perubahan, mulai dari perlakuan Betsy yang lebih ramah kepadanya, serta bagaimana Travis tampak lebih akrab ketika bercengkrama dengan rekan-rekan sesama sopir. Tapi, semua perubahan itu berujung pada open ending, saat kamera menyorotnya kembali melaju di tengah malam New York City, menyusuri jalanan sepi yang membawa kita kembali ke adegan pembuka. Semua seakan berputar, dan Travis tetap menjadi Travis, sebuah penutup yang sempurna.

Berbicara soal alienansi, memang ia menjadi sorotan utama yang menjangkiti kehidupan para pria muda di kota-kota besar Amerika Serikat pasca-Perang Vietnam. Travis sendiri adalah personifikasi dari generasi pria yang baru saja kembali dari perang menuju realitas asing yang tidak memberikan habitat untuk hidup. Banyak veteran perang seperti Travis mengalami keterasingan karena mereka dipaksa beradaptasi dengan masyarakat yang tidak memahami atau menghargai trauma yang mereka bawa.

Travis, seperti banyak pria muda lainnya, mewakili korban kapitalisme urban di mana individu dipisahkan dari komunitasnya dan dipaksa menghadapi realitas yang asing. Inilah yang disebut alienansi. Karl Marx berkelakar bahwa manusia modern, terutama di kota besar, sering kali berhadapan dengan keterputusan koneksi dengan esensi kemanusiaannya karena sistem yang menekankan individualisme dan konsumsi tanpa henti. New York sebagai kota metropolitan, apalagi di pertengahan tahun 70-an mendadak jadi ekosistem bagi para pria malang yang mengadu nasib dengan trotoar, narkoba, dan alkohol. Tiga serangkai itulah yang menjerumuskan para veteran muda ke dalam lingkaran setan kehidupan.

Jika ditelisik, film ini memberikan sumbangsih pemahaman baru tentang alienansi, bahwasanya Marx terlalu condong untuk mengkambinghitamkan kapitalisme sebagai sumber masalah sosial. Di film ini, kapitalisme tidak dibahas secara eksplisit, tetapi dampak sosial dari kebijakan politik para kapitalis dapat terlihat secara realistis. Jika kita tidak mau menyebutnya sebagai perang ideologi, maka perang Vietnam merupakan perangnya para pebisnis dalam tanda kutip. Perang itu bukan sekadar konflik senjata, tetapi juga tentang siapa yang bisa menjual lebih banyak senjata sambil tetap memasang gelagat patriotik di depan layar kaca. Sedangkan Travis, ia adalah residu hidup dari perang yang hanya disisihkan seperti barang cacat pabrik. Nampaknya, itu yang ingin disampaikan oleh Scorsese, bahwa ketika Travis melihat New York, ia tidak menganggapnya sebagai tempat tinggal melainkan tempat yang penuh kekacauan, dekadensi moral, dan kebusukan, yang menurutnya tidak tidak bisa lagi diselamatkan atau diperbaiki, hanya bisa dihancurkan.

Sementara maskulinitas radikal adalah kritik tajam terhadap konstruksi gender patriarkis. Dalam pandangan sosiologi gender, maskulinitas radikal lahir dari tekanan untuk menampilkan kekuatan, keberanian, dan dominasi dalam masyarakat yang sering kali mengabaikan nilai empati. Tekanan ini semakin parah ketika para veteran perang kembali ke tanah air, di mana mereka diharapkan tetap tegar, pemberani, dan pantang depresi setelah bertugas. Padahal, kenyataan di medan perang telah menghancurkan mereka, baik secara fisik, psikis, maupun karir, membuat banyak dari mereka kehilangan pijakan hidup.

Dan obsesi Travis untuk menyelamatkan Iris adalah hasil fantasinya untuk menjadi maskulin melalui kekerasan dan dominasi, seperti halnya koboi klasik Amerika, yang digambarkan sebagai pria tangguh yang menyelamatkan wanita dengan senjata di tangan. Karena hanya itulah satu-satunya cara untuk memvalidasi eksistensi dirinya sendiri dalam dunia yang terus mengabaikan dan mengasingkannya.

Simfoni Terakhir Bernard Herrman

Sinematografi yang apik belum tentu cukup untuk menghiasi penampakan sebuah film jika tidak disertai dengan musik yang relevan.

Adalah Bernard Herrmann yang menciptakan musik yang melekat pada jiwa "Taxi Driver". Sebelumnya, komposer legendaris ini lebih kental dengan musik horor, tapi di film ini, ia berani meninggalkan jalur konvensional dengan menciptakan skor yang lebih terdengar jazz. Melalui repetisi harmoni dari instrumen saxophone, musik Herrmann berhasil menangkap esensi isolasi dalam jiwa Travis. Sebenarnya, ada ironi dalam penggunaan jazz di sini, karena genre musik ini lebih sering diasosiasikan dengan kebebasan, tetapi di tangan Herrmann justru jazz menjadi suara yang mengiringi keterasingan dan keterjebakan Travis.

Melodi saksofon yang mengalun lembut saat Travis mengemudi di bawah neon kota New York bukan hanya elemen pendukung, tetapi sebuah narasi emosional. "Taxi Driver" adalah bukti bahwasanya musik menjadi nyawa yang memberikan sentuhan hidup dalam cerita.

Kesimpulan

"Taxi Driver" membuka jalan bagi Scorsese untuk memperkenalkan namanya sebagai salah satu sineas paling berpengaruh di dunia perfilman. Melalui film ini, Scorsese menyediakan template sekaligus standar baru  bagi Hollywood dalam memproduksi sebuah film. Film yang tidak hanya mengandalkan cerita, namun juga didukung oleh akting, sinematografi, dan musik yang mumpuni, tanpa melupakan hakikat aslinya sebagai cermin sosial. Menjadikan "Taxi Driver" sebuah potret sempurna sisi gelap kehidupan urban dari lensa sinema.

Secara keseluruhan, rating yang layak untuk "Taxi Driver" adalah 9/10.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun