Baku tembak spontan berhenti di musim panas pada pukul 10:00 pagi, hari Minggu, 27 Juli 1953. Perjanjian gencatan senjata yang berlangsung di Panmunjom menandakan berakhirnya konflik bersimbah darah yang berlangsung selama 3 tahun penuh. Tetapi itu hanya tulisan di atas kertas, adapun luka-luka masih tersimpan di dalam jiwa masing-masing kubu. Peperangan yang secara de facto telah selesai, lantas tetap tidak bisa terhindar dari atmosfer balas dendam dan perselisihan mendalam yang terus mempengaruhi dinamika hubungan antara Korut (Korea Utara) dan Korsel (Korea Selatan) selama bertahun-tahun setelahnya. Konflik yang berawal dari ketegangan regional berekspansi menjadi masalah global yang melibatkan banyak pihak.
Pasca-perang, kedua Korea mulai membangun struktur pemerintahannya masing-masing dan menjalin aliansi dengan mitra yang berbeda. Korsel semakin akrab dengan Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara barat, sementara Korut semakin mantap dengan rekan-rekan komunisnya. Ketika Korsel merayakan keajaiban kapitalisme dengan gedung pencakar langit yang megah dan K-pop yang mendunia, Korut mempunyai cara lain untuk memanifestasikan ideologi yang dianutnya. Yakni dengan memproduksi nuklir secara rutin. Tidak mengherankan karena nuklir adalah komoditas dagang sekaligus "mainan" provokasi Korut untuk mempertahankan kedaulatannya di kancah internasional.
Tidak hanya itu, John Smith, seorang ilmuwan politik terkemuka, menambahkan pandangan lainnya terhadap industri nuklir Korut. Dalam bukunya, "The Nuclear Ideology: North Korea’s Pursuit of Power and Identity", Smith menjelaskan bahwa Juche, buah pikiran Kim Il-sung yang menjadi kompas pemikiran masyarakat Korut saat ini, sangat memprioritaskan independensi dan swasembada. Nuklir, menurutnya, tidak hanya berfungsi sebagai alutsista, tetapi juga menjadi simbol kemandirian Korut untuk mempertahankan identitas mereka dari intervensi asing.
Sejak awal 2000-an, Korut di bawah dinasti Kim telah mengembangkan program nuklir yang ambisius nan kontroversial. Berdasarkan laporan International Atomic Energy Agency (IAEA), Korut pertama kali menguji coba senjata nuklirnya pada tahun 2006. Pada tahun 2017, negara tersebut bahkan mengklaim telah berhasil menguji bom hidrogen, senjata yang jauh lebih kuat daripada nuklir konvensional. Pengembangan kemampuan nuklir Korut menjadi ancaman serius bagi negara-negara di sekitarnya, mengingat rekam jejak negara tersebut di masa lampau.
Tindakan Korut juga memicu kekhawatiran internasional, terutama ketika uji coba rudal balistiknya menyasar wilayah negara tetangga. Contohnya, pada tahun 2017, rudal balistik yang diluncurkan Korut melintasi perbatasan Jepang sebelum jatuh di Samudera Pasifik. Hal serupa terjadi lagi pada Agustus 2019, ketika rudal balistik Korut jatuh di zona ekonomi eksklusif Korsel. Konon motifnya untuk demonstrasi kekuatan dan eksperimen senjata, tetapi, jika diteruskan, insiden-insiden ini berpotensi memicu respons militer yang serius dan konflik terbuka.
Di saat geopolitik dunia yang kian memanas, ancaman nuklir Korut dapat menambah kompleksitas dan ketidakpastian global, memperbesar risiko konflik berskala makro. Untuk mengatasi situasi ini, PBB sebagai organisasi internasional yang mempromosikan perdamaian dan keamanan global, wajib memperkuat upaya diplomatiknya untuk menyambung kembali hubungan internasional yang terputus-putus.
Namun, kolaborasi yang intens antara negara-negara besar saja tidak cukup untuk menengahi konflik panas yang sedang berlangsung. Formula ini terbukti beberapa kali gagal dalam menangani kasus serupa yang pernah terjadi, salah satunya Perang Rusia-Ukraina. Mengapa perang itu bisa meletus sedangkan PBB tampak membeku dalam kebuntuan? Konspirasi yang beredar menunjukkan bahwa berbagai kepentingan yang berbenturan di dalamnya, terutama antara Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok, telah menciptakan sebuah labirin politik yang rumit. Alhasil, sirkulasi dialog di dalam PBB, selaku pihak yang bertanggung jawab, tidak mengalir leluasa, melainkan tersendat-sendat oleh kepentingan khusus dan lobi-lobi dari "orang dalam".
Tentu berbicara soal geopolitik tidak bisa lepas dari hegemoni kekuasaan. Setiap negara, apalagi negara adidaya, tentu ingin mempunyai pijakan yang kuat di setiap wilayah supaya ia tetap menjadi major government di atas komunitas global. Dan Amerika Serikat adalah negara yang masih aktif menyandang gelar itu. Menurut Kishore Mahbubani, eks Presiden Dewan Keamanan PBB, dalam sebuah podcast yang dipandu oleh Gita Wirjawan, ia menjelaskan bahwa sudah saatnya Amerika Serikat untuk mengambil jalur tengah dan politik praktis demi menjaga stabilitas geopolitik dunia di masa depan. Artinya, untuk menghadapi ketegangan di wilayah rawan konflik seperti Semenanjung Korea, Amerika Serikat harus meredam egonya dan memisahkan kepentingan mereka sendiri dengan mengajak negara-negara oposisi seperti Korut, Tiongkok, dan Rusia untuk berdiskusi bersama.
Pertanyaannya, apakah Amerika Serikat sebagai aktor utama dalam pentas politik global mau membaurkan dirinya begitu saja dengan "para pemain figuran"? Berkaca pada sifat manusia saja, apakah iya, seseorang yang mempunyai kekuasaan tinggi mau berkoalisi dengan oposisi politiknya demi kesejahteraan bersama? Mungkin sejarah bisa menawarkan jawabannya, satu kata yang pasti adalah tidak. Kita pernah menyaksikan drama nuklir antara Uni Soviet dan Amerika Serikat di era Perang Dingin, sebelumnya juga kita pernah menyaksikan Inggris dan Jerman yang beberapa kali terjerat oleh konflik kepentingan yang tak kalah intens. Itu adalah bukti bahwa negara superpower tidak akan pernah mau berkompromi dengan lawan mainnya.
Dalam bukunya, "The Non-Aligned Movement and the Cold War: Delhi--Bandung--Belgrade", Vojin Sekularac menjelaskan bahwa neraga-negara berkembang harus vokal dalam menanggapi problematika geopolitik global. Negara-negara berkembang yang dimaksud adalah negara-negara post-kolonial. Sebagai satu diantara mantan negara jajahan, Vojin menyebut Indonesia sebagai salah satu pion yang memegang peran penting dalam percaturan politik internasional.