Mohon tunggu...
Aryanto Husain
Aryanto Husain Mohon Tunggu... Freelancer - photo of mine

Saya seorang penulis lepas yang senang menulis apa saja. Tulisan saya dari sudut pandang sistim dan ekonomi perilaku. Ini memungkinkan saya melihat hal secara komprehensif dan irasional.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Memajukan Gorontalo, Politik Utopis?

8 Mei 2022   20:10 Diperbarui: 10 Mei 2022   10:20 909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sepakat memajukan Gorontalo." ujar salah salah seorang Kepala Daerah pada status media sosialnya setelah pertemuan silaturahim Idul Fitri antar Pimpinan Parpol di Gorontalo, kemarin. Pertemuan ini menarik,dan tentu saja penting karena yang hadir adalah elit politik lokal yang juga menjabat Kepala Daerah.

Karena dihadiri tokoh politik maka pertemuan inipun tidak bisa lepas dari pertemuan politik. Otomatis kesepakatannya pun bisa disebut politis. Jika berjalan baik, maka dampaknya akan sangat baik bagi Gorontalo kedepan.

"Kesepakatan" para elit parpol lokal ini tentu sangat berarti. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, 'sepakat' berarti sependapat dan setuju terhadap suatu hal. Ada yang bersepakat mewujudkan sesuatu. Bisa jadi menghindari sesuatu, juga menjadi sebuah kesepakatan.

Sepakat memajukan Gorontalo artinya setuju dan sependapat untuk bahu membahu membangun Gorontalo menjadi lebih maju. Mandiri daerahnya, sejahtera warganya.

Apakah "kesepakatan politik" ini bisa diwujudkan atau hanya sekedar menjadi politik utopis?

Membangun Gorontalo menjadi lebih maju umumnya menjadi narasi tunggal setiap Kampanye Pilkada di Gorontalo. Namanya janji politik, sebagian bisa terwujud, sebagian lainnya nunggak. Ini tentu saja bukan sebuah kesalahan tapi bisa menjadi kelemahan sistemik dari sebuah kepemimpinan.

Dalam filosofi perencanaan, pembangunan adalah sebuah proses. Baik tidaknya hasil pembangunan sangat tergantung dari proses perencanaan. Agar hasilnya maksimal, maka proses perencanaan dibagi kedalam dimensi jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek.

Suksesnya amanah yang diemban Kepala Daerah sangat tergantung seberapa kuat visi dan programnya. Jika visi diterjemahkan kedalam perencanaan jangka panjang maka program diadaptasi kedalam perencanaan jangka menengah dan pendek. Keduanya memerlukan seni kepemimpinan publik yang berbeda dengan sektor swasta.

"Kesepakatan" pada pertemuan silaturahim di atas adalah bagian dari seni memimpin sektor publik. Sukses Kepala Daerah tidak semata-mata tergantung pada gerbong birokrasinya. Dukungan politik, utamanya lembaga legislatif menjadi salah satu faktor yang krusial.

Untuk hal ini, Gorontalo cukup bisa dibanggakan. Isu disharmoni antara eksekutif dan legislatif relatif lebih kurang, setidaknya jika dibandingkan daerah lain. 

Namun, yang sangat melekat pada ingatan kita adalah disharmoni eksekutif dan legislatif di DKI. Hingga era kemimpinan Anis Baswedan disharmoni ini tetap masih menjadi riak dalam kepesepakatan membangun Jakarta.

Gorontalo berbeda. Riak disharmoni lebih terihat pada perbedaaan pandangan invidual. Meski bisa memanas, namun relatif bisa kondusif kembali. Hal ini sah-sah saja karena berbeda itu bukan berarti yang lain salah dan kita menjadi benar sendiri.

Perbedaan umumnya karena pijakan dan cara pandang memiliki dimensi dan sudut yang tidak sama. Dan dalam politik, semua perbedaan akan mencair dan melebur saat pijakan dan cara pandang menemukan titik temu yang sama, saat kepentingan menyatu.

Menemukan titik temu yang sama ini digambarkan dengan baik oleh Aristoteles dalam hubungan etika-politiknya. 

Menurutnya dalam relasi kuasa politik ada etika kebaikan. Bahwa setiap aktivitas politik memiliki tujuan mengejar kebaikan. Aristoteles menekankan apapun aktivitas itu haruslah mengejar kebaikan.

Inilah makna penting pertemuan silaturahim di atas. Maknanya jelas untuk mengejar kebaikan melalui upaya mencari titik temu membangun Gorontalo. Strategi dan caranya mungkin beda namun ghirohnya pasti sama.

Semangat yang bersatu adalah modal penting dalam spirit pembangunan. Spirit akan sangat terasa dalam urat nadi pembangunan Gorontalo. Getarannya juga bisa sangat terasa jika spirit membangun tidak beresonansi kesemua pelaku pembangunan.

Daerah ini relatif kecil. Gorontalo adalah wilayah terkecil di Pulau Sulawesi. Jumlah pendudukpun paling sedikit. Kue ekonomi yang kecil tergambarkan dalam kontribusi PDRB untuk Sulawesi yang sangat kecil.

Mungkin karena kecilnya ini maka dinamika politik di Gorontalo sangat terasa. Dirjen Dukcapil Kemendagri, yang sempat setahun menjadi Pj. Gubernur Gorontalo, Prof. Zudan mengakui ini. Selama memimpin Gorontalo gesekan-gesekan ini sangat terasa baginya.

Harus diakui ketokohan politik para Kepala Daerah dan elit politik lokal yang bisa tetap mempertahankan kondusivitas kehidupan politik di daerah ini. 

Dengan pola paternalistik yang masih ada di daerah ini maka kelegowoan seorang pemimpin akan memberikan makna yang luarr biasa dalam pembangunan daerah.

Sikap "legowo" mau mengalah menjadi tantangan tersendiri di daerah ini. "Orang Gorontalo itu selalu ingin jadi orang no 1, tidak mau jadi nomor 2, 3 dan seterusnya," demikian kata Suharso Monoarfa, Menteri Bappenas, suatu ketika. Statement yang disampaikan dalam sebuah seminar sekian puluh tahun yang lalu sangat membekas, seakan menjadi sterotipe orang Gorontalo hingga saat ini.

Soal ini lagi-lagi Aristoteles memberikan nasehat yang baik. "He who cannot be a good follower cannot be a good leader," demikian kata-kata bijaknya.

Seorang pemimpin seharusnya pernah menjadi pengikut yang baik. Maknanya, setiap orang tidak mesti harus menjadi no 1 namun bisa memberikan kontribusinya baik sebagai orang no 2, 3 dan seterusnya.

Relevansinya, "Budaya Tutuhiya" sebuah kebiasaan buruk yang masih sering ditemukan dalam pola relasi sosial orang Gorontalo harus dibuang jauh-jauh. 

Merasa diri lebih "bisa atau paling mampu" bukan berarti mengganjal kesempatan orang untuk mendapatkan posisi diatas, menjadi pemimpin. Sebaliknya, ini bisa menjadi kesempatan untuk saling mendukung untuk meniti tangga karir masing-masing.

Inilah tantangan terbesar bagi "kesepakatan" diatas tadi. Keberhasilannya juga tidak lepas dari "saling mendukung dan mengalah." 

Mendukung mereka yang bisa memimpin, mulai dari siapa yang menjadi Menteri, menjadi Gubernur, menjadi Bupati/Waikota, menjadi Kepala Dinas, menjadi Kepala Desa, hingga siapa yang menjadi tokoh masyarakat. Sebaliknya juga bisa mengayomi mereka yang untuk sementara menjadi pengikut atau warga masyarakat biasa.

Hal ini juga memiliki peran besar dalam "kesepakatan" membangun Gorontalo. Jika tidak, maka "kesepakatan politik" yang dibangun hanya akan menjadi politik utopis, kondisi politik ideal yang diinginkan namun tidak akan pernah terwujud.


Wallahu'alam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun