Tanpa gegap gempita ICMI, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, memilih Ketua barunya. Dalam Silatnas 2021, Arif Satria terpilih menggantikan Jimly Asshiddiqie memimpin ICMI hingga 2026 nanti. Munas yang dihadiri berbagai utusan dari daerah itu berlangsung tertib, lancar dan relatif senyap.
Kesenyapan mewarnai perjalanan ICMI akhir-akhir ini. Dalam beberapa tahun terakhir, suara cendekiawan muslim relatif tidak terdengar. Tidak banyak pergulatan suara dan fikiran ICMI dalam diskursus kebangsaan. Ada geliat organisasi, tapi terbatas pada isu internal terkait kelembagaan. Kalaupun ada relatif terbatas dan tidak memiliki magnitude untuk mempengaruhi kondisi nasional.
Kelahiran ICMI menandai kebangkitan intelektualis Muslim. Suara dan fikiran mereka mulai terdengar. Ketua pertama, B. J. Habibie menjadi tangan sempurna menggerakan transisi demokratisasi, memberi ruang kebebasan berfikir. Habibie menjadi corong suara umat Islam dalam hegemoni Orde Baru.
Kehadiran Habibie sebagai orang dekat Suharto dianggap sebagai upaya Orde Baru merangkul kelompok-kelompok Islam. ICMI dipersepsikan sebagai lembaga think tank pada akhir kekuasaan Orde Baru. Keberadaan ICMI seolah menjadi jaminan bagi Orde Baru untuk memastikan tidak ada potensi radikalisme dari kelompok Islam.
Stigma "kaki dua"
Disisi lain, bergabungnya suara cendekiawan dibawah ketokohan Habibie menjadi corong lahirnya suara demokratis. ICMI dianggap bermain dua kaki saat ikut serta mempromosikan konsep masyarakat madani yang dianggap sebuah wacana pembangkangan secara halus terhadap korporatisme Orde Baru.
Stigma bermain dua kaki itu sepertinya melekat dalam perjalanan ICMI.
Masa setelah Habibie ICMI diwarnai kepemipinan tokoh-tokoh partai politik. Masa-masa itu, para operator mesin partai tersebut terlihat sibuk dengan mesin-mesinnya sendiri. Hal itu terjadi ditengah-tengah adanya kebutuhan pengkondisian sistem demokrasi pasca orde baru.
Kecenderungan para pengurusnya terlibat dalam politik di saat semua elemen bangsa berupaya bersinergi mendukung dan mengisi masa reformasi dianggap sebagai penyebab stagnasi dan senyapnya suara para cendekia dan ICMI saat itu. Sebagian bahkan menganggap sebagai penyebab kemunduran ICMI.
Warna "politik" sulit untuk dihilangkan bahkan pada kepepimpinan Jimly Assidiqi. Dalam sebuah statement, dia meminta ICMI untuk tidak ragu mendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo selama 10 tahun. Pernyataan itu menuai respons negatif dari kalangan internal ICMI dan disebut tidak mewakili organisasi ICMI.
Stigma ini tentu saja bukan wajah ICMI yang sebenarnya. Sejak jaman Habibie kiprah ICMI dalam pembangunan bangsa cukup menyolok. ICMI membidani lahirnya Bank Muamalat. Bank Islam pertama di Indonesia ini mengadopsi sistem perbankan syariah bagi akomodasi ummat Islam dalam bidang ekonomi berbasis syariah.Â
ICMI juga membidani hadirnya Koran Republika yang memiliki misi melakukan perubahan dan pencerahan nasib umat. Turut serta dalam dinamika kehadiran ICMI adalah hadrinya berbagai Badan Otonom seperti Orbit (Orang Tua Bimbingan Terpadu), BMT (Baitul Mal wat-Tamwil), Alisa Khadijah (Asosiasi Muslimah Pengusaha se-Indonesia).
Islam phobia
Kepemimpinan Arif Satria dalam membawa gerobong ICMI berperan diskursus pembangunan umat di Indonesia akan berlangsung ditengah-tengah merebaknya isu Islam phobia. Islam sedang bangkit dimana-mana.Â
Di Eropa, populasi muslim terus bertambah. Di Amerika pasca Serangan 11 September, yang bersimpati terhadap muslim _yang dianggap dikorbankan justeru bertambah. Hembusan Islam phhobia ini adalah sintesis benturan peradaban yang sejak lama telah diprediksi.
Dalam bukunya yang terkenal The Clash of Civilization and the Remaking of World Order (1996), Samuel Huntington menguraikan benturan peradaban yang bisa terjadi. Ia mengidentifikasi sembilan peradaban kontemporer yaitu peradaban Barat, Cina, Jepang, Amerika Latin, Afrika, Hindu, Budha, Islam, dan Kristen Ortodoks. Benturan yang paling keras  menurut Huntington adalah antara kebudayaan Kristen Barat  dengan kebudayaan Islam.
Tesis ini secara tidak langsung memperkuat asumsi sebagian besar ilmuwan Barat mempropagandakan Islam sebagai aggression and hostility (agresi dan ancaman). Mereka berusaha menciptakan stereotipe simplistis yang menunjukkan wajah the rage of Islam. Upaya mendiskreditkan Islam ini dilakukan dengan proxy, mulai dari intervensi negara hingga konflik horisontal.
Seperti ditulis Republika, dalam tajuk Tameng dan Senjata Itu Bernama Islamophobia, pada 12 Januari 2022, gambaran Islamphobia setidaknya ditemukan dalam suatu pernyataan mantan Sekjen NATO, Willy Claes, kepada media Inggris, The Independent. "Ancaman yang dibawa oleh Islam adalah tantangan terberat yang dihadapi Barat pasca runtuhnya Uni Soviet dan faksi sosialis serta melemahnya pengaruh komunisme."
Indonesia sebagai negara muslim terbesar dianggap sebagai sasaran empuk untuk menjalankan propagandan Islam phobia. Kekisruhan bernegara dalam waktu belakangan ini dianggap tidak luput dari propaganda Islam phobia.Â
Mantan Ketua PBNU almarhum KH.Hasyim Muzadi dalam tulisannya di Republika menyatakan kerukunan umat Indonesia tercabik-cabik lagi disebabkan hinaan serta pelecehan membabi buta terhadap Nabi Muhammad SAW.
Menariknya, alih-alih bersatu menyuarakan aspirasi, umat Islam justeru terpecah, saling berdebat bahkan terjadi friksi diantara golongan-golongan tertentu. Kebisingan antar anak bangsa ini makin riuh setelah Pemilihan Presiden 2014 dan terus berlanjut pasca Jokowi terpilih sebagai Presiden untuk kedua kalinya.
Friksi ini mengkristal besar kedalam dua kubu yakni kubu pendukung pada masa penapresan 2019 yang kemudia bermetamorfosis menjadi kelompok Cebong dan Kampret. Kedua kubu masing-masing mantan capres ini seperti belum kehabisan bahan untuk berdebat, saling menyindir bahkan menghina. Dibelakangnya ada kelompok buzzer yang kian menambah kebisingan hidup berdemokrasi di negara ini.
Friksi yang terjadi antara dua kubu ini seringkan dianalogikan perseberangan antara yang membela negara (baca Jokowi) disatu sisi dengan yang mempertahankan marwah Islam disisi yang lain.Â
Islam khususnya kelompok-kelompok Islam tertentu dianggap hanya menimbulkan keonaran dan berpotensi radikal. Akibatnya Pemerintah bertindak tegas. Atas nama negara, kelompok-kelompok dengan atribut Islam tertentu dibubarkan. Tokoh-tokoh Islam dan ulama garis keras "disingkirkan"
Tumbuhnya Gerakan Islam garis keras ini berbarengan dengan tumbuhnya dukungan positif terhadap isu kesetaraan, feminisme, kesetaraan gender hingga LGBT. Francis Fukuyama dalam bukunya Identity: The Demand of Identity and the Politics of Resentment (2018) menerangkan kehadiran isu-isu ini adalah fenomena politik identitas politik di Abad 21.
Sebelumnya pada Abad 20, politik identitas terkait dengan pembelahan kelompok Kanan dan Kiri dalam isu ekonomi. Kelompok kanan memihak kebebasan rasionalitas individu dan keterbatasan intervensi negara dalam urusan warga negaranya, terutama soal ekonomi (paham ekonomi liberal), sedangkan kelompok Kiri mengutuk keras praktek ekonomi liberal yang semakin menyengsarakan kehidupan manusia dan memanggil negara untuk ikut menyelesaikan persoalan ekonomi.
Fukuyama menilai pada Abad 21, politik identitas ini telah bergeser kepada isu-isu identitas seperti LGBT, imigran, kulit hitam dan kelompok lain yang identitasnya termarginalkan bagi kelompok kiri; dan menguatnya rasa patriotisme nasionalisme atas negara bangsanya bagi kelompok kanan.Â
Menariknya kedua kelompok ini bertindak berlandaskan identitas mereka dan menuntut pengakuan dan penghormatan satu sama lainnya. Menurut Fukuyama, kemunculan identitas-identitas yang saling bertentangan satu sama lain dan negara tak bisa mengatasinya menyebabkan terjadinya konflik di masyarakat. Â
Di tengah keriuhan inilah, Silatnas 2021 untuk memilih Ketua Umumnya berlangsung. Pengurus baru tidak bisa lagi senyap agar bisa berperan dalam diskurus pembangunan yang sedang berjalan.Â
ICMI baru harus bisa mengimbangi suara portes hingga gagasan pemikiran baru yang berasal dari organisasi keagamaan, partai politik maupun LSM. Ini menjadi tugas berat sang Ketua baru untuk ikut mengurai benang kusut kehidupan berbangsa yang kian jauh dari filosofi NKRI.
Ubuntu
Suatu ketika seorang anthropologist menunjukan sebuah permainan kepada anak-anak Afrika. Dia menempatkan sebuah keranjang berisi buah-buahan di sebuah ranting pohon dan meminta anak-anak itu bersaing mencapai pohon itu. Anak tercepat akan mendapatkan hadiah sekeranjang buah tadi. Ternyata tidak ada satu anakpun yang beranjak, sebaliknya mereka bergandeng tangan berjalan kearah pohon, menyentuh pohonnya dan membagi rata buah-buahan dalam keranjang.
"Ubuntu" demikian jawaban anak-anak itu saat ditanyakan kenapa mereka tidak berebutan mencapai pohon untuk mendapatkan keranjang buah. Â Ubuntu adalah local wisdom di masyarakat Afrika yang artinya "saya ada karena kita". Mereka percaya Ubuntu adalah rahasia kebahagian dan menjadikan mereka masyarakat yang "beradab".
Masyarakat beradab adalah streotyping masyarakat Indonesia sejak jaman Sriwijaya. Kehidupan masyarakat sangat diwarnai oleh kehidupan harmonis dan saling menolong. Gotong royong adalah salah icon paling jelas bangsa ini. Masyarakat bisa hidup berdampingan menyelesaikan permasalahannya bersama-sama saling berbagi.
Inilah tujuan bersama seluruh komponen bangsa ini, mengembalikan kehidupan yang rukun dan damai. Bangsa ini merdeka karena adanya kebersamaan dan persatuan antar elemen kebangsaan. Nilai-nilai dasar ini tertanam dalam jiwa bangsa dan dimanifestasikan dalam butir-butir Pancasila, sila ketiga dan Preambule UUD'45.
Dengan pemikiran-pemikiran konstruktif, ICMI harus mengambil peran dan menjadi katalisator dalam kemajukan perdebatan. ICMI harus bisa berdiri di atas semua golongan Islam bahkan di luar Islam, dan dengan fikiran para cendikiawannya terus mendorong semangat persatuan. Perjuangan ICMI tidak semata-mata untuk kepentingan umat Islam namun untuk bangsa dan negara.
Hal ini pernah ditegaskan oleh Habibie. Â Dalam sebuah sambutannya, Habibie mengatakan ICMI tidak hanya memperhatikan umat Islam, tetapi mempunyai komitmen memperbaiki nasib seluruh bangsa Indonesia.
ICMI juga perlu mengembalikan lagi narasi kebangsaan, membangun dengan kemajuan Iptek berlandaskan Imtak yang dulu sangat kental dengan perjalanannya. Kehidupan demokrasi bangsa semakin berkualitas jika disandarkan pada paduan Iptek dan Imtak.
ICMI juga perlu menuangkan gagasan bagi pembanguan kebaangsaan dalam jangka waktu panjang dan menegah. Gagasan ini perlu diadaptasikan kedalan penyusunan rencana jangka pancang pasca selesainya RPJP 2000-2025. Sebagai wadah para cendekiawan muslim, ICMI harus bisa memberikan masukan konstruktif dan terlibat aktif dalam isu tematik ekonomi, sosial budaya dalam rangka mendorong Indonesia bermartabat menuju Indonesia Emas di tahun 2045.
Jika NU mengeluarkan ajaran "Islam Nusantara" dan kemudian diadopsi negara menjadi wajah Islamnya Indonesia, maka ICMI perlu melepaskan energi untuk mempersatukan berbagai kepentingan semua golongan dengan landasan nalar kebangsaan. Wajah dan integritas ICMI sebagai wadah cendekiawan muslim tetap dipertahankan dalam program-program berbasis nilai-nilai agama, aspirasi ummat, dan kemanusiaan.
Kalaupun tidak memihak, ICMI setidaknya dapat mendorong perbaikan agar komponen bangsa yang sedang tidak akur kembali bisa saling memahami dan bergandengan tangan demi tegaknya NKRI. Ubuntu!
Â
Selamat bekerja pak Ketua Arif Satria!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H