Mohon tunggu...
Aryanto Husain
Aryanto Husain Mohon Tunggu... Freelancer - photo of mine

Saya seorang penulis lepas yang senang menulis apa saja. Tulisan saya dari sudut pandang sistim dan ekonomi perilaku. Ini memungkinkan saya melihat hal secara komprehensif dan irasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pikiran Kita Lebih Mematikan Dibanding Covid-19

11 April 2020   12:48 Diperbarui: 11 April 2020   13:06 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Release WHO tentang pandemic global corona seperti bola salju. Viralnya berita tentang corona secepat penyebaran virus itu sendiri. Makin menyebar kemana-mana dan parahnya makin simpang siur. Teman saya mengeluh, setiap buka Grup WA, maka yang hadir pertama adalah berita corona, selebihnya percakapan yang didominasi isu tentang corona. Ada yang sifatnya sekedar mengingatkan, selebihnya lebih banyak sekedar meneruskan berita yang viral. 

Dan sekarang jenis berita berantai makin menggambarkan kepanikan. Tengok memory gadget kita. Isinya mulai dari video para korban yang berjatuhan seperi pohon tumbang di Wuhan hingga foto-2 pasien corona dan abulans yang membawanya ke rumah sakit. 

Hari-hari ini yang kian viral adalah isu terjangkitnya tokoh-tokoh nasional dan internasional. Mulai dari Menteri Perhubungan kita hingga sekelas Perdana Menteri Kanada hingga PM Australia. Semua menjadi viral, sehingga isu lain yang lebih mematikan dan menyengsarakan seperti lenyap dari layar gadget kita. Dan kita pun makin panic!

Kepanikan dunia terlihat jelas. Indeks di bursa saham terus menurun. Respons berbagai negara bervariasi. Pertumbuhan ekonomi dikoreksi. Italia sampai melakukan lockdown, mengkarantina 16 juta penduduknya dari kehidupan luar. Beberapa negara juga telah dan sedang mempertimbangkan hal yang sama. Ibadah ritual oang Islam terganggu sejak dihentikannya perjalanan umorh ke Saudi Arabia. 

Yang lebih parah kepanikan di tingkat masyarakat. Toko-toko diserbu memburu masker pelindung. Ada yang dipakai sendiri. Sebagian dijual tiga kali lipat harga beli. Pihak keamananan terpaksa turun tangan. Karena ada yang mulai memborong kebutuhan makanan hingga menimbun makanan. Semakin panic. Pandemi global menjadi kepanikan global.

Akankah ini berhenti? Penyebarannya mungkin iya jika vaksin virusnya segera ketemu. Tapi dampak kepanikan mungkin lambat obatnya. Bahkan mungkin lebih parah dari apa yang kita khawatirkan.

Mari kita lihat seberapa parah dampak penyebaran virusnya. Saya menggunakan informasi resmi. Release UNICEF "Coronavirus disease (COVID-19): What parents should know." Dikatakan bahwa COVID-19 ini adalah strain baru dari coronavirus. Mirip dengan family virus yang lain seperti Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan tipe deman lainnya. Corona virus mungkin berbeda karena belum ada vaksinnya! 

Mematikan? Tentu iya kalau terinspeksi dan tidak segera di treatment. Namun akan sembuh jika gejalanya segera dikenali dan dilakukan perawatan. Air saja kalau kebanyakan diminum melampaui kebutuhan bisa fatal. Mengambil berita Kompas pagi ini, ternyata persentase pasien meninggal karena Virus Corona di berbagai negara hanya 3,6 persen. Artinya jika ada 100 kasus maka yang punya peluang sembuh 74 orang!

Mari bandingkan dengan penyebab kematian lainnya. Untuk Indoensia saja, dilansir Riskesdas 2018, kenaikan prevalensi Penyakit Tidak Menular (PTM) menjadi penyebab kematian tertinggi di Indonesia. PTM tersebut terdiri dari kanker, stroke, penyakit ginjal kronis, diabetes melitus, dan hipertensi. 12,9% kematian orang Indonesia, penyebabnya adalah penyakit jantung coroner. 

Bagaimana kondisi global? Dunia ternyata bayang-bayangi kematian akibat penyakit kardiovaskular yang mencapai 36%, dikuti kanker, 26,3% dan diabetes, 5,8%. Jelas bukan, apa yang harus ditakutkan. Bukan Corona tapi justeru jenis-jenis penyakit tidak menular.

Corona sendiri bukan virus yang tidak bisa dihentikan. Penyebarannya dalam 3 fase kurva epidemic. Mulai dari Fase ke-1 pembendungan (containment), Fase ke-2 penularan (community transmission) hingga Fase ke-3 saat wabah (outbreak). Fase menghawatirkan saat penularan, di mana orang tidak menyadari kalau mereka sudah tertular COVID-19. Tapi akan mereda saat masuk fase ketiga saat tidak ada lagi orang yang rentan untuk terinfeksi lagi, baik karena vaksinasi maupun herd immunity. Artinya apa? Artinya pencegahan akan mengurangi resiko penularan dan bahkan bisa menghentikan penyebarannya.

Mari kita lihat dampak kepanikan! Virus corona sudah menyebar ke 90 negara. Temasuk cepat. Mulai dari China sebagai pencetus, virus ini membuat heboh Eropa dan terus menyebar kebelahan dunia lainnya. Di Indonesia, kepanikan bahkan justeru lebih cepat dari datangnya virus. Respon Pemerintah bahkan dianggap lambat. 

Ekonom Senior Indef, Faisal Basri menilai dampak virus corona terhadap perekonomian bisa lebih buruk daripada krisis ekonomi global pada tahun 2008. Pertumbuhan ekonomi hampir semua negara melambat. Secara global bisa turun dari 3,3 persen menjadi 3,2 persen.  Indonesia diprediksi anjlok hingga 4,8 persen dari rencana 5 persen.  Yang terburuk adalah India yang tinggal 5,1 persen dari rencana petumbuhan 6,2 persen.

Kepanikan sangat jelas terlihat di lantai bursa. Kurs Rupiah tenggelam, Nilai Indeks Harga Saham Gabungan anjlok. Terperosok akibat aksi jual yang diwarnai kepanikan (panic selling). Pengumuman pemerintah wabah virus corona memukul mundur tren penguatan IHSG yang sempat menyentuh level tertinggi 5.491,13 setelah dibuka menguat pada 5.455,04 pada Senin (2/3/2020). Trennya makin bikin 'sedih.' IHSG terjun bebas, kurs mata uang Garuda amblas. Dan ini juga dialami bursa saham di 44 negara di luar China, yakni Singapura, Malaysia, Korea Selatan, Italia, Amerika Serikat, Nigeria, Iran, hingga Aljazair.

Jika trend ini terus terjadi dan berakhir pada krisis global, maka dampak terhadap ekonomi jauh lebih besar di fase outbreak ini. Perekonomian adalah sebuah sistim penyangga kehidupan. Krisis global tidak hanya menyebabkan kerugian ekonomi, tapi akan memicu tingkat kematian. 

Trennya bisa meningkat saat negara tidak dapat lagi menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai baik untuk penanggulangan penyebraran virus maupun untuk penanganan penyakit-peyakit tidak menular. Artinya, suatu saat jika kematian meningkat maka penyebabnya bukan karena penyebran virus corona tapi oleh kepanikan!

Pertanyaan kenapa kita harus panic? Jawabannya karena kita selalu cepat menelan mentah-mentah informasi yang masuk tanpa mengolahnya dengan baik terlebih dahulu. Isu corona virus ini paradoksial dan bahkan keanehan. Paradoks terjadi saat kita tidak berusaha melakukan pencegahan tapi justeru larut dalam kepanikan. Silahkan lihat persentase pesan berantai WA. Dominasinya adalah informasi kekhawatiran bukan response positif pencegahan. 

Pakar ekonomi perilaku, Daniel Kahneman, mengatakan fakta ini disebabkan oleh keterbatasan manusia dalam mengelola informasi dan menyelesaikan persoalan yang digunakan dalam memutuskan sesuatu tindakan (bounded rationality). Hal ini terjadi karena orang membatasi jumlah penalaran yang mereka gunakan ketika harus membuat keputusan karena ingin menghemat upaya kognitif yang diperlukan. 

Kita terjebak pada informasi virus mematikan sejak orang-orang bertumbangan di Wuhan. Karena tidak ingin menghabiskan waktu yang dibutuhkan menggali informasi yang diperlukan, maka keputusan fikiran kita adalah penyakit ini menakutkan. Bias heuristic ini mendorong kita membuat keputusan, yaitu kekhawatiran dan kepanikan. Semakin mudah informasi ditangkap dan diingat, maka semakin besar pengaruhnya bagi seseorang untuk mengambil keputusan. Semakin viral berita kejangkitan, semakin panic kita. Dan ini terus berantai menjangkiti fikiran-fikiran yang lain.

Distribusi pikiran tertutup seperti ini lebih parah dari penyebaran virus itu sendiri. Karena fikiran sebelumnya telah diisi dengan kematian akibat virus sebelum corona muncul seperti SARS, dll. Hammond, dkk. dalam the Hidden Traps in Decision Making mengatakan gejala ini sebagai anchoring trap (jebakan jangkar). Jebakan ini memberi bobot yang tidak proporsional terhadap informasi yang pertama kali diterima. 

Akibatnya sistem respon otomatis alami (intuitif dan irasional) segera mengekang informasi lain yang masuk. Informasi seperti rendahnya kematian akibat corona, atau hanya dengan pencegahan standar selalu mencuci tangan kita akan terhindar dari kejangkitan tidak cukup menenangkan . Kondisi ini adalah bias psikologis yang menyebabkan kita membuat pilihan yang justru bertentangan dengan kepentingan utama.  Seolah rasional. Faktanya justeru tidak rasional. 

Dalam bukunya Thinking Fast and Slow, pakar ekonomi perilaku Daniel Kahneman mengatakan umumnya kita sering menganggap diri rasional dan mengambil keputusan-keputusan berdasarkan rasionalitas. Faktanya, kita justeru sering bertindak irasional dalam mengambil keputusan yang akan diambil. Alih-alih mengambil sikap dan respons pencegahan yang terjadi adalah keasyikan meneruskan sisi menakutkan dari penyebaran virus. 

Mari rasionalitas kita gunakan memahami kondisi China saat ini. Setelah 23 Februari, China kembali membuka diri. Kehidupan berangsur angsur normal, tingkat penyembuhan sudah diatas 50% bahkan mendekati 0%. Tingkat korban mendekati nol persen. Beberapa RS darurat korban Corona sudah ditutup karena tidak ada lagi pasien yang datang. Produksi barang di negara Tirai Bambu ini kembali menggeliat. 

Pihak berwenang di Provinsi Hubei, China Tengah mengumumkan akan memulai kembali aktivitas pekerjaan dan produksi secara tertib. Operasional sejumlah perusahaan di Provinsi Hubei dilakukan setelah menilai situasi saat yang kian kondusif. China makin tenang, kita diluar China makin panic.

So, tubuh kita bisa saja diserang Covid-19, tapi jangan biarkan sistim berfikir kita ikut terserang. Tetap gunakan rasionalitas di tengah kekhawatiran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun