Mari kita lihat dampak kepanikan! Virus corona sudah menyebar ke 90 negara. Temasuk cepat. Mulai dari China sebagai pencetus, virus ini membuat heboh Eropa dan terus menyebar kebelahan dunia lainnya. Di Indonesia, kepanikan bahkan justeru lebih cepat dari datangnya virus. Respon Pemerintah bahkan dianggap lambat.Â
Ekonom Senior Indef, Faisal Basri menilai dampak virus corona terhadap perekonomian bisa lebih buruk daripada krisis ekonomi global pada tahun 2008. Pertumbuhan ekonomi hampir semua negara melambat. Secara global bisa turun dari 3,3 persen menjadi 3,2 persen. Â Indonesia diprediksi anjlok hingga 4,8 persen dari rencana 5 persen. Â Yang terburuk adalah India yang tinggal 5,1 persen dari rencana petumbuhan 6,2 persen.
Kepanikan sangat jelas terlihat di lantai bursa. Kurs Rupiah tenggelam, Nilai Indeks Harga Saham Gabungan anjlok. Terperosok akibat aksi jual yang diwarnai kepanikan (panic selling). Pengumuman pemerintah wabah virus corona memukul mundur tren penguatan IHSG yang sempat menyentuh level tertinggi 5.491,13 setelah dibuka menguat pada 5.455,04 pada Senin (2/3/2020). Trennya makin bikin 'sedih.' IHSG terjun bebas, kurs mata uang Garuda amblas. Dan ini juga dialami bursa saham di 44 negara di luar China, yakni Singapura, Malaysia, Korea Selatan, Italia, Amerika Serikat, Nigeria, Iran, hingga Aljazair.
Jika trend ini terus terjadi dan berakhir pada krisis global, maka dampak terhadap ekonomi jauh lebih besar di fase outbreak ini. Perekonomian adalah sebuah sistim penyangga kehidupan. Krisis global tidak hanya menyebabkan kerugian ekonomi, tapi akan memicu tingkat kematian.Â
Trennya bisa meningkat saat negara tidak dapat lagi menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai baik untuk penanggulangan penyebraran virus maupun untuk penanganan penyakit-peyakit tidak menular. Artinya, suatu saat jika kematian meningkat maka penyebabnya bukan karena penyebran virus corona tapi oleh kepanikan!
Pertanyaan kenapa kita harus panic? Jawabannya karena kita selalu cepat menelan mentah-mentah informasi yang masuk tanpa mengolahnya dengan baik terlebih dahulu. Isu corona virus ini paradoksial dan bahkan keanehan. Paradoks terjadi saat kita tidak berusaha melakukan pencegahan tapi justeru larut dalam kepanikan. Silahkan lihat persentase pesan berantai WA. Dominasinya adalah informasi kekhawatiran bukan response positif pencegahan.Â
Pakar ekonomi perilaku, Daniel Kahneman, mengatakan fakta ini disebabkan oleh keterbatasan manusia dalam mengelola informasi dan menyelesaikan persoalan yang digunakan dalam memutuskan sesuatu tindakan (bounded rationality). Hal ini terjadi karena orang membatasi jumlah penalaran yang mereka gunakan ketika harus membuat keputusan karena ingin menghemat upaya kognitif yang diperlukan.Â
Kita terjebak pada informasi virus mematikan sejak orang-orang bertumbangan di Wuhan. Karena tidak ingin menghabiskan waktu yang dibutuhkan menggali informasi yang diperlukan, maka keputusan fikiran kita adalah penyakit ini menakutkan. Bias heuristic ini mendorong kita membuat keputusan, yaitu kekhawatiran dan kepanikan. Semakin mudah informasi ditangkap dan diingat, maka semakin besar pengaruhnya bagi seseorang untuk mengambil keputusan. Semakin viral berita kejangkitan, semakin panic kita. Dan ini terus berantai menjangkiti fikiran-fikiran yang lain.
Distribusi pikiran tertutup seperti ini lebih parah dari penyebaran virus itu sendiri. Karena fikiran sebelumnya telah diisi dengan kematian akibat virus sebelum corona muncul seperti SARS, dll. Hammond, dkk. dalam the Hidden Traps in Decision Making mengatakan gejala ini sebagai anchoring trap (jebakan jangkar). Jebakan ini memberi bobot yang tidak proporsional terhadap informasi yang pertama kali diterima.Â
Akibatnya sistem respon otomatis alami (intuitif dan irasional) segera mengekang informasi lain yang masuk. Informasi seperti rendahnya kematian akibat corona, atau hanya dengan pencegahan standar selalu mencuci tangan kita akan terhindar dari kejangkitan tidak cukup menenangkan . Kondisi ini adalah bias psikologis yang menyebabkan kita membuat pilihan yang justru bertentangan dengan kepentingan utama. Â Seolah rasional. Faktanya justeru tidak rasional.Â
Dalam bukunya Thinking Fast and Slow, pakar ekonomi perilaku Daniel Kahneman mengatakan umumnya kita sering menganggap diri rasional dan mengambil keputusan-keputusan berdasarkan rasionalitas. Faktanya, kita justeru sering bertindak irasional dalam mengambil keputusan yang akan diambil. Alih-alih mengambil sikap dan respons pencegahan yang terjadi adalah keasyikan meneruskan sisi menakutkan dari penyebaran virus.Â