Mohon tunggu...
Aryanto Wijaya
Aryanto Wijaya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Bekerja sebagai Editor | Jatuh cinta pada Yogyakarta Ikuti perjalanan saya selengkapnya di Jalancerita.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dari Perbukitan Menoreh, Kami Belajar Arti Hidup

23 Januari 2016   08:13 Diperbarui: 23 Januari 2016   10:15 1660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sesi Character Building yang digelar setelah belajar."]

[/caption]

Penekanan kami adalah bukan untuk membuat mereka jago menghitung ataupun mampu menjawab setiap soal latihan dengan baik, melainkan bagaimana mereka bisa pede dan aktif. “Ayo, apa cita-cita kalian nanti kalau sudah besar?”, semua siswa hanya senyum sendiri dan bisik-bisik dengan temannya. “Aku mau jadi petani kak!” jawab Helmi, seorang siswa bimbel kami dengan lantang. Seketika teman-temannya tertawa karena jawaban Helmi.

Ketika anak-anak lain mendambakan cita-cita dokter, polisi, pilot, guru, perawat atau orang kaya sekalipun, satu siswa Bimbel bernama Helmi dengan yakin mengakui dirinya akan menjadi seorang petani. Suatu jawaban dan cita-cita yang patut diapresiasi dengan tinggi. Ia ingin jadi petani karena orang tuanya memberikan teladan akan mulianya pekerjaan seorang petani. Jika tidak ada petani, kita bisa apa, siapakah yang akan menyediakan nasi di piring makanan kita setiap hari?

[caption caption="Delapan belas siswa Bimbel Jumblangan XIV "]

[/caption]

Sakit kudis bersama

Rumah simbah bersebelahan dengan kandang ternak. Kulit kami pun harus mampu beradaptasi dengan lingkungan. Mungkin karena belum mampu terbiasa, kami berdelapan divonis oleh Puskesmas di balai desa mengidap penyakit kudis. Bukannya sedih, tapi kami malah tertawa puas dan bangga karena tidak hanya satu anggota yang terkena, melainkan berdelapan orang sekaligus.

Kami tidak berani bilang Simbah kalau kami terkena sakit kudis. Setiap malam, simbah selalu heran melihat kami berdelapan selalu salepan bareng. “Ah, mboten nopo-nopo Simbah, niki cuman gatel biasa karena alergi dingin kok,” jawab kami berdelapan menenangkan hati simbah.

Suatu pengalaman yang tidak mungkin didapatkan ketika berada di kota. Ada kalanya hal buruk ketika disikapi dengan baik akan menjadi baik pula bagi kita. Ketika beberapa kelompok lain merasa risih karena alergi, dan lainnya, kami malah berbahagia.

Satu bulan di perbukitan Menoreh, kami belajar tentang hidup. Hidup tak harus selalu diukur dengan uang. Hidup akan lebih asik jika dinikmati bersama. Hidup harus tulus. Hidup harus punya mimpi dan tujuan. Terakhir, hidup harus berguna bagi orang lain

 

Samigaluh, Matur Nuwun Nggih :) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun