Mohon tunggu...
Aryanto Wijaya
Aryanto Wijaya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Bekerja sebagai Editor | Jatuh cinta pada Yogyakarta Ikuti perjalanan saya selengkapnya di Jalancerita.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dari Perbukitan Menoreh, Kami Belajar Arti Hidup

23 Januari 2016   08:13 Diperbarui: 23 Januari 2016   10:15 1660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="Kelompok kami tercinta. Dari kiri ke kanan: Mas Sukotjo - Mas Kelik - Mas Jono - Mas Paimin - Mbak Waginah - Mbak Denok - SImbah Ngatilah - Zubaedah - Mbak Ayu"][/caption]Jam telah menyentuh pukul satu dini hari. Delapan anak tergopoh-gopoh memasuki rumah seraya kedinginan, kelaparan dan kelelahan. Simbah yang telah tertidur pun turut terbangun. Tak tega melihat kedelapan anaknya kedinginan, ia pun melupakan kantuknya, bergegas ke dapur, membuat perapian dan memasak mie rebus untuk kami berdelapan.

Kami yang sibuk mengantre-wc seolah dipanggil ke ruang makan karena aroma mie rebus itu. Ketika mie selesai dimasak, dengan senyum Simbah membawa satu panci besar mie rebus ke meja makan. Dalam bahasa Jawa yang halus beliau meminta kami untuk segera memakan mie itu sebelum dingin. Seraya berkata, Simbah mengeluarkan air mata. Ia menangis, dan kami pun kehabisan kata. Kami hanya mampu terduduk, juga turut meneteskan air mata mendengar apa yang simbah katakan.

“Dimakan, ayo cepat, nanti keburu dingin. Kalian berdelapan ini sudah saya anggap sebagai anak saya sendiri,” ucapnya dengan lirih. Kalimat yang Simbah ucapkan seolah menghantam kami. Menyadarkan kami bahwa Simbah bukan sekedar orang yang tulus, melainkan luar biasa tulus. Ia tak pernah hitungan dalam segala hal. Ia tidak peduli konsumsi listrik yang meningkat, makanan yang selalu habis dan rumah yang selalu berisik.

Kejadian tengah malam di ruang makan mengingatkan kami kembali akan perjalanan satu bulan yang dilalui. Kami berdelapan adalah mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang ditempatkan di pedukuhan Jumblangan XIV, kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo. Secara geografis, letak pedukuhan kami ke pusat kota Yogyakarta hanya berkisasr 50 Km. Namun, kondisi fisik sangat berbeda.

Segala fasilitas ala kota harus ditinggalkan. Sekalipun di desa, tak ada air yang berlimpah, jalanan berlumpur dan licin, serta listrik yang selalu mati tiap hari. Sehari dua hari kami beradaptasi. Kami sangat berbahagia menjalani KKN meskipun kami berdelapan harus mengalami sakit kudis akibat buruknya sanitasi.

[caption caption="Simbah dan delapan cucu barunya"]

[/caption]

Satu hal yang membuat KKN kami terasa begitu istimewa adalah Simbah. Beliau memiliki nama Ngatilah dan tinggal bersama seorang suami dan seorang cucu lelakinya. Rumahnya berlokasi di atas bukit dan tidak memiliki tetangga. Bagi Simbah, kesepian adalah hal yang biasa. Suaminya pulang larut malam dari kantor desa setiap hari, cucunya jarang berada di rumah, lebih sering main bersama temannya. Oleh karena itu, ketika ada delapan mahasiswa KKN yang “nyangkut” di rumahnya, Simbah tidak merasa terganggu, malah bahagia.

Di usianya yang sudah lansia, layaknya warga desa lain beliau tak mengenal lelah untuk naik turun bukit. Pagi-pagi buta sudah bangun untuk memasak, siang sudah mengarit untuk pakan ternak, sore kembali lagi memasak dan malam hari selalu ia habiskan untuk mengobrol dengan kami dengan bahasa Jawa Kromo.  “Lek do maem riyen mas, mbak,” kalimat yang paling sering simbah ucapkan, mengajak kami untuk jangan pernah kenyang untuk menyantap masakannya.

[caption caption="Sekalipun musim hujan, bukan jaminan ada air yang melimpah di WC. Keperluan MCK harus dilakukan di sendang yang terletak di bawah bukit"]

[/caption]

Jumblangan XIV, rumah kami bersama

Hanya sedikit dari warga Jumblangan XIV yang fasih berbahasa Indonesia. Kebanyakan warga berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa, namun bukan bahasa yang dengan mudah kita temui di sinetron ataupun percakapan biasa, melainkan bahasa Jawa Krama, atau bahasa halus.

Sejatinya, ini adalah kendala bagi kami, mengingat tak semua anggota kelompok berasal dari Jogja dan mampu berbahasa Jawa. Pernah satu ketika kami mencoba berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dengan warga, mereka hanya bisa senyum-senyum kebingungan hendak menjawab apa. Demikian juga apabila mereka menggunakan bahasa Krama, kami yang hanya bisa senyum-senyum sambil menjawab “Nggih pak bu, hehehehe”

[caption caption="Silaturahmi sekaligus pendataan warga menggunakan bahasa Krama yang seadanya"]

[/caption]

Pedukuhan Jumblangan dihuni oleh 97 Kepala Keluarga yang rumahnya tersebar di bukit-bukit. Tak ada penerangan jalan, tak ada jalan aspal keras, hanya jalanan setapak berlumpur yang hanya bisa dilalui kaki. Layaknya potret Indonesia yang ramah, warga Jumblangan selalu membuka pintu bagi siapapun.

Ketika kami melakukan perkenalan sekaligus pendataan untuk pembuatan peta monografi, kami mengunjungi hampir 120 rumah. Hampir di setiap rumah selalu diajak masuk dan disuguhi makanan. Buat kami yang adalah anak kost, ini adalah anugerah tak terkira. Tapi, ketika harus minum puluhan gelas teh manis cukup membuat kami mabuk.

Satu hal lagi yang unik dari tradisi warga adalah mengenai "Perayaan". "Mas mbak, ayo perayaan di bawah," ucap seorang warga. Kami kira yang dimaksud dengan perayaan adalah kondangan. Beberapa rekan malah bersiap untuk mandi dan berganti baju. Namun kami salah total, bagi warga Jumblangan XIV, perayaan adalah kerja bakti bersama, bukan kondangan. Salah satu perayaan yang kami lakukan adalah kerja bakti membersihkan longsoran tanah. 

Warga Jumblangan hanya butuh dua jam untuk membersihkan satu sisi longsoran. Kami berdelapan butuh waktu tiga jam itupun belum ditambah istirahat per sepuluh menit karena sakit pinggang. Tapi, pada akhirnya semua longsoran berhasil disingkirkan :)

[caption caption="Gotong royong bersama warga untuk membersihkan longsor"]

[/caption]

“Aku mau jadi Petani, mas, mbak!”

Salah satu kegiatan yang kami sediakan selama KKN adalah Bimbingan Belajar bagi siswa SD di Jumblangan XIV. Awalnya, bimbel hanya kami adakan dua kali satu minggu. Namun, siswa bimbel meminta setiap hari. Baiklah, kami sanggupi permintaan mereka namun dengan catatan bahwa di setiap akhir bimbel mereka harus belajar bahasa Inggris.

Bimbel yang kami adakan setiap hari selama dua jam. Satu jam dihabiskan untuk membahas materi pelajaran. Satu jam lagi dihabiskan dengan games, character building dan Bahasa Inggris. Delapan belas siswa bimbel yang hadir, semuanya polos. Tak ada yang berani untuk angkat tangan, semua takut.

[caption caption="Sesi Character Building yang digelar setelah belajar."]

[/caption]

Penekanan kami adalah bukan untuk membuat mereka jago menghitung ataupun mampu menjawab setiap soal latihan dengan baik, melainkan bagaimana mereka bisa pede dan aktif. “Ayo, apa cita-cita kalian nanti kalau sudah besar?”, semua siswa hanya senyum sendiri dan bisik-bisik dengan temannya. “Aku mau jadi petani kak!” jawab Helmi, seorang siswa bimbel kami dengan lantang. Seketika teman-temannya tertawa karena jawaban Helmi.

Ketika anak-anak lain mendambakan cita-cita dokter, polisi, pilot, guru, perawat atau orang kaya sekalipun, satu siswa Bimbel bernama Helmi dengan yakin mengakui dirinya akan menjadi seorang petani. Suatu jawaban dan cita-cita yang patut diapresiasi dengan tinggi. Ia ingin jadi petani karena orang tuanya memberikan teladan akan mulianya pekerjaan seorang petani. Jika tidak ada petani, kita bisa apa, siapakah yang akan menyediakan nasi di piring makanan kita setiap hari?

[caption caption="Delapan belas siswa Bimbel Jumblangan XIV "]

[/caption]

Sakit kudis bersama

Rumah simbah bersebelahan dengan kandang ternak. Kulit kami pun harus mampu beradaptasi dengan lingkungan. Mungkin karena belum mampu terbiasa, kami berdelapan divonis oleh Puskesmas di balai desa mengidap penyakit kudis. Bukannya sedih, tapi kami malah tertawa puas dan bangga karena tidak hanya satu anggota yang terkena, melainkan berdelapan orang sekaligus.

Kami tidak berani bilang Simbah kalau kami terkena sakit kudis. Setiap malam, simbah selalu heran melihat kami berdelapan selalu salepan bareng. “Ah, mboten nopo-nopo Simbah, niki cuman gatel biasa karena alergi dingin kok,” jawab kami berdelapan menenangkan hati simbah.

Suatu pengalaman yang tidak mungkin didapatkan ketika berada di kota. Ada kalanya hal buruk ketika disikapi dengan baik akan menjadi baik pula bagi kita. Ketika beberapa kelompok lain merasa risih karena alergi, dan lainnya, kami malah berbahagia.

Satu bulan di perbukitan Menoreh, kami belajar tentang hidup. Hidup tak harus selalu diukur dengan uang. Hidup akan lebih asik jika dinikmati bersama. Hidup harus tulus. Hidup harus punya mimpi dan tujuan. Terakhir, hidup harus berguna bagi orang lain

 

Samigaluh, Matur Nuwun Nggih :) 

[caption caption="Maturu nuwun Nggih simbah"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun