Jumprit sebenarnya adalah tempat yang disakralkan oleh umat Buddha, dan air dari tempat ini pun dipercaya membawa berkat. Selain airnya yang jernih dan segar, mata air jumprit pun tidak pernah mengering sekalipun musim kemarau, dan air inilah yang nantinya mengisi aliran sungai Progo.
Puas menikmati dinginnya air di Jumprit, penjelajahan dilanjutkan dengan kuliner. Bakso Lombok Ijo menjadi pilihan. Karena perut sudah keroncongan, maka motor pun dipacu dengan sedikit cepat.
Mata melotot, dan satu porsi bakso plus es jeruk pun dipesan. Aku memesan bakso tanpa lombok (cabe/cengek), tetapi temanku dengan perkasa meminta baksonya ditambah 15 lombok, sampai-sampai ia mandi keringat seraya menyantap bakso.
Tidak ada bihun atau mie dalam satu mangkok bakso ini, tetapi ada lontong (kupat) yang ditemani dengan tahu serta kerenyahan kerupuk.
Karena bakso dirasa kurang mampu memenuhi perut, maka kuliner sesi dua pun dilanjutkan. Kali ini tujuannya adalah nasi jagung yang dijual di pinggiran jalan.
satu porsi nasi jagung dipatok harga Rp 4.000,-. Bagi yang baru pertama kali mencoba, nasi jagung terbuat dari tepung jagung dan rasanya hambar. tetapi , jangan takut untuk mencoba karena nasi jagung yang satu ini disantap bersama dengan urap sayur dan ikan asin yang membuat rasanya cukup unik di lidah.
Akhirnya, perut pun terisi dengan maksimal dan sesi perjalanan terakhir adalah menyusuri kota sembari menikmati suasana senja. Jalanan yang bersih dan tertata, nyaris tidak terlihat sampah berserakan, apalagi kemacetan membuat kota ini serasa begitu damainya.