Terik matahari begitu panas menyengat kulit, padahal hari belum beranjak siang. Di dekat gerbang bertuliskan PLTA Saguling, saya dan Rini beristirahat sebentar menunggu kedatangan 2 teman lain sembari menikmati lontong sayur. Kami memulai perjalanan hari itu menuju tempat wisata yang akhir-akhir ini populer lewat instagram. Bukan Bendungan Saguling yang sudah lebih dulu tenar. Tetapi menjelajah Sanghyang Heuleut, Poek dan Tikoro yang letaknya tidak jauh dari Bendungan Saguling. Rupaya beberapa tukang ojek yang mangkal di sekitar situ sudah bisa menebak kemana tujuan kami dan langsung menawarkan jasa ojeknya. Kamipun ngobrol sejenak. Tak berapa lama dua teman kami, Ve dan Yesi akhirnya tiba. Tanpa membuang-buang waktu, kamipun langsung naik ojek menuju lokasi.
Jarak jalan raya Cianjur-Bandung ke lokasi tujuan kami sekitar 5 km. Melewati jalan aspal berkelok-kelok, dan perkebunan PTPN. Hingga sampailah kami di jalan menanjak, terlihat aliran sungai yang sangat deras dengan baunya yang menyengat seperti belerang. Tak jauh dari situ ada power house dan sutet. Kamipun turun dari ojek. Parkiran motor di sekitar situ terlihat penuh. Rupanya pengunjung sudah ramai berdatangan, terutama karena ini hari minggu. Ternyata pengaruh media sosial memang luar biasa, info menyebar begitu cepat dalam waktu singkat. Mulailah tempat ini digandrungi sebagai incaran baru tujuan wisata bagi warga di daerah Jakarta, Bandung, Cianjur dan sekitarnya. Meskipun demikian, belum ada pihak yang secara resmi mengelola kawasan ini. Terbukti dengan tidak dipungutnya iuran tiket masuk pada saat kita baru sampai ke lokasi.
[caption caption="Power house dan Sungai Citarum dilihat dari atas (Dok. Yani)"][/caption]
[caption caption="Dua pipa raksasa menjadi petunjuk awal titik trekking kami (Dok. Yani)"]
[caption caption="Melewati bawah pipa (Dok.Yani)"]
[caption caption="Melewati tangga besi (Dok.Yani)"]
[caption caption="Jalur trekking (Dok. Yani)"]
[caption caption="Melewati bukit (Dok. Yani)"]
[caption caption="Warung dadakan (Dok. Yani)"]
[caption caption="Pemandangan asri dengan batu yang besar-besar (Dok. Yani)"]
[caption caption="Salah satu batu yang eksotis (Dok. Yani)"]
[caption caption="Melewati batu dengan kemiringan hampir 45 derajat (Dok. Yani)"]
[caption caption="Sanghyang Heuleut (Dok. Yani)"]
[caption caption="Bocah saja berani manjat batu, masa kamu enggak :-) (Dok. Yani)"]
Saya turun ke batu di bawahnya agar pemandangan danau jelas terlihat. Nyaris tidak ada spot yang bersih dari pengunjung. Bahkan di sisi kiri danau ada terpal orang berjualan. Di ujung danau ada air terjun kecil yang mengisi Sanghyang Heuleut (Heuleut = batas antara dua hal). Saya hanya bisa memandang dari kejauhan. Seandainya saya datang di pagi hari dan tidak sedang musim hujan, mungkin pemandangan akan lebih asri. Pantaslah sebagian warga sekitar percaya tempat ini disebut sebagai tempat pemandian bidadari dari kahyangan. Dari tempat ini pulalah legenda Sangkuriang dan Dayang Sumbi berkembang turun-temurun.
Setelah puas menikmati pemandangan Sanghyang Heuleut, kami kembali harus berjuang melewati batu untuk bisa kembali ke titik awal. Saya sempatkan sejenak berendam di kolam yang tidak terlalu dalam. Byurrr!! Dingin juga airnya. Padahal cuaca sedang panas-panasnya.
[caption caption="Byurr!! Dingin juga airnya (Dok. Yani)"]
Menemukan Sanghyang Poek tidaklah mudah. Kami harus kembali ke jalur awal ketika kami menuju Sanghyang Heuleut. Ditambah lagi tidak ada papan petunjuk. Pengunjung kebanyakan langsung mengarah ke jalan pulang. Satu-satunya cara adalah bertanya pada orang yang kami temui. Di persimpangan jalan, kami bertemu dua orang perempuan penjual minuman.
“Gak jauh sih dari sini, paling 1 kilo. Tapi pada berani gak soalnya di sana udah gak ada orang” ujar salah satu yang memegang batang rokok.
Ah, si ibu benar-benar mematahkan semangat kami. Untungnya kami tidak mudah menyerah. Setidaknya bisa sampai di mulut gua dan medokumentasikannya akan mengobati rasa penasaran. Tiba-tiba dari arah berlawan muncul serombongan orang, merekapun semakin memperjelas petunjuk ke arah Sanghyang Poek. Kami harus menaiki bukit, kemudian turun untuk sampai di dekat gua. Dari sini bau belerang mulai tercium kuat.
Benar saja, tak berapa lama mulai terdengar suara gemericik air sungai. Sebuah gua tampak berdiri kokoh di sampingnya. Kesannya memang sedikit menakutkan. Saya benar-benar tidak tahu bisa masuk ke sana lewat mana karena mulut guanya tidak jelas. Beruntungnya kami bertemu seorang pemandu yang secara tak sengaja sedang melewati sungai. Kamipun mendekatinya dan sempat berbincang-bincang sejenak. Dia menuturkan kalau Sanghyang Heuleut yang sebenarnya bukan yang sudah dikunjungi kebanyakan orang, tetapi masih jauh lagi. Pak Dudung, nama guide tersebut, menyebut tempat yang sudah kami kunjungi tadi dengan sebutan Patrol. Di sanapun msih terdapat curug tetapi tidak banyak orang yang ke sana karena medannya lebih sulit. Benar-benar tempat yang misterius ya.
[caption caption="Sanghyang Poek (Dok. Yani)"]
[caption caption="Sungai di depang Sanghyang Poek (Dok. Yani)"]
[caption caption="Pemandangan luar diambil dari mulut gua (Dok. Yani)"]
[caption caption="Foto bersama rombongan lain di depan Sanghyang Poek (Dok. Yani)"]
[caption caption="Foto bersama Pak Dudung (Dok. Yani)"]
Sanghyang Tikoro (Tikoro = kerongkongan) menjadi tempat tujuan terakhir di trip kami kali ini. Sayangnya karena sudah keburu sore, kami hanya sempat berfoto-foto di depan plangnya. Sedangkan Sanghyang Tikoro tepat berada di bawahnya. Untuk mengamati Sanghyang Tikoro dari dekat, kita harus melewati jalan turun di pelataran dekat Power House kemudian menuruni tangga. Itupun hanya mulut guanya yang bisa kita lihat. Sangat berbahaya jika turun sampai ke depan gua di saat alirannya sedang deras. Lalu terbawa masuk ke dalam gua yang entah sampai dimana ujungnya. Begitu misteriusnya, gua ini disebut sebagai penyebab jebolnya Danau Purba Bandung.
[caption caption="Foto di depan plang Sanghyan Tikoro (Dok. Yani)"]
[caption caption="Aliran Sungai Citarum yang terlihat dari jalan (Dok. Yani)"]
Setelah berkunjung ke sana dan membaca artikel-artikel dari internet, saya baru agak paham keberadaan tempat ini. Rupanya aliran sungai Citarum dari Bendungan Saguling mengalir membentuk dua cabang. Yang ke kiri menuju sungai terbuka yang bisa disaksikan dari jalan. Sedangkan ke arah kanan akan masuk ke Sanghyang Tikoro. Tetapi sungai ini yang sudah tercampur limbah dan menimbulkan bau belerang. Sedangkan Sungai Citarum yang asli dan masih jernih sudah dibendung di hulunya. Alirannya itulah yang kita susuri sepanjang Sanghyang Heuleut hingga Sanghyang Poek. Jadi sebenarnya ketiga tempat itu bisa terhubung dalam satu aliran sungai.
Bagaimanapun misteriusnya ketiga Sanghyang tersebut, tempat ini menarik untuk dikunjungi terutama bagi yang menyukai aktivitas treking. Selanjutnya berpotensi pula untuk dikembangkan menjadi objek wisata andalan di wilayah Bandung Barat.
Salam flashpaker
Bogor, 23 November 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H