Mohon tunggu...
Aryani_Yani
Aryani_Yani Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Lahir di kota hujan yg sejuk, dari ortu yg asli Jawa, tp belum pernah bisa berkomunikasi dlm bahasa Jawa, pernah 10 tahun terdampar di Banjarbaru yg panas, tp balik lg ke kota kelahiran tercinta...I am just the way I am, a little dreamer, agak pemalu tp gak malu-maluin koq :-), melankonlis kuat tp sedikit koleris, pecinta tanaman & lingkungan, mudah terharu, senang fotografi, design & art, handycraft, travelling & ecotourism, pokoknya yg serba alami dech alias naturalist, a lot of friendship...hmm apa lagi yaaa....kalo nulis kyknya belum jd hobi dech, makanya gabung di kompasiana :-D. Jd job creator adalah 'impian' tp belum kesampaian tuh. Email : ryani_like@yahoo.com. Instagram : aryaniyani21

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menyusuri Trio Sanghyang (Heuleut, Poek dan Tikoro) : Petualangan Seru dari Rajamandala

23 November 2015   05:59 Diperbarui: 23 November 2015   07:33 1397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terik matahari begitu panas menyengat kulit, padahal hari belum beranjak siang. Di dekat gerbang bertuliskan PLTA Saguling, saya dan Rini beristirahat sebentar menunggu kedatangan 2 teman lain sembari menikmati lontong sayur. Kami memulai perjalanan hari itu menuju tempat wisata yang akhir-akhir ini populer lewat instagram. Bukan Bendungan Saguling yang sudah lebih dulu tenar. Tetapi menjelajah Sanghyang Heuleut, Poek dan Tikoro yang letaknya tidak jauh dari Bendungan Saguling. Rupaya beberapa tukang ojek yang mangkal di sekitar situ sudah bisa menebak kemana tujuan kami dan langsung menawarkan jasa ojeknya. Kamipun ngobrol sejenak. Tak berapa lama dua teman kami, Ve dan Yesi akhirnya tiba. Tanpa membuang-buang waktu, kamipun langsung naik ojek menuju lokasi.

Jarak jalan raya Cianjur-Bandung ke lokasi tujuan kami sekitar 5 km. Melewati jalan aspal berkelok-kelok, dan perkebunan PTPN. Hingga sampailah kami di jalan menanjak, terlihat aliran sungai yang sangat deras dengan baunya yang menyengat seperti belerang. Tak jauh dari situ ada power house dan sutet. Kamipun turun dari ojek. Parkiran motor di sekitar situ terlihat penuh. Rupanya pengunjung sudah ramai berdatangan, terutama karena ini hari minggu. Ternyata pengaruh media sosial memang luar biasa, info menyebar begitu cepat dalam waktu singkat. Mulailah tempat ini digandrungi sebagai incaran baru tujuan wisata bagi warga di daerah Jakarta, Bandung, Cianjur dan sekitarnya. Meskipun demikian, belum ada pihak yang secara resmi mengelola kawasan ini. Terbukti dengan tidak dipungutnya iuran tiket masuk pada saat kita baru sampai ke lokasi.

[caption caption="Power house dan Sungai Citarum dilihat dari atas (Dok. Yani)"][/caption]

[caption caption="Dua pipa raksasa menjadi petunjuk awal titik trekking kami (Dok. Yani)"]

[/caption]

[caption caption="Melewati bawah pipa (Dok.Yani)"]

[/caption]Sesungguhnya waktu itu saya belum benar-benar mengerti tempat yang dituju kali ini. Saya hanya berbekal keterangan teman dan artikel di internet, itupun masih belum bisa terbayang. Apalagi di sini minim papan petunjuk. Tidak tahu mesti kemana dulu. Begitu pula dengan tiga teman saya yang lain. Akhirnya kami hanya mengikuti rombongan lain. Tibalah di dekat dua pipa raksasa berwarna kuning yang memanjang dari atas bukit ke arah turbin di bawah. Kami harus merunduk untuk bisa lewat di bawahnya. Kepala terasa pusing karena semen yang kami pijak posisinya miring.

[caption caption="Melewati tangga besi (Dok.Yani)"]

[/caption]

 

[caption caption="Jalur trekking (Dok. Yani)"]

[/caption]

[caption caption="Melewati bukit (Dok. Yani)"]

[/caption]

[caption caption="Warung dadakan (Dok. Yani)"]

[/caption]Setelah itu kami harus menaiki tangga dari besi untuk sampai di titik awal trekking kami di jalan setapak tanah. Setelah mendapat keterangan dari beberapa orang yang ditemui, saya jadi tahu tempat yang dituju oleh kebanyakan pengunjung, termasuk kami, adalah Sanghyang Heuleut. Awalnya kami harus menuruni bukit, di antara semak dan pohon-pohon pisang. Kadang menanjak sedikit, ataupun datar. Sepanjang jalan banyak sekali dijumpai warung-warung dadakan ataupun penjual minuman asongan. Rupanya jalan yang harus dilalui tidaklah melulu lewat tanah, kamipun harus melalui jalur sungai berbatu. Dan petualangan panjat-memanjat batu pun dimulai. Bukan sekali-sekali, tetapi hampir sepanjang perjalanan. Beberapa batu berukuran besar sudah dibuatkan tangga dari kayu, tetapi tanpa pegangan. Memang dibutuhkan kondisi tubuh yang fit dan kelincahan menuju Sanghyang Heuleut, karena treknya memang lumayan menguras tenaga. Salah memilih pijakan, bisa-bisa kaki kita terpeleset masuk ke dalam sungai yang berlumpur.

[caption caption="Pemandangan asri dengan batu yang besar-besar (Dok. Yani)"]

[/caption]

[caption caption="Salah satu batu yang eksotis (Dok. Yani)"]

[/caption]

Panas matahari yang begitu menyengat tidak menyurutkan niat kami untuk sampai ke Sanghyang Heuleut. Sayang kan sudah datang jauh-jauh kalau tidak sampai tempat tujuan. Batu-batu besar dengan berbagai macam bentuk dan ornamennya membuat saya terkagum-kagum. Mungkin ini yang menjadi bukti bahwa tempat ini terbentuk dari letusan Gunung Sunda Purba. Sayangnya air sungai saat itu sedang keruh kecoklatan karena sudah memasuki musim penghujan. Andai saya datang di musim kemarau, mungkin air akan berwarna hijau jernih. Bahkan ada yang menyebut tempat ini sebagai Belitung KW rasa Bandung :-)

[caption caption="Melewati batu dengan kemiringan hampir 45 derajat (Dok. Yani)"]

[/caption]

[caption caption="Sanghyang Heuleut (Dok. Yani)"]

[/caption]Sekitar 1,5 jam treking, sampailah kami di semacam bentukan seperti kolam kecil dengan batu-batu besar di sekelilingnya. Ada beberapa anak kecil yang berenang di situ. Di baliknya kolam tersebut, tampak begitu ramai orang memanjat dan menduduki batu-batu besar di sekelilingnya. Saya sudah menebak kalau itulah yang disebut Sanghyang Heuleut. Meskipun sudah di hadapan mata, perjuangan mencapai tempat itu ternyata butuh keberanian ekstra. Kami harus menaiki batu dengan kemiringan hampir 45 derajat. Untunglah di situ disediakan tali dan pijakan batunya tidak terlalu licin. Namun ternyata medan yang sulit dan cuaca terik tidak membuat tempat itu lantas sepi. Justru saat itu sedang ramai-ramainya pengunjung. Bahkan saya lihat di antara mereka ada ibu-ibu yang memakai baju gamis dan rok. Adapula para orang tua yang membawa serta anaknya yang masih di bawah umur 10 tahun. Wow, luar biasa!! Antara ngeri dan kagum melihat anak-anak kecil itu memanjat batu.

[caption caption="Bocah saja berani manjat batu, masa kamu enggak :-) (Dok. Yani)"]

[/caption]Sejenak saya terduduk diam di salah satu batu. Selain kelelahan, orang-orang yang berseliweran di pinggir batu membuat kami susah bergerak. Takjub, itulah kata yang ada di benak saya kala itu. Sebuah danau dengan pahatan dinding tebing yang cantik diselingi hiasan pohon-pohon hijau. Di sisi yang lain batu-batu besar tinggi menjulang seakan menjadi pembatas danau. Para pengunjung laki-laki yang bernyali tinggi, berkali-kali jumping dari atasnya ke danau, mungkin tingginya sekitar 5-8 m. Beberapa terlihat sedang asyik berenang di tengah danau yang saya kira cukup dalam.

Saya turun ke batu di bawahnya agar pemandangan danau jelas terlihat. Nyaris tidak ada spot yang bersih dari pengunjung. Bahkan di sisi kiri danau ada terpal orang berjualan. Di ujung danau ada air terjun kecil yang mengisi Sanghyang Heuleut (Heuleut = batas antara dua hal). Saya hanya bisa memandang dari kejauhan. Seandainya saya datang di pagi hari dan tidak sedang musim hujan, mungkin pemandangan akan lebih asri. Pantaslah sebagian warga sekitar percaya tempat ini disebut sebagai tempat pemandian bidadari dari kahyangan. Dari tempat ini pulalah legenda Sangkuriang dan Dayang Sumbi berkembang turun-temurun.

Setelah puas menikmati pemandangan Sanghyang Heuleut, kami kembali harus berjuang melewati batu untuk bisa kembali ke titik awal. Saya sempatkan sejenak berendam di kolam yang tidak terlalu dalam. Byurrr!! Dingin juga airnya. Padahal cuaca sedang panas-panasnya.

[caption caption="Byurr!! Dingin juga airnya (Dok. Yani)"]

[/caption]*****

Menemukan Sanghyang Poek tidaklah mudah. Kami harus kembali ke jalur awal ketika kami menuju Sanghyang Heuleut. Ditambah lagi tidak ada papan petunjuk. Pengunjung kebanyakan langsung mengarah ke jalan pulang. Satu-satunya cara adalah bertanya pada orang yang kami temui. Di persimpangan jalan, kami bertemu dua orang perempuan penjual minuman.

“Gak jauh sih dari sini, paling 1 kilo. Tapi pada berani gak soalnya di sana udah gak ada orang” ujar salah satu yang memegang batang rokok.

Ah, si ibu benar-benar mematahkan semangat kami. Untungnya kami tidak mudah menyerah. Setidaknya bisa sampai di mulut gua dan medokumentasikannya akan mengobati rasa penasaran. Tiba-tiba dari arah berlawan muncul serombongan orang, merekapun semakin memperjelas petunjuk ke arah Sanghyang Poek. Kami harus menaiki bukit, kemudian turun untuk sampai di dekat gua. Dari sini bau belerang mulai tercium kuat.

Benar saja, tak berapa lama mulai terdengar suara gemericik air sungai. Sebuah gua tampak berdiri kokoh di sampingnya. Kesannya memang sedikit menakutkan. Saya benar-benar tidak tahu bisa masuk ke sana lewat mana karena mulut guanya tidak jelas. Beruntungnya kami bertemu seorang pemandu yang secara tak sengaja sedang melewati sungai. Kamipun mendekatinya dan sempat berbincang-bincang sejenak. Dia menuturkan kalau Sanghyang Heuleut yang sebenarnya bukan yang sudah dikunjungi kebanyakan orang, tetapi masih jauh lagi. Pak Dudung, nama guide tersebut, menyebut tempat yang sudah kami kunjungi tadi dengan sebutan Patrol. Di sanapun msih terdapat curug tetapi tidak banyak orang yang ke sana karena medannya lebih sulit. Benar-benar tempat yang misterius ya.

[caption caption="Sanghyang Poek (Dok. Yani)"]

[/caption]

[caption caption="Sungai di depang Sanghyang Poek (Dok. Yani)"]

[/caption]

[caption caption="Pemandangan luar diambil dari mulut gua (Dok. Yani)"]

[/caption]

[caption caption="Foto bersama rombongan lain di depan Sanghyang Poek (Dok. Yani)"]

[/caption]Beberapa pengunjung lain yang baru datang bertebaran di sekitar sungai sambil berfoto-foto. Kami harus menyeberang sungai untuk bisa memasuki mulut gua yang lebih aman. Di situ ada plang Goa Purbakala Sanghyang Poek (Sanghyang = tempat yang suci, Poek = gelap). Jadi kalau ke sana harus siap dengan senter ya supaya bisa melihat keindahan di dalam gua. Kami hanya berjalan beberapa menit sebelum tembus lagi ke jalan keluar. Sayangnya saya tidak sempat memperhatikan stalaktitnya yang katanya berkilauan jika ditimpa cahaya. Sebenarnya gua itu memiliki beberapa lorong yang bisa dimasuki, namun kata Pak Dudung beberapa tidak aman karena masih terdapat ular di dalamnya. Setelah keluar gua kami dipandu ke tempat parkiran motor lewat jalur lain, jadi agak memotong jalan.

[caption caption="Foto bersama Pak Dudung (Dok. Yani)"]

[/caption]*****

Sanghyang Tikoro (Tikoro = kerongkongan) menjadi tempat tujuan terakhir di trip kami kali ini. Sayangnya karena sudah keburu sore, kami hanya sempat berfoto-foto di depan plangnya. Sedangkan Sanghyang Tikoro tepat berada di bawahnya. Untuk mengamati Sanghyang Tikoro dari dekat, kita harus melewati jalan turun di pelataran dekat Power House kemudian menuruni tangga. Itupun hanya mulut guanya yang bisa kita lihat. Sangat berbahaya jika turun sampai ke depan gua di saat alirannya sedang deras. Lalu terbawa masuk ke dalam gua yang entah sampai dimana ujungnya. Begitu misteriusnya, gua ini disebut sebagai penyebab jebolnya Danau Purba Bandung.

[caption caption="Foto di depan plang Sanghyan Tikoro (Dok. Yani)"]

[/caption] 

[caption caption="Aliran Sungai Citarum yang terlihat dari jalan (Dok. Yani)"]

[/caption]*****

Setelah berkunjung ke sana dan membaca artikel-artikel dari internet, saya baru agak paham keberadaan tempat ini. Rupanya aliran sungai Citarum dari Bendungan Saguling mengalir membentuk dua cabang. Yang ke kiri menuju sungai terbuka yang bisa disaksikan dari jalan. Sedangkan ke arah kanan akan masuk ke Sanghyang Tikoro. Tetapi sungai ini yang sudah tercampur limbah dan menimbulkan bau belerang. Sedangkan Sungai Citarum yang asli dan masih jernih sudah dibendung di hulunya. Alirannya itulah yang kita susuri sepanjang Sanghyang Heuleut hingga Sanghyang Poek. Jadi sebenarnya ketiga tempat itu bisa terhubung dalam satu aliran sungai.

Bagaimanapun misteriusnya ketiga Sanghyang tersebut, tempat ini menarik untuk dikunjungi terutama bagi yang menyukai aktivitas treking. Selanjutnya berpotensi pula untuk dikembangkan menjadi objek wisata andalan di wilayah Bandung Barat.

Salam flashpaker

Bogor, 23 November 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun