[caption id="attachment_324273" align="alignnone" width="614" caption="Turun di Stasiun Lampegan (Dok. Yani)"][/caption]
Libur sehari 1 Mei lalu, yang bertepatan dengan Hari Buruh Internasional, benar-benar harus dimanfaatkan untuk melepas kepenatan sehari-hari. Kami berempat (Mbak Ramdiyah, Ria Astuti, Yulia dan saya) kembali ngetrip bareng di tanggal yang sama seperti 4 bulan sebelumnya (baca : di sini dan di sini). Niat awalnya seperti biasa, hanya menjajal kereta api Bogor-Cianjur yang baru beberapa bulan beroperasi. Tetapi beberapa lokasi tujuan memang sudah direncanakan meskipun tidak tahu rutenya, seperti ke Situs Megalitikum Gunung Padang dan kalau sempat ke Curug Cikondang. Saya, Ria dan Yulia berangkat dari Bogor, sedangkan Mbak Ramdiyah dari Sukabumi.
Kami memilih keberangkatan paling pagi, pukul 7.55. Tetapi semenjak sejam sebelum keberangkatan, Stasiun Paledang sudah dipadati calon penumpang. Buat yang beli dadakan, jangan harap bakal dapat tiket, terutama di hari libur. Jadi pesanlah jauh-jauh hari sebelumnya. Maklumlah…kereta memang transportasi umum yang sangat diminati.
Kereta Pangrango berangkat tepat waktu. Perjalanan dengan kereta jelas lebih nyaman. Pemandangan sawah, bukit dan sungai sepanjang perjalanan ke Sukabumi benar-benar indah dan menyejukkan mata. Meskipun tidak secepat commuter line karena melewati bukit-bukit yang menanjak. Beda sekali jika kita menempuh jalur memakai mobil atau bus yang penuh dengan kemacetan. Setelah sekitar dua jam perjalanan, keretapun sampai di Stasiun Sukabumi.
Ada cerita lucu sekaligus ngeselin waktu sampai di Sukabumi. Mbak Ramdiyah sempat sms kalau ia sudah naik kereta, tetapi kami benar-benar tidak sadar kalau harus pindah kereta. Karena tiket kereta Bogor-Cianjur disatukan, dan yang tertulis hanya kereta Pangrango. Ditambah tidak ada pemberitahuan sama sekali dari petugas KAI kalau kami harus berpindah kereta. Setelah semua penumpang ke Sukabumi turun, kamipun tetap bersantai-santai di kereta, bahkan sempat selonjoran kaki. Tiba-tiba ada penumpang lain yang naik dan mendatangi kursi kami. Mereka bilang kalau nomornya sama dengan kursi kami. Waktu itu kami sempat ngotot karena merasa sudah naik dari Bogor. Mereka pun ngotot juga dan bilang kalau gerbongnya berbeda. Kamipun berpikir kalau gerbongnya ditukar dan spontan langsung pindah ke gerbong lain sambil menggerutu.
Sesampainya di gerbong lain, kami menjumpai nomor kursi yang sama sudah ditempati. Saya mulai curiga jangan-jangan pindah kereta. Tiba-tiba ponselku berbunyi, “Kalian dimana? Keretanya pindah ya, bukan yang dari Bogor itu” kata Mbak Ramdiyah. Setelah mengiyakan, kami buru-buru pergi. Kami sempat berpapasan dengan beberapa petugas KAI yang masuk gerbong dan memberitahu kalau penumpang yang melanjutkan perjalanan ke Cianjur harus berpindah kereta
“Yee…dari tadi kek pemberitahuannya”, batinku mengomel. Ternyata kereta yang kami tumpangi tadi kembali ke Bogor lagi. Untungnya kami sempat pindah kereta, kalau tidak perjalanan ke Cianjur bisa batal deh.
*****
Kereta Siliwangi mulai melaju pelan. Perjalanan ke Cianjur tidak selama ke Sukabumi, meskipun pemandangan dan kecepatan keretanya tidak jauh berbeda. Ketika pemeriksaan karcis, kami sempat sedikit protes pada sang kondektur atas kejadian yang dialami sebelumnya. Seorang ibu di samping kami memberi keterangan rute ke Curug Cikondang dan Gunung Padang. Tak sampai sejam, kira-kira hanya melewati 2 stasiun, kami sampai di terowongan panjang di bawah bukit. Ini artinya kami sudah hampir memasuki Stasiun Lampegan, dan harus turun di sini jika hendak ke Gunung Padang.
[caption id="attachment_324280" align="aligncenter" width="602" caption="Terowongan Lampegan, 415 m (Dok. Yani)"]
Stasiun Lampegan merupakan stasiun kecil, memiliki terowongan sepanjang 415 meter peninggalan zaman kolonial Belanda. Banyak cerita mistis mengenai terowongan ini. Tetapi menurut penduduk sekitar, tempat ini sudah tidak terlalu menyeramkan lagi, karena sudah sering dilewati kereta. Kami sempat berfoto-foto di depan terowongan.
Ternyata yang ingin ke berkunjung ke Gunung Padang tidak hanya kami berempat. Di dekat terowongan, ada 2 orang pemuda, Adhan dan Denny, yang tiba tiba menyapa kami. Mereka berdua pun menjadi teman seperjalanan ke Curug Cikondang dan Gunung Padang.
Di sana agak sukar mendapatkan kendaraan umum selain ojek. Tukang ojek menawarkan harga cukup tinggi untuk ongkos PP dan menunggu di dua tempat wisata tersebut, yaitu Rp. 100.000,-. Setelah tawar-menawar dengan sedikit ngotot, akhirnya ongkos berhasil diturunkan sedikit menjadi Rp. 90.000,-. Meskipun mereka terlihat agak merengut, tetapi akhirnya menyanggupi juga. Sebenarnya dalam hati merasa kasihan juga, ternyata setelah tahu, jalan yang dilalui ke Curug Cikondang cukup jauh dan jelek.
*****
Letak Stasiun Lampegan ke Curug Cikondang lebih jauh dibanding Gunung Padang, maka kami memutuskan untuk ke tempat ini dulu sebelum hujan turun. Awalnya jalan yang dilalui cukup bagus, tapi lama kelamaan sangat jelek dan bikin spot jantung. Kami harus melewati jalan berbatu-batu naik turun melewati bukit, dan adapula yang melewati jalan air kecil di sela-sela kebun teh yang sempit untuk memotong jalan. Untunglah kondisi cuaca cerah dan tidak becek.
Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya saya mengagumi pemandangan bukit-bukit yang terhampar di kanan kiri jalan. Tentu udaranya masih sangat sejuk, jauh dari polusi. Banyak perkebunan teh, terasering maupun tanaman kehutanan ditanam di atas bukit-bukit. Tetapi sayang banyak yang sudah agak gundul. Di sana banyak pula terdapat penambangan emas.
Tak berapa lama kami sampai di sisi sungai, pemandangan Curug Cikondang sudah dapat dilihat dari jalan yang kami lewati. Saat itu, suasana menuju jalan masuk curug agak ramai. Sepertinya curug ini dikomersialkan oleh warga setempat. Menurut tukang ojek yang kutumpangi, seharusnya tidak ditarik uang bayaran karena masih termasuk kawasan perkebunan dan belum dikelola resmi. Tetapi jika hari libur dan banyak pengunjung bisa dimanfaatkan untuk mencari uang dengan cara menarik tiket masuk sebesar Rp 5000,- dan tempat parkir Rp 2000,-.
[caption id="attachment_324274" align="aligncenter" width="350" caption="Landscape Curug Cikondang (Dok. Yani)"]
Kita tidak perlu jalan terlalu jauh untuk mencapai Curug Cikondang. Curug ini sendiri dikelilingi oleh areal terasering dan pohon-pohon yang tidak terlalu lebat. Aliran Curug Cikondang sekilas mirip dengan Curug Malela di Kabupaten Bandung Barat, hanya yang ini ukurannya lebih tinggi namun tidak tidak terlalu lebar. Bentuknya indah, Banyak yang menjulukinya Niagara kecil karena bentuknya melebar akibat air yang jatuh dari sungai di atasnya.
[caption id="attachment_324282" align="aligncenter" width="602" caption="Curug Cikondang "]
Meskipun cantik dan terlihat segar, kalau bisa hindari mandi atau cuci tangan di sungai ini karena akan menimbulkan gatal-gatal pada kulit. Airnya sudah tercemar oleh limbah merkuri akibat aktivitas pencucian emas yang dilakukan para penambang emas yang banyak terdapat di sekitar sini.
*****
Kami tidak berlama-lama di Curug Cikondang. Setelah puas berfoto-foto, motor yang membawa kami langsung melaju Ke Situs Megalitikum Gunung Padang. Berbeda dengan jalan ke Curug Cikondang. Jalan ke Gunung Padang sudah bagus, dan pengelolaannya sudah lebih baik.
Gunung Padang sendiri merupakan situs yang dibangun pada zaman Megalitikum. Letaknya di atas bukit. Ada 2 pilihan jalan naik yaitu tangga batu dengan kemiringan tajam tetapi jaraknya lebih dekat atau yang landai tetapi jaraknya lebih jauh. Sebaiknya coba deh dua-duanya sekalian olahraga.
[caption id="attachment_324277" align="aligncenter" width="350" caption="Tangga terjal menuju ke atas (Dok. Yani)"]
Pemandangan bukit-bukit yang mengelilingi Gunung Padang tampak jelas tatkala kita sudah sampai di tangga atas. Di atas bukit, terlihat batu-batu dalam jumlah besar membentuk punden berundak. Sekilas susunannya seperti berserakan/berantakan, mungkin karena dahulunya tertimbun tanah dan setelah diketemukan belum disusun lagi secara sempurna. Batu-batunya khas dan umumnya berbentuk memanjang. Gak kebayang dahulu kala bagaimana orang-orang bisa mengangkut dan menyusun batu sebanyak ini. Mungkin juga karena fungsinya untuk tempat pemujaan makanya ditempatkan jauh di atas bukit sehingga bisa lebih khusyuk dalam beribadah. Bagi yang tertarik dari sisi sejarahnya memang lebih baik menyewa guide, supaya dia bisa menjelaskan dengan lebih rinci tentang Gunung Padang.
[caption id="attachment_324275" align="aligncenter" width="614" caption="Pemandangan di atas Gunung Padang (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_324276" align="aligncenter" width="602" caption="Batu-batu yang menyusun punden berundak (Dok. Yani)"]
Di langit, nampak mendung tebal menggelayut. Setelah sejenak duduk-duduk untuk melepas lelah dan berfoto-foto, kami kembali turun ke bawah melalui jalan yang landai. Tak berapa lama hujanpun turun, makin lama semakin deras. Kami beristirahat sejenak untuk sholat di mushola sembari menunggu menunggu hujan reda. Alhamdulillah, akhirnya perjalanan ke dua tempat tersebut bisa dijangkau dalam waktu sehari.
[caption id="attachment_324281" align="aligncenter" width="622" caption="Kami berenam di Gunung Padang (Dok. Ramdiyah Luki)"]
Di pintu masuk, tukang ojek masih menunggu kami. Dengan sedikit protes, mereka kembali minta tambahan ongkos karena terlalu lama menunggu. Tapi kami tolak dengan alasan sesuai perjanjian awal. Akhirnya mereka mengalah dan tetap mengantarkan kami sampai bertemu angkot.
Kabut tipis sore hari menghias landscape bukit-bukit, samar terlihat siluet pepohonan di kanan kiri jalan. Hujan rintik-rintik mengiringi laju sepeda motor. Udara dingin dan sejuk khas pegunungan mengantarkan kami kembali pulang.
Bogor, 18 Mei 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H