“Bentar neng, orangnya lagi nganter penumpang” jawab si tukang ojek.
Setelah menunggu agak lama, tukang ojek yang ditunggu datang juga. Hampir setengah jam kami berada di situ, cukup lama dan menghabiskan waktu. Tak berapa lama, motorpun melaju kencang di jalan beraspal yang menanjak. Awalnya kondisi jalan masih mulus, tapi lama kelamaan tiba di jalan tanah berbatu-batu yang jelek. Beberapa ruas ada yang sedang dicor dan dihotmix. Karena jalanan terus menanjak, kaki saya sampai terasa pegal karena menahan supaya tidak mundur ke belakang. Debu-debu jalanan mengepul terkenda roda motor, rupanya di sini sudah lama tidak turun hujan.
Si tukang ojek yang saya tumpangi rupanya masih penasaran. Sepanjang perjalanan dia curhat. Rupanya memang di Papandayan itu ada suatu peraturan, bahkan sudah dibuat hitam di atas putihnya antara tukang ojek dan sopir mobil bak terbuka. Jadi dahulunya kendaraan yang beroperasi di sana hanya ojek. Tetapi seiring berjalannya waktu, Gunung Papandayan menjadi kawasan wisata terkenal dan makin banyak dikunjungi, ojekpun sering kewalahan untuk mengantar banyaknya penumpang sampai ke gerbang masuk. Akhirnya diadakanlah transportasi lain berupa mobil bak terbuka, tetapi dengan syarat jumlah penumpang di atas 5 orang. Kalaupun kurang dari itu bisa saja naik mobil bak tapi ongkosnya borongan. Sedangkan mobil bak yang bersedia mengantarkan kami tadi rupanya hendak menjemput penumpang di atas. Nah, daripada saat menanjak mobilnya kosong, makanya dia menyanggupi mengangkut kami bertiga dengan tarif Rp. 20ribu per orang. Tentu saja hal ini menyulut konflik dengan para tukang ojek di sana karena dianggap melanggar perjanjian.
“Oalah gitu tho pak ceritanya” saya mengangguk-angguk sambil tersenyum dan menikmati pemandangan sekitar.
Sedang asyik-asyiknya si tukang ojek cerita, mendadak motor yang kutumpangi mogok, untunglah mesin berhasil dihidupkan kembali. Jarak antara pertigaan Cisurupan dan loket masuk Papandayan sekitar 11 km. Cukup jauh, tetapi ada beberapa pengunjung yang saya lihat berjalan kaki ataupun bersepeda menuju loket masuk.
Sebelum sampai ke loket masuk, kita akan memasuki kawasan hutan yang agak lebat tumbuhannya dibanding sebelumnya. Di situ bisa kita temukan bangunan bekas loket masuk tetapi sudah kosong alias tidak terpakai lagi. Waktu saya tanyakan ke tukang ojek alasannya kenapa tidak ditempati lagi. Jawabannya cukup menggelikan. Katanya dulu loket masuknya memang di situ, tetapi sejak si petugas melihat makhluk halus di sana, makanya langsung minta dipindahkan di dekat parkiran yang lebih ramai orang. Ya mungkin di tempat itu memang banyak penunggu gaibnya. Namanya juga daerah hutan.
Perjalanan dengan motor memakan waktu sekitar 30 menit. Tibalah kami di gerbang masuk. Karena kami tidak camping, cukup dengan membayar Rp. 7500,-per orang, kami sudah boleh memasuki Taman Wisata Alam Gunung Papandayan. Dari lokasi parkir, Gunung Papandayan tampak seperti terbelah dengan bentuk memanjang dan mengepulkan asap. Asap itu berasal dari kawah yang terbentuk hasil letusan terakhir di tahun 2002. Tentu saja kami tidak lupa ritual wajib, berfoto-foto dulu di pelataran parkir sebelum mendaki.
[caption id="attachment_348404" align="alignnone" width="527" caption="Tiket masuk Gunung Papandayan (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_348405" align="alignnone" width="614" caption="Foto di area parkiran-1 (Dok.Yani)"]
[caption id="attachment_348407" align="alignnone" width="542" caption="Foto di area parkiran-2 (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_348408" align="alignnone" width="574" caption="Foto di area parkiran-3 (Dok. Yani)"]