Gunung Papandayan, menurut kebanyakan orang merupakan gunung yang mudah didaki untuk pemula, dengan banyak bonus pemandangan indah yang bisa dilihat di sana. Tentu saja cocok bagi yang menggemari fotografi landscape dengan kemampuan mendaki dan waktu yang pas-pasan seperti saya. Keinginan untuk mendaki Gunung Papandayan memang sudah direncanakan jauh-jauh hari, tapi baru terlaksana akhir pekan lalu (12/9/14). Apalagi banyak teman-teman kompasianer yang bikin tulisan reportase ke sana. Bikin ngiler aja.
Ceritanya saya ke sana bersama dua orang teman (Mbak Ramdiyah dan Mbak Vey). Berbeda dengan orang lain yang memilih camping, kami memutuskan untuk trip sehari saja di sana. Kami tinggal di tiga kota yang berbeda. Saya dari Bogor, Mbak Vey dari Sukabumi dan Mbak Ramdiyah dari Garut. Rencana awalnya kami berangkat dari Garut minggu pagi pukul 4.30. Saya sudah terlebih dahulu sampai di Garut sehari sebelumnya, jadi malam minggunya menginap di tempat Mbak Ramdiyah. Tetapi Mbak Vey, yang terjebak macet di Padalarang terpaksa menginap di Bandung dan baru bisa menuju Garut hari minggu selepas subuh. Akhirnya, kami bertiga baru bisa bertemu minggu pagi sekitar pukul 6.20 di Terminal Garut, dan rencana awal keberangkatan harus mundur 2 jam.
Jalan menuju Cisurupan (gerbang ke Gunung Papandayan) bisa ditempuh menggunakan angkot ataupun elf L300. Kami memilih menggunakan elf ke Cikajang dengan membayar Rp 10.000,- supaya tidak terlalu banyak ngetem. Pemandangan sawah dan gunung bisa kita saksikan sepanjang perjalanan. Makin lama jalanan semakin menanjak dan agak berkelok. Gunung Cikuray yang lancip dan diselimuti kabut pagi menghiasi sisi kiri jalan. Indah sekali. Sekitar sejam, kami sudah sampai di Pasar Cisurupan, pertanda sudah hampir sampai di gerbang masuk Papandayan. Si abang kenek yang kami suruh supaya memberhentikan elf di pertigaan Cisurupan malah kelupaan. Kamipun harus berjalan balik sekitar 100 meter.
Di Cisurupan, sudah banyak ojek yang menawarkan jasanya. Kami yang belum pernah ke sana langsung saja menuju mobil bak terbuka. Setelah tawar-menawar dengan si sopir akhirnya disepakati kami bertiga naik dengan ongkos Rp. 20ribu per orang. Sontak para tukang ojek yang ada di dekat mobil langsung protes. Menurut mereka sesuai perjanjian, mobil hanya dinaiki oleh lebih dari 5 orang penumpang, kecuali kalau mau borongan Rp. 200ribu per mobil. Konflik tukang ojek dan sopir pun tak bisa dihindarkan. Berkali-kali tukang ojek membujuk kami supaya naik ojeknya. Kami tetap ngotot tidak mau. Si sopir mobil bak yang sudah setuju tadi juga hanya diam saja. Kami pun sempat naik ke atas bak dan berfoto-foto.
“Neng, ayo naik ojek aja” ujar salah satu dari mereka kekeuh
“Gak ah, saya serem kalau naek ojek, lagian pingin naek mobil bak aja” kata Mbak Ramdiyah.
“Kan cuma 3 orang harusnya naek ojek. Jalannya sekarang udah bagus koq” kata mereka bersikeras
“Gak apa-apa, kami nunggu aja” kata kami tak kalah ngotot
[caption id="attachment_348403" align="alignnone" width="602" caption="Gunung Cikuray dilihat dari pelataran mesjid di pertigaan Cisurupan (Dok. Yani)"][/caption]
Karena mereka sibuk bertengkar, kami tinggalkan saja ke mesjid yang letaknya tidak jauh dari situ. Siapa tau ada mobil bak lain yang mau berangkat mengantarkan kami. Eh…salah satu tukang ojek masih tetap membuntuti dan membujuk. Karena kami tetap menolak akhirnya dia pergi. Saat duduk-duduk di pelataran mesjid tiba-tiba ada lagi tukang ojek yang datang. Waktu terus bergulir, jam sudah hampir menujukkan pukul 8. Pengunjung lainpun tak kunjung kelihatan kecuali beberapa mobil pribadi. Karena takut keburu siang, akhirnya kami putuskan naik ojek saja. Itupun harus menunggu agak lama lagi, karena tukang ojek yang tersedia baru 2 orang. Dan mereka tidak mau memberikan penumpang kepada sembarang tukang ojek selain temannya sendiri.
“Udah dong bang, cepetan!! ntar kesiangan nih, katanya tadi disuruh naik ojek, giliran udah mau, ojeknya yang gak ada” kataku menggerutu
“Bentar neng, orangnya lagi nganter penumpang” jawab si tukang ojek.
Setelah menunggu agak lama, tukang ojek yang ditunggu datang juga. Hampir setengah jam kami berada di situ, cukup lama dan menghabiskan waktu. Tak berapa lama, motorpun melaju kencang di jalan beraspal yang menanjak. Awalnya kondisi jalan masih mulus, tapi lama kelamaan tiba di jalan tanah berbatu-batu yang jelek. Beberapa ruas ada yang sedang dicor dan dihotmix. Karena jalanan terus menanjak, kaki saya sampai terasa pegal karena menahan supaya tidak mundur ke belakang. Debu-debu jalanan mengepul terkenda roda motor, rupanya di sini sudah lama tidak turun hujan.
Si tukang ojek yang saya tumpangi rupanya masih penasaran. Sepanjang perjalanan dia curhat. Rupanya memang di Papandayan itu ada suatu peraturan, bahkan sudah dibuat hitam di atas putihnya antara tukang ojek dan sopir mobil bak terbuka. Jadi dahulunya kendaraan yang beroperasi di sana hanya ojek. Tetapi seiring berjalannya waktu, Gunung Papandayan menjadi kawasan wisata terkenal dan makin banyak dikunjungi, ojekpun sering kewalahan untuk mengantar banyaknya penumpang sampai ke gerbang masuk. Akhirnya diadakanlah transportasi lain berupa mobil bak terbuka, tetapi dengan syarat jumlah penumpang di atas 5 orang. Kalaupun kurang dari itu bisa saja naik mobil bak tapi ongkosnya borongan. Sedangkan mobil bak yang bersedia mengantarkan kami tadi rupanya hendak menjemput penumpang di atas. Nah, daripada saat menanjak mobilnya kosong, makanya dia menyanggupi mengangkut kami bertiga dengan tarif Rp. 20ribu per orang. Tentu saja hal ini menyulut konflik dengan para tukang ojek di sana karena dianggap melanggar perjanjian.
“Oalah gitu tho pak ceritanya” saya mengangguk-angguk sambil tersenyum dan menikmati pemandangan sekitar.
Sedang asyik-asyiknya si tukang ojek cerita, mendadak motor yang kutumpangi mogok, untunglah mesin berhasil dihidupkan kembali. Jarak antara pertigaan Cisurupan dan loket masuk Papandayan sekitar 11 km. Cukup jauh, tetapi ada beberapa pengunjung yang saya lihat berjalan kaki ataupun bersepeda menuju loket masuk.
Sebelum sampai ke loket masuk, kita akan memasuki kawasan hutan yang agak lebat tumbuhannya dibanding sebelumnya. Di situ bisa kita temukan bangunan bekas loket masuk tetapi sudah kosong alias tidak terpakai lagi. Waktu saya tanyakan ke tukang ojek alasannya kenapa tidak ditempati lagi. Jawabannya cukup menggelikan. Katanya dulu loket masuknya memang di situ, tetapi sejak si petugas melihat makhluk halus di sana, makanya langsung minta dipindahkan di dekat parkiran yang lebih ramai orang. Ya mungkin di tempat itu memang banyak penunggu gaibnya. Namanya juga daerah hutan.
Perjalanan dengan motor memakan waktu sekitar 30 menit. Tibalah kami di gerbang masuk. Karena kami tidak camping, cukup dengan membayar Rp. 7500,-per orang, kami sudah boleh memasuki Taman Wisata Alam Gunung Papandayan. Dari lokasi parkir, Gunung Papandayan tampak seperti terbelah dengan bentuk memanjang dan mengepulkan asap. Asap itu berasal dari kawah yang terbentuk hasil letusan terakhir di tahun 2002. Tentu saja kami tidak lupa ritual wajib, berfoto-foto dulu di pelataran parkir sebelum mendaki.
[caption id="attachment_348404" align="alignnone" width="527" caption="Tiket masuk Gunung Papandayan (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_348405" align="alignnone" width="614" caption="Foto di area parkiran-1 (Dok.Yani)"]
[caption id="attachment_348407" align="alignnone" width="542" caption="Foto di area parkiran-2 (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_348408" align="alignnone" width="574" caption="Foto di area parkiran-3 (Dok. Yani)"]
Ada kejadian lucu lagi sebelum kami mendaki. Tukang ojek lain yang tidak kami naiki ternyata menyusul.
“Neng, koq gak naik ojek kami sih?? tanyanya
Oalah mas, kita mah naik yang mana aja yang penting cepet nyampe hehe. Udah ya kami mau jalan dulu. Let’s enjoy Papandayan Mount…
Bersambung ke sini
Bogor, 18 Oktober 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H