Kampung Naga merupakan sebuah perkampungan tradisional yang masih memegang teguh adat-istiadatnya. Letaknya tak jauh dari jalan raya yang menghubungkan Garut-Tasikmalaya, tepatnya di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Tasikmalaya. Tidak seperti ke Kampung Baduy yang harus jalan berjam-jam naik dan turun bukit, ke tempat ini aksesnya sangat mudah. Cukup hanya menuruni anak tangga sekitar 500 meter dari tempat parkir kita sudah sampai ke kampungnya. Bahkan dari jalan raya pun atap-atap rumahnya sudah bisa dilihat. Cukup praktis buat tempat refreshing, karena suasana di kampung ini sangat tenang dan asri. Sepanjang perjalanan menuju ke tempat ini, mata kita juga akan dimanjakan oleh pemandangan bukit-bukit, sawah bertingkat dan sungai yang meliuk-liuk bagai ular. Sungguh pemandangan luar biasa indah, apalagi jika kita menempuh perjalanan dengan menggunakan motor.
Saya sendiri sudah dua kali datang ke tempat ini, meski belum sempat berinteraksi langsung dengan penduduk setempat. Yang pertama kali di tahun 2012 (baca : di sini) dan terakhir dua minggu lalu (11/10/14) bersama mbak Ramdiyah. Tidak perlu mengeluarkan uang untuk memasuki kampung ini, kecuali bayar parkir atau jika ingin menyewa guide. Kali ini kunjungan juga di sore hari. Namun dengan suasana yang sedikit berbeda yakni saat cuaca cerah.
[caption id="attachment_349810" align="alignnone" width="598" caption="Rumah khas Kampung Naga (Dok. pribadi)"][/caption]
[caption id="attachment_349812" align="alignnone" width="400" caption="Pemandangan khas : sawah dan rumah Kampung Naga (Dok. Yani)"]
Sekitar jam 16.30 kami sampai di lokasi parkir menuju Kampung Naga. Tampak rombongan lain sebanyak satu bus sudah lebih dulu sampai di tempat ini. Setelah memarkir motor, kami menuruni anak tangga buatan yang menjadi ciri khas Kampung Naga. Pemandangannya tidak jauh berbeda dengan dua tahun yang lalu. Atap-atap rumah dari ijuk yang menghadap dan memanjang dengan arah yang sama, bahkan letak-letak pohonnya masih belum berubah. Tapi kali ini terlihat lebih indah karena hamparan sawahnya didominasi warna hijau dan kuning. Ada satu pohon yang daunnya berwarna kemerahan dan tampak berkilau keemasan ditimpa cahaya sore hari. Bulir-bulir padi mulai bermunculan di ujung-ujung malainya mulai warna putih, kuning sampai ungu kehitaman. Sungguh cantik.
[caption id="attachment_349813" align="alignnone" width="400" caption="Curug kecil di pinggir sawah (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_349814" align="alignnone" width="602" caption="Hamparan padi (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_349815" align="alignnone" width="602" caption="Sungai tempat memancing (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_349816" align="alignnone" width="602" caption="Sungai Ciwulan yang sedang kering (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_349817" align="alignnone" width="584" caption="Mulai berisi (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_349818" align="alignnone" width="611" caption="Rumah di tengah sawah (Dok. Yani)"]
Beberapa pengunjung tampak sangat menikmati pemandangan sore di tepi sawah sambil berdecak kaguk. Mungkin bagi orang kota, pemandangan seperti ini sungguh luar biasa dan sangat jarang ditemui. Di sebelah kanan jalan tampak sungai Ciwulan yang berasal dari mata air di Gunung Cikuray. Mungkin karena musim kemarau, airnya kering, batu-batu kalinya terlihat jelas. Beberapa orang tampak sedang memancing di dekat pintu air. Sayangnya air di situ tampak kotor dan agak keruh.
Setelah puas memotret padi dan sungai, kami segera memasuki perkampungannya. Rumah-rumah khas Kampung Naga masih tampak sama, jumlahnya tidak ada bertambah ataupun berkurang. Saya tidak tahu apakah Kampung Naga saat ini sudah menggunakan listrik atau belum, tapi tampak antena di atap-atap rumah.
Di tepian kolam, beberapa anak kecil berjalan beriringan membawa handuk. Mungkin mereka hendak mandi. Saya berbelok ke lapangan di depan mushola. Suasananya masih sama. Ada oleh-oleh hasil kerajinan tangan penduduk setempat yang dipajang di depan rumahnya. Tampak beberapa wanita tengah duduk-duduk di depan rumah sambil menunggui dagangan. Mereka tampak acuh dan sesekali memperhatikan pengunjung yang datang. Mungkin mereka sekarang sudah lebih terbiasa dengan kehadiran orang luar. Saya melemparkan senyum ke arah seorang nenek yang duduk sendirian di depan rumahnya, dan iapun membalas senyuman.
[caption id="attachment_349819" align="alignnone" width="569" caption="Pergi mandi (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_349820" align="alignnone" width="602" caption="Kerajinan khas Kampung Naga (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_349822" align="alignnone" width="588" caption="Aktivitas warga (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_349823" align="alignnone" width="602" caption="Mushola (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_349824" align="alignnone" width="612" caption="Bermain bulu tangkis (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_349825" align="alignnone" width="614" caption="Melongok dari balik jendela (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_349828" align="alignnone" width="614" caption="Jendela rumah Kampung Naga (Dok. Yani)"]
Mushola tampak sepi dan tidak terlihat ada kegiatan di dalamnya. Saya tidak tahu apakah dipakai setiap saat atau tidak. Mengingat waktu sholat mereka agak berbeda dengan orang islam pada umumnya karena masih banyak mendapat pengaruh dari adat istiadat setempat. Beberapa anak kecil sedang asyik bermain depannya sambil berceloteh dalam bahasa sunda. Tak jauh dari mushola, dibuatlah sebuah lapangan sederhana di atas tanah. Sudah dilengkapi dengan net dan garis-garis dari kayu bambu. Empat orang anak laki-laki sedang bermain badminton di atasnya. Di bagian rumah yang lain, beberapa anak perempuan sedang berkumpul. Mereka senyum-senyum melihat kedatangan kami. Ada pula yang sedang mengintip dari jendela kayu dari dalam rumahnya. Sungguh suasananya tampak seperti perkampungan biasa, sangat asri dan tenang.
[caption id="attachment_349827" align="alignnone" width="614" caption="Senangnya berada di pinggir sawah (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_349826" align="alignnone" width="395" caption="Tangga di Kampung Naga (Dok. Yani)"]
Mungkin sekitar satu jam kami berada di Kampung Naga. Tak terasa hari mulai gelap. Kami buru-buru membeli oleh-oleh khas kampung itu berupa gelang dan gantungan kunci dari batok kelapa bertuliskan “Kampung Naga”. Menjelang maghrib kami menyudahi kunjungan ke kampung Naga. Matahari sore sudah mengilang di balik bukit dan warna langitpun memudar. Perlahan sawah mulai gelap. Bergegas kami menaiki tangga dan berhenti sejenak untuk minum es kelapa dan sholat maghrib di mushola atas sebelum pulang.
Tidak perlu susah-susah memang untuk mencari tempat indah di Indonesia, jangan lupa kunjungi website Indonesia Travel.
Bogor, 26 Oktober 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H