Mari kita lihat sekilas mengenai empat sehat lima sempurna ini dari istilah tua di kebudayaan kita, khususnya di kebudayaan suku Sunda dan Jawa ada istilah “sedulur papat kalima pancer”, di buku ini, ijinkan saya secara sangat singkat menceritakan filosofi sedulur papat kalima pancer berdasarkan apa yang saya pahami. Begini ceritanya:
Dulur pertama ada pada diri kita, yaitu tubuh kita, dulur kedua adalah diri kita juga yaitu pikiran kita, dulur ketiga yang lebih tua dari kedua dulur sebelumnya, adalah perasaan kita, dan dulur paling tua kita yang keempat adalah jiwa kita, baru setelah yang ke empat bersinergi, yang kelima muncul, pancer, Ruh yang dengannya kita menyadari keberadaan kita adalah bagian dari seluruh penciptaan yang saling berhubungan dan saling bergantung.
Dari sini awal tatanan sosial dibangun, yaitu dengan menyadari bahwa kita hidup bersama dalam satu kesatuan. Sehingga apa yang kita lakukan mestilah selalu seimbang, seimbang berarti tidak melakukan perbuatan yang merugikan manusia dan alam, karena semua itu bagian dari diri kita.
Apabila kita melakukan ketidak seimbangan dengan perbuatan yang merusak alam atau merugikan sesama manusia, maka hakikatnya kita sedang menanam perbuatan yang pada saatnya akan merugikan diri kita sendiri.
Kita perhatikan karakter ke empat punakawan, pertama Bagong, paling muda, sederhananya itu adalah tubuh fisik dengan keinginan dan kebutuhan paling sederhana, batasan hitam dan putihnya jelas, lapar-makan-kenyang, kebutuhan seks dipenuhi dengan melakukan hubungan badan maka puaslah sudah, sesederhana apabila haus, maka minumlah.
Kemudian yang kedua adalah pikiran, ini Petruk, pikiran yang sering membawa hidup jadi susah, pikiran yang egois dan ingin menang sendiri, pikiran yang ingin berkuasa atas orang lain, kekuasaan pikiran adalah kekuasaan yang didapat dengan memanfaatkan orang lain, kepemimpinan karena jabatan atau kekuatan yang sedang dia pegang.
Ketiga adalah perasaan, Gareng atau Cepot, "perasaan‟ ini karakternya adalah menjadi pemimpin karena disukai, dicintai oleh mereka yang dipimpinnya, kalau jadi pemimpin, bukan jadi berwibawa karena kursi jabatannya, tapi dari bagaimana dia menyayangi bawahannya sehingga para bawahan pun menyayangi dia, bukan karena posisinya adalah suami sehingga menjadi lebih tinggi dari istri, tetapi karena dia suami yang bertanggung jawab, suami yang penuh kasih sayang, sehingga istri pun rela dipimpin oleh sang suami.
Juga seorang ayah yang dilihat dari keayahannya, yang sayang kepada anak-anaknya sehingga anak-anak pun menjadi sayang dan menurut kepada sang ayah.
Yang terakhir Semar, inilah yang diibaratkan kesadaran tentang Ruh, adalah yang paling tua, paling senior, dan paling dahsyat. Karena demikianlah stratanya, pikiran menguasai gerak tubuh, perasaan menguasai gerak pikiran dan karenanya tubuh juga, dan jiwa yang lebih dalam dari perasaan, pikiran, dan badan, itu tentu pada dasarnya menguasai semuanya. Dan terakhir, kesadaran tentang jiwa-jiwa yang satu akan membuahkan kesadaran sosial yang tinggi, dengannya kebahagian pribadi sempurna karena sudah memahami bahwa kebahagiaan yang hakiki hanya bisa diperoleh dengan gembira atau bahagia bersama.
Perhatikan badan kita, semua anggota tubuh adalah alat, mata adalah alat untuk melihat, telinga adalah alat untuk mendengar, tangan dan kaki dan semua badan adalah alat, demikian juga semua organ tubuh adalah alat juga, otak adalah alat untuk berpikir, jantung adalah alat untuk memompa darah dan oksigen, dan seterusnya semua itu adalah alat.
Dengan menyadari bahwa semua itu adalah alat, kita akan mulai menyadari, “alat dari siapakah semua itu?” Perhatikan, semua itu sesungguhnya adalah alat dari apa yang ada di dalam diri kita, itulah jiwa. Semua dalam tubuh kita dalam segala fungsinya adalah alat dari jiwa untuk menjalani hidup sehingga bisa jiwa bisa mengenal Sang Penciptanya agar paripurna hidupnya sesuai dengan tujuan dasar penciptaan agar Tuhan menunjukan eksistensi keberadaanNya dengan manusia mengenalNya.