Diriwayatkan bahwa Idris lahir dan tinggal di wilayah yang kini dikenal sebagai Irak, menyampaikan pengetahuan ketuhanan kepada masyarakatnya. Selain dari Irak, dalam beberapa kisah disebutkan juga bahwa Idris kemungkinan lahir di daerah Mesir. Idris memiliki nama asli Khanukh (Akhnukh, Annukh) dan dipanggil juga sebagai Henoch, ia dipanggil Idris karena mempelajari mushaf-mushaf Ketuhanan.
Menurut buku berjudul The Prophet of God Enoch: Nabiallah Idris, Idris adalah sebagai atau nama Arab bagi Akhnukh, nenek moyang dari Nuh. Idris dianugerahi kepandaian dalam berbagai disiplin ilmu dan kemahiran, serta kemampuan untuk menciptakan alat-alat untuk mempermudah pekerjaan manusia terutama alat untuk mengarahkan bagaimana logika berpikir dan juga alat untuk bekerja sehari-hari.
Dalam beberapa kisah dikatakan bahwa Idris adalah diantara manusia yang pertama kali mengembangkan tulisan, menguasai berbagai bahasa, ilmu perhitungan, ilmu alam, astronomi, dan lain sebagainya. Sedikit mengenai kisah Idris dimasukan ke dalam tulisan ini karena masa hidup beliau yang sangat lampau namun menunjukan sudah adanya catatan yang diduga berasal darinya yaitu ajaran tentang kehidupan berdasarkan konsep ketuhanan, kemanusiaan, dalam meraih kebahagiaan.
Ini menunjukan bahwa sudah lama sekali atau bahkan mungkin sedari awal konsep tentang kebahagian menjadi bagian dari pencarian manusia dari masa ke masa. Berikut ini diantara catatannya:
- Kesabaran berusaha yang disertai keyakinan kepada Tuhan membawa kemenangan.
- Orang yang bahagia adalah orang yang waspada dalam melakukan usaha dan perbuatan serta mengharapkan pertolongan dari Tuhan dengan melakukan perbuatan baik.
- Bila kamu memohon sesuatu kepada Tuhan dan berdoa, maka tuluskan niatmu. Demikian pula puasa dan pengabdianmu hendaknya untuk Tuhan.
- Taatlah kepada Rajamu dan tunduklah kepada Pembesarmu serta penuhilah selalu mulutmu dengan ucapan syukur dan puji kepada Tuhan.
- Janganlah iri hati kepada orang-orang yang baik nasibnya.
- Barang siapa tidak hidup dalam kesederhanaan tidak akan ada sesuatu pun yang memuaskannya. Tanpa membagi-bagikan nikmat yang diperolehnya, seseorang tidak dapat bersyukur kepada Tuhan atas nikmat-nikmat yang diperolehnya itu sehingga tidak beroleh bahagia sebenarnya.
SANG BUDDHA (624 SM)
Bagi Buddha, jalan menuju kebahagiaan dimulai dari memahami akar yang menyebabkan penderitaan. Apabila diibaratkan, Buddha adalah seorang dokter yang hebat, dan apa yang disampaikan Buddha adalah adalah berasal dari kebijaksanaannya tentang Tuhan, hal ini karena pengetahuan tentang Ketuhanan akan membawa manusia kepada memahami diri dan penyakit apa saja yang berpotensi mendera dan membuat kita menderita.
Sehingga daripada sekedar mengobati penderitaan manusia, Buddha sekaligus menyampaikan resep pencegahannya. Dalam metafora ini, sebagaimana yang Buddha sampaikan, obatnya adalah tentang kebijaksanaan dan kasih sayang yang dikenal dengan istilah sebagai Dharma, dan para perawat yang mendukung dan menunjukan bagaimana obat dikonsumsi adalah komunitas Budha yang disebut sebagai Sangha, mereka bisa diistilahkan sebagai para pelatih jiwa.
Penyakitnya, bagaimanapun hanya bisa disembuhkan jika si pasien menuruti nasehat Dokter dan mengikuti langkah perawatan – Delapan Jalan Kebenaran, adalah inti pelatihan dan praktek nyata menjalani kehidupan yang melibatkan kontrol dari pikiran.
- Pandangan Benar. Melihat dunia melalui mata yang berketuhanan, yaitu mata yang ada didalam Jiwa dengan berdasarkan kepada prinsip kebenaran dan kebaikan
- Pikiran Benar. Pikiran yang telah jernih karena mengikuti kebersihan Jiwa dan tidak dikuasai hawa nafsu serta kebodohan sehingga bisa mengarahkan pikiran.
- Ucapan Benar. Berbicara kata-kata yang baik, jujur, dan bermanfaat.
- Perilaku Benar. Perilaku yang didasari nilai Ketuhanan dan Kemanusiaan, yaitu Kasih Sayang.
- Penghidupan Benar. Sang Buddha berkata, "Jangan mencari nafkah Anda dengan merugikan orang lain. Jangan mencari kebahagiaan dengan membuat orang lain tidak bahagia."
- Usaha Benar. Melakukan usaha-usaha yang bermanfaat untuk diri dan sesama yang berdasar kepada Niat yang baik dan dilakukan dengan benar agar menjadi manfaat bagi semua.
- Perhatian Benar. Perhatian kepada kondisi Jiwa dalam beraktifitas
- Konsentrasi Benar. Fokus pada disini dan disaat ini, tempat yang paling dekat dengan Tuhan, yaitu kenyataan, atau dikenal juga dengan kasunyatan.
Dalam apa yang disampaikan Buddha, perawatan yang dijalani bukan obat yang langsung bisa ditelan dan mengobati penyakit, tapi adalah praktek sehari-hari dari pengendalian pikiran dan tindakan, yang kita sendiri bisa mengamati dan mengevaluasi berdasarkan pengalaman keseharian kita sendiri.
Meditasi, yang adalah alat yang paling terkenal dari latihan yang 8 disampaikan Buddha, bukan untuk melepas diri dari dunia dan realitas, melainkan alat untuk melatih pikiran untuk tidak liar, agar tunduk kepada kesadaran jiwa, yaitu membangun koneksi kepada Tuhan dan menerima apapun yang terjadi dalam hidup agar kemudian muncul dorongan untuk selalu mengusahakan yang terbaik yang bisa dilakukan dalam hidup, sehingga kemudian meditasi bisa memunculkan kemampuan intuisi manusia dan melihat segala sesuatu dengan mata yang lebih bijak dan tindakan yang lebih produktif.
“Semua kita saat ini adalah hasil dari apa yang kita pikirkan. Semua ditemukan dalam pikiran kita. Semua dibuat dalam pikiran kita..." (Dhammapada 1)
Ayat pertama dari Dhammapada, kumpulan tulisan kata-kata Buddha yang paling awal, berbicara tentang kesengsaraan dan kebahagiaan. Karena itu tidak mengherankan apabila pengajaran yang disampaikan Buddha memiliki banyak topik tentang kebahagiaan.
Deskripsi kontemporari tentang Buddha adalah “selalu-tersenyum” Tapi bukan senyum yang berasal dari kepuasan kekayaan materi atau kesenangan fisik, melainkan senyum yang berasal dari kedalaman jiwa dan ketenangan batin sehingga melingkupi kebahagiaan materi dan kesehatan fisik.
KONFUSIUS/CONFUCIUS (551 SM)
“Bukankah menyenangkan untuk belajar, berlatih, dan sekaligus berpraktek?” Kata-kata tersebut adalah pembukaan dari Analects of Confucius, sebuah kumpulan perkataan Confucius yang berasal dari masa kuno ketika seni pembelajaran mulai mendapatkan kebebasan.
Pembelajaran ala Confucius tidak hanya fokus pada memahami buku, tapi lebih kepada praktek dalam hubungan sosial, dan tentunya, kebaikan dari nilai “kemanusiaan”. Memahami “kemanusiaan”, dan mencoba untuk menyadari serta mengaplikasikan dalam keseharian, terutama dalam menemani perjalanan agung kehidpan atau Dao, akan mengisi kita dengan rasa kegembiraan.
Confucius menyesalkan “masyarakat umum” yang melakukan kebaikan hanya untuk memenuhi tuntutan sosial kemasyarakatan tetapi tidak untuk pengembangan jiwa dalam dirinya. Daripada “merasakan kegembiraan dalam melakukan kebaikan”, “masyarakat umum” menggunakan kebaikan dan menggunakannya sebagai „jubah kemunafikan‟.
Confucius mungkin adalah salah seorang pemikir besar yang awal-awal memperdebatkan bahwa kita memiliki kekuatan untuk mengubah kedudukan kebangsawanan diri kita sendiri. Ini adalah pernyataan yang subversif pada jaman itu, terutama ketika dia bersikeras bahwa para muridnya memiliki kekuatan untuk menjadi Chunzi atau Bangsawan, sebuah gelar yang biasanya hanya disematkan pada anak seorang Pembesar di Kerajaan.
Bagi Confucius, tidak menjadi masalah siapa orang tuamu. Jika kamu tidak menyuburkan kemanusiaan, kau tidak berhak mendapatkan gelar sebagai seorang “Bangsawan,” dan karenanya tidak terkualifikasi untuk berada dalam sebuah pemerintahan. Kemanusiaan adalah esensi dari Pemerintahan.
***
Tulisan di atas diambil dari Buku The Constant Happiness yang ditulis oleh Aryandi Yogaswara bersama Julianti. Untuk membaca versi online secara utuh bisa mengunjungi blog.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H