Mohon tunggu...
Aryandi Yogaswara
Aryandi Yogaswara Mohon Tunggu... -

Penulis, Penyair, Penjual Buku dan Madu Liar Asli. Tinggal di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nabi Idris, Buddha Gautama dan Konfusius

28 Maret 2017   23:47 Diperbarui: 28 Maret 2017   23:56 1198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Semua kita saat ini adalah hasil dari apa yang kita pikirkan. Semua ditemukan dalam pikiran kita. Semua dibuat dalam pikiran kita..." (Dhammapada 1)

Ayat pertama dari Dhammapada, kumpulan tulisan kata-kata Buddha yang paling awal, berbicara tentang kesengsaraan dan kebahagiaan. Karena itu tidak mengherankan apabila pengajaran yang disampaikan Buddha memiliki banyak topik tentang kebahagiaan.

Deskripsi kontemporari tentang Buddha adalah “selalu-tersenyum” Tapi bukan senyum yang berasal dari kepuasan kekayaan materi atau kesenangan fisik, melainkan senyum yang berasal dari kedalaman jiwa dan ketenangan batin sehingga melingkupi kebahagiaan materi dan kesehatan fisik.

KONFUSIUS/CONFUCIUS (551 SM)

“Bukankah menyenangkan untuk belajar, berlatih, dan sekaligus berpraktek?” Kata-kata tersebut adalah pembukaan dari Analects of Confucius, sebuah kumpulan perkataan Confucius yang berasal dari masa kuno ketika seni pembelajaran mulai mendapatkan kebebasan.

Pembelajaran ala Confucius tidak hanya fokus pada memahami buku, tapi lebih kepada praktek dalam hubungan sosial, dan tentunya, kebaikan dari nilai “kemanusiaan”. Memahami “kemanusiaan”, dan mencoba untuk menyadari serta mengaplikasikan dalam keseharian, terutama dalam menemani perjalanan agung kehidpan atau Dao, akan mengisi kita dengan rasa kegembiraan.

Confucius menyesalkan “masyarakat umum” yang melakukan kebaikan hanya untuk memenuhi tuntutan sosial kemasyarakatan tetapi tidak untuk pengembangan jiwa dalam dirinya. Daripada “merasakan kegembiraan dalam melakukan kebaikan”, “masyarakat umum” menggunakan kebaikan dan menggunakannya sebagai „jubah kemunafikan‟.

Confucius mungkin adalah salah seorang pemikir besar yang awal-awal memperdebatkan bahwa kita memiliki kekuatan untuk mengubah kedudukan kebangsawanan diri kita sendiri. Ini adalah pernyataan yang subversif pada jaman itu, terutama ketika dia bersikeras bahwa para muridnya memiliki kekuatan untuk menjadi Chunzi atau Bangsawan, sebuah gelar yang biasanya hanya disematkan pada anak seorang Pembesar di Kerajaan.

Bagi Confucius, tidak menjadi masalah siapa orang tuamu. Jika kamu tidak menyuburkan kemanusiaan, kau tidak berhak mendapatkan gelar sebagai seorang “Bangsawan,” dan karenanya tidak terkualifikasi untuk berada dalam sebuah pemerintahan. Kemanusiaan adalah esensi dari Pemerintahan.

***

Tulisan di atas diambil dari Buku The Constant Happiness yang ditulis oleh Aryandi Yogaswara bersama Julianti. Untuk membaca versi online secara utuh bisa mengunjungi blog.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun