Mohon tunggu...
Aryanda Putra
Aryanda Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Jika Kesalahan dan Kebenaran bisa untuk didialogkan, kenapa harus mencari-cari Justifikasi untuk pembenaran sepihak. Association - A Stoic

Ab esse ad posse

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Suriah di Persimpangan Sejarah

9 Desember 2024   23:24 Diperbarui: 15 Januari 2025   00:55 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tantangan Internal Pasca Revolusi

Siapa sangka, di tengah dentuman meriam dan asap yang membumbung tinggi, sebuah babak baru bagi Suriah justru ditulis dengan tangan rakyatnya sendiri. Bashar al-Assad, yang pernah kokoh di puncak kekuasaan selama lebih dari satu dekade, kini dikabarkan berada di Moskow, berlindung di bawah sayap Kremlin setelah ibu kota Damaskus jatuh ke tangan pemberontak. Drama politik ini bak serial yang penuh plot twist, tapi kali ini, panggungnya nyata.

Ada ironi besar di sini. Seorang presiden yang dulu berdiri dengan janji-janji besar, kini meninggalkan negerinya dalam kondisi porak-poranda. Rakyat yang dulu dibungkam kini bersorak di jalanan. Video-video di media sosial menggambarkan perayaan penuh emosi---Suara Takbir kemenangan menggema, kembang api di alun-alun, pelukan hangat, hingga air mata bahagia para pengungsi yang membayangkan kembali ke tanah air mereka.

Namun, kemenangan ini bukan tanpa noda. Kelompok pemberontak seperti Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang memimpin penggulingan Assad, menimbulkan pertanyaan besar tentang masa depan Suriah. Apakah mereka membawa harapan baru, atau justru menggantikan rezim lama dengan wajah baru yang sama kerasnya?

Perdana Menteri Mohammed Ghazi al-Jalali, yang memilih tetap di Damaskus, menawarkan visi damai dan pemilu bebas. Namun, di tengah euforia dan ketidakpastian, apakah suara rakyat benar-benar akan menentukan arah baru negara ini? 

Yang jelas, Suriah telah menunjukkan bahwa rezim otoriter, sekuat apa pun cengkeramannya, pada akhirnya bisa runtuh jika rakyat bersatu. Sebuah pelajaran pahit tapi berharga bagi siapa saja yang berkuasa tanpa mendengar suara rakyatnya.

Kini, Suriah berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada peluang untuk bangkit dari reruntuhan dan membangun kembali sebuah negara yang menghormati hak asasi manusia dan keadilan. Di sisi lain, ada ancaman konflik internal dan campur tangan asing yang bisa memperpanjang derita rakyat.

Bagi dunia, ini bukan hanya kisah tentang jatuhnya seorang diktator, tapi juga pengingat bahwa kekuatan sejati ada di tangan rakyat. Seperti yang terus diteriakkan oleh para rayat suriah ditengah euforia kemenangannya; "Suriah saat ini untuk orang Suriah." Dan semoga itu menjadi kenyataan, bukan sekadar mimpi.

Namun, realita politik tak pernah sesederhana itu. Euforia hari ini bisa saja berubah menjadi kekecewaan jika transisi kekuasaan tidak berjalan mulus. Kelompok Revolusi -yg bagi sebagian pemberitaan disebut kelompok pemberontak- seperti HTS, meskipun berhasil menggerakkan perlawanan hingga menggulingkan Assad, bukan tanpa kontroversi. Ideologi mereka yang -dianggap- radikal bagi sebagian kalangan bisa menjadi bom waktu bagi stabilitas masa depan Suriah.

Di sisi lain, komunitas internasional memandang momen ini dengan campuran harapan dan kekhawatiran. Rusia, yang selama ini menjadi pendukung setia Assad, kini terlihat berperan sebagai tempat perlindungan terakhir baginya. Langkah ini mengindikasikan kepentingan geopolitik yang lebih besar dari sekadar mendukung rezim tertentu. Apakah Rusia akan terus mencampuri urusan internal Suriah, atau justru mengambil langkah mundur setelah melihat kekalahan Assad?

Sementara itu, rakyat Suriah di pengasingan menggantungkan asa pada narasi baru yang ditawarkan oleh PM al-Jalali. Dia berbicara tentang pemilu bebas dan hubungan damai dengan tetangga, tetapi apakah itu sekadar janji manis, atau sebuah niat tulus? Keberanian al-Jalali yang tetap bertahan di Damaskus saat Assad melarikan diri tentu mencuri simpati banyak orang. Namun, jalan menuju pemilu yang benar-benar bebas akan penuh tantangan, mengingat sisa-sisa pendukung rezim lama dan dinamika kekuasaan yang kompleks.

Yang paling menyentuh dari semua ini adalah kisah para tahanan yang dibebaskan dari penjara Saydnaya. Mereka adalah simbol dari rasa sakit, kehilangan, dan perjuangan rakyat Suriah selama bertahun-tahun. Video anak kecil yang akhirnya bisa keluar dari jeruji besi bersama ibunya adalah potret nyata dari betapa brutalnya konflik ini. Mereka, yang selama ini dibungkam oleh kekuasaan, kini kembali ke tengah masyarakat sebagai pengingat bahwa keadilan tak boleh ditunda lagi.

Di tengah euforia dan harapan, ada satu pesan yang mengemuka: Suriah bukan milik satu rezim, satu kelompok, atau satu ideologi. Suriah adalah milik seluruh rakyatnya. Kini saatnya mereka bersatu, melampaui perbedaan, untuk membangun kembali negeri yang selama ini mereka impikan.

Namun, seperti yang sering terjadi dalam sejarah, revolusi hanyalah awal. Perjuangan sejati adalah memastikan bahwa pengorbanan yang sudah diberikan tidak sia-sia. Suriah membutuhkan pemimpin-pemimpin yang tidak hanya mampu merebut kekuasaan, tetapi juga membangun kembali kepercayaan, perdamaian, dan martabat rakyatnya. Jika mereka berhasil, maka sejarah akan mencatat ini sebagai titik balik besar, bukan hanya bagi Suriah, tetapi juga bagi seluruh dunia yang menyaksikan.

Kisah Suriah ini adalah pengingat bahwa harapan selalu ada, meski dalam kegelapan paling pekat. Seperti kembang api yang menyala di Alun-alun Umayyah, cahaya harapan itu kini menyebar, mengingatkan bahwa masa depan ada di tangan mereka yang berani bermimpi dan bertindak.

Tapi tentu saja, mimpi tanpa langkah nyata hanya akan menjadi utopia. Tantangan terbesar bagi Suriah saat ini bukan hanya soal membangun kembali fisik negara yang telah hancur akibat perang, tetapi juga menyembuhkan luka sosial yang dalam. Perpecahan antar kelompok, trauma panjang yang dialami rakyat, dan ketidakpercayaan terhadap siapa pun yang mengklaim sebagai pemimpin, semuanya adalah bom waktu yang harus segera dijinakkan.

Rakyat Suriah kini berada di persimpangan sejarah. Mereka bisa memilih untuk terus terpecah oleh dendam masa lalu, atau bersatu untuk merajut masa depan. Pelajaran dari negara-negara lain menunjukkan bahwa transisi pasca-konflik selalu membutuhkan tiga hal utama: rekonsiliasi, keadilan, dan rekonstruksi. Ketiganya tidak bisa dipisahkan, apalagi diabaikan.

Rakyat Suriah
Rakyat Suriah

Rekonsiliasi berarti memulihkan hubungan yang telah rusak di antara rakyat Suriah sendiri. Kelompok pemberontak dan mantan pendukung rezim Assad harus membuka ruang dialog. Ini tidak mudah, karena luka akibat perang terlalu dalam. Namun, tanpa rekonsiliasi, konflik akan terus berulang. 

Di sisi lain, keadilan adalah kunci untuk mengakhiri siklus impunitas yang selama ini menjadi penyakit kronis di Suriah. Mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan perang dan pelanggaran HAM, dari kedua belah pihak, harus menghadapi hukum. Hanya dengan cara ini, rasa percaya masyarakat terhadap sistem baru dapat dibangun.

Kemudian, ada rekonstruksi, bukan hanya soal membangun kembali infrastruktur yang hancur, tetapi juga membangun kembali institusi yang mampu melayani rakyat secara adil dan transparan. Dunia internasional, yang selama ini hanya menjadi saksi dari kehancuran Suriah, memiliki tanggung jawab moral untuk membantu. Bukan dengan agenda politik terselubung, melainkan dengan niat tulus untuk mendukung rakyat Suriah.

Namun, tantangan terbesar justru datang dari dalam. Mampukah rakyat Suriah mengesampingkan perbedaan demi masa depan bersama? Seperti yang diungkapkan mereka sendiri, "Suriah untuk orang Suriah." Ini bukan hanya slogan, tetapi juga panggilan untuk bertindak. Suriah membutuhkan lebih dari sekadar perayaan. Ia membutuhkan komitmen untuk menciptakan pemerintahan yang inklusif, yang mendengarkan semua suara, tanpa kecuali.

Tantangan Eksternal Pasca Revolusi

Tentara Revolusi Suriah
Tentara Revolusi Suriah

Di tengah euforia kejatuhan rezim Bashar al-Assad, ada satu ancaman nyata yang harus diantisipasi: kemungkinan Israel memanfaatkan momen ini untuk memperkuat cengkeramannya di Dataran Tinggi Golan. Dan hari ini beberapa media Internasional telah memberitakan tentang gerakan tambahan yang mulai dilakukan Israel, dan saat tulisan ini di tulis, Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu dilaporkan telah mengerahkan pasukan pertahanan (IDF) dan sejumlah tank untuk mengambil alih kendali zona penyangga demiliterisasi di Dataran Tinggi Golan, Suriah. Kawasan strategis yang diduduki Israel sejak Perang Enam Hari 1967 ini menjadi sumber ketegangan utama dalam hubungan Suriah-Israel, meskipun stabilitas relatif selama pemerintahan Assad telah menjaga status quo.

Namun, dengan jatuhnya Assad, ada kemungkinan Israel akan menganggap runtuhnya kesepakatan damai de facto antara kedua negara sebagai alasan untuk mengalokasikan Golan secara sepihak. Bagi Israel, situasi ini bisa menjadi peluang emas untuk mengonsolidasikan kontrolnya atas wilayah tersebut, dengan dalih melindungi keamanannya di tengah ketidakpastian transisi kekuasaan di Suriah.

Tindakan semacam itu, jika terjadi, akan menambah kompleksitas situasi di Suriah yang sudah penuh tantangan. Rakyat Suriah yang tengah berjuang membangun kembali negara mereka tentu tidak ingin konflik baru muncul di perbatasan. Tetapi, sejarah menunjukkan bahwa konflik perbatasan sering kali menjadi alat untuk memperburuk instabilitas di negara yang sedang lemah. Bagi Israel, Dataran Tinggi Golan tidak hanya bernilai strategis, tetapi juga ekonomis, terutama dengan keberadaan sumber daya air dan potensi energi yang besar di kawasan tersebut.

Jika Israel benar-benar memanfaatkan situasi ini untuk memperkuat klaimnya atas Golan, respons dari komunitas internasional akan menjadi kunci. Dunia tidak boleh diam melihat upaya eksploitasi terhadap negara yang baru saja keluar dari cengkeraman rezim otoriter. Alih-alih memperburuk situasi, langkah yang lebih bijak adalah mendorong dialog baru antara Suriah pasca-Assad dan Israel untuk menyelesaikan sengketa ini secara damai, dengan mengedepankan hak-hak rakyat Suriah yang tinggal di kawasan tersebut.

Namun, apakah dialog ini memungkinkan? Dengan kompleksitas konflik Suriah dan potensi masuknya banyak kepentingan asing, sulit membayangkan jalan keluar yang cepat. Israel mungkin merasa posisinya semakin kuat, terutama dengan dukungan dari negara-negara Barat. Tetapi jika komunitas internasional membiarkan ini terjadi tanpa perlawanan, pesan yang disampaikan jelas: kedaulatan negara yang sedang berjuang bisa diabaikan demi keuntungan geopolitik.

Pada akhirnya, rakyat Suriah harus tetap waspada. Kemenangan melawan rezim Assad adalah langkah besar, tetapi perjuangan untuk mempertahankan tanah air mereka dari upaya penguasaan asing, baik oleh Israel maupun aktor lainnya, masih jauh dari selesai. Suriah yang baru harus membangun kekuatan diplomasi yang kuat, menggalang solidaritas regional, dan memastikan bahwa Dataran Tinggi Golan tetap menjadi bagian dari tanah air mereka. Karena sejatinya, keadilan tidak akan tercapai jika penjajahan dalam bentuk apa pun masih dibiarkan berdiri.

Dan untuk kita yang menyaksikan dari jauh, momen ini adalah pengingat bahwa dunia tidak boleh diam ketika keadilan dilanggar. Tragedi Suriah adalah tragedi kemanusiaan, dan kebangkitannya adalah kemenangan kita bersama. Kini, yang kita bisa lakukan adalah berharap, berdoa, dan, jika memungkinkan, berkontribusi. Karena di balik setiap revolusi, ada peluang untuk menciptakan dunia yang lebih baik.

Kejatuhan Assad bukanlah akhir dari perjuangan Suriah, melainkan awal dari babak baru yang penuh dengan tantangan dan potensi. Dalam perjalanan ini, mereka tidak hanya harus membangun kembali infrastruktur fisik, tetapi juga menjaga integritas teritorial dan martabat bangsa mereka. Jika rakyat Suriah mampu mengatasi semua ini, maka mereka bukan hanya akan menjadi simbol perlawanan terhadap tirani, tetapi juga teladan bagaimana sebuah bangsa dapat bangkit dari reruntuhan dan menatap masa depan dengan penuh harapan.

Bab baru Suriah telah dimulai. Akankah ini menjadi cerita kebangkitan yang membangkitkan inspirasi bagi dunia, atau tragedi yang terus berulang? Hanya waktu dan rakyat Suriah sendiri yang akan menjawabnya.

Billahitaufiqwalhidayah 

Penulis: 

Aryanda Putra
Aryanda Putra

ARYANDA PUTRA

(Sekretaris Umum Badko HMI Sumatera Barat)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun