Pada akhirnya, dengan adanya keselarasan politik antara pusat dan daerah, Bukittinggi memiliki peluang emas untuk mengejar ketertinggalan dan membangun fondasi yang kuat di berbagai sektor.
Namun, tentu saja keselarasan politik ini bukan berarti tanpa tantangan. Di satu sisi, keuntungan dari kesamaan partai pemenang antara pusat dan daerah memang seperti paket "semua ada di dalam kotak"; tapi di sisi lain, hal ini juga bisa menjadi pedang bermata dua. Apa jadinya kalau bukannya mempercepat pembangunan, malah jadi ajang saling lempar tanggung jawab atau "sekadar menunggu instruksi pusat"?
Di sektor pendidikan, misalnya. Jangan sampai kesempatan untuk meningkatkan kualitas pendidikan ini hanya menghasilkan ruang-ruang belajar baru yang kosong, atau program pelatihan guru yang hanya sekadar "hadir-absen" tanpa ada dampak nyata bagi siswa.Â
Sebagai contoh, di beberapa daerah lain, tidak sedikit anggaran pendidikan menguap hanya untuk hal-hal teknis tanpa memperbaiki kualitas pembelajaran itu sendiri. Jadi, perlu diingat bahwa keselarasan ini bukanlah "tiket gratis" menuju kemajuan pendidikan jika tidak disertai dengan program yang betul-betul berdampak.
Begitu juga di bidang kesehatan. Bukan tidak mungkin bahwa alokasi anggaran yang lebih besar malah berakhir pada pembangunan gedung-gedung megah tanpa memastikan layanan kesehatan yang ramah dan efektif bagi masyarakat.Â
Apakah kita akan melihat layanan kesehatan dengan fasilitas canggih yang sayangnya kurang aksesibilitas bagi warga? Atau puskesmas-puskesmas baru yang hanya indah di luar, tetapi kosong di dalam? Sungguh akan sangat disayangkan bila keselarasan politik ini hanya menjadi sarana "bersolek" tanpa memperhatikan kebutuhan riil masyarakat.
Di sektor pariwisata, peluang pengembangan yang lebih besar ini jelas bisa menjadi magnet ekonomi baru untuk Bukittinggi. Namun, mari berharap agar pengelolaan pariwisata tidak sekadar berfokus pada jumlah wisatawan, tetapi juga keberlanjutan lingkungan dan kenyamanan penduduk lokal.Â
Kalau tidak, bukannya mempercantik Bukittinggi, malah akan ada potensi merusak alam dan budaya setempat, sebagaimana terjadi di beberapa daerah lain yang lebih mirip "taman hiburan dadakan" daripada destinasi wisata berbudaya.
Dan soal sarana olahraga—apakah akan benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas, atau hanya jadi fasilitas "pameran" saat kunjungan pejabat tinggi? Misalnya, di daerah lain, kita sering melihat stadion baru yang luar biasa megah, tetapi jarang dipakai oleh warga sekitar. Fasilitas olahraga seharusnya menjadi tempat yang hidup, dimanfaatkan masyarakat setiap hari, bukan sekadar bangunan besar yang "seksi" dalam promosi pemerintah.
Dan soal ekonomi kerakyatan, ini adalah sektor yang benar-benar bisa membawa perubahan besar. Tapi kembali lagi, jangan sampai pembangunan ekonomi kerakyatan hanya jadi slogan kosong yang diulang-ulang.Â
Memang benar, UMKM bisa jadi motor penggerak ekonomi lokal, tapi kalau program pelatihan dan dukungannya tidak berbasis pada kebutuhan nyata masyarakat, ya hasilnya pun akan biasa saja. Jangan sampai Bukittinggi terjebak dalam siklus pembukaan program UMKM yang sukses di kertas, tetapi gagal dalam praktiknya. Program pelatihan tanpa pendampingan yang cukup hanya akan jadi tempat para pelaku usaha kecil berharap, lalu kecewa karena tidak bisa berkembang