Mohon tunggu...
Aryanda Putra
Aryanda Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Jika Kesalahan dan Kebenaran bisa untuk didialogkan, kenapa harus mencari-cari Justifikasi untuk pembenaran sepihak. Association - A Stoic

Ab esse ad posse

Selanjutnya

Tutup

Politik

Antara Dakwah, Politik, dan Otoritas: Membedah Polemik MUI Payakumbuh dan UAS

24 Oktober 2024   14:09 Diperbarui: 24 Oktober 2024   14:24 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Drama pelarangan ceramah Ustad Abdul Somad (UAS) di Payakumbuh membuka diskusi menarik tentang bagaimana agama dan politik berinteraksi dalam ruang publik. MUI setempat mengklaim melarang UAS karena “terindikasi berpolitik praktis,” namun setelah protes publik, mereka buru-buru melunak. Ironisnya, mereka malah membingkai isu dengan dikotomi “ulama lokal vs. ulama luar,” seolah-olah kebaikan dan kebenaran bisa dibatasi oleh wilayah administratif. Dalam konteks teori politik sosiologis, manuver ini menggambarkan bagaimana kekuasaan, identitas, dan kontrol simbolik sering kali beroperasi dalam ranah agama. Saya tertarik untuk membicarakan ini lebih dalam. Jika tulisan sebelumnya lebih pada opini umum. Untuk tulisan ini saya coba mengkomparasikan permasalahan ini dengan beberapa teori sosiologi politik. Tapi masih dalam ruang lingkup opini teoritis.

Pendikotomian Ulama: Eksklusivitas atau Strategi Politik?

Pembatasan "ulama lokal" dan "ulama luar" ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan cerminan politik identitas. Sosiolog Pierre Bourdieu berpendapat bahwa kekuasaan sering dipertahankan melalui 'capital'—baik itu ekonomi, simbolik, maupun sosial. Dalam konteks ini, “ulama lokal” adalah aset simbolik yang dipertahankan sebagai sumber otoritas, sementara “ulama luar” dianggap ancaman karena membawa pengaruh baru yang bisa merusak tatanan kekuasaan lokal. 

Selain itu, Teori Conflict Sociology dari Lewis Coser menyebutkan bahwa konflik dalam masyarakat sering terjadi untuk mempertahankan kelompok dominan. MUI Payakumbuh mungkin merasa perlu melindungi otoritas lokalnya dari pengaruh “orang luar” seperti UAS, karena kehadiran sosok dengan pengaruh besar bisa menggeser dominasi mereka di mata umat. Ini sejalan dengan teori Max Weber tentang otoritas tradisional, di mana lembaga seperti MUI merasa perlu mempertahankan kendali agar tidak kehilangan legitimasi.  

Agama dan Politik: Antara Tugas Moral dan Cawe-cawe Praktis

Dalam teori politik sosiologis, agama sering kali dianggap sebagai salah satu alat legitimasi kekuasaan, seperti yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci dengan konsep hegemoni budaya. Lembaga keagamaan berperan dalam membentuk pandangan masyarakat agar selaras dengan kepentingan politik tertentu. Dengan turut melarang ceramah UAS, MUI secara tidak langsung berperan sebagai penentu arah politik lokal—meski mereka mengklaim netral. Hal ini justru memperkuat kecurigaan bahwa MUI sendiri terlibat dalam politik praktis, yang mereka tuduhkan pada UAS.  

Jürgen Habermas dalam The Structural Transformation of the Public Sphere juga menekankan bahwa lembaga agama harus menjaga diri sebagai ruang diskursus yang sehat, bukan menjadi alat kepentingan politik. Namun, keputusan MUI Payakumbuh justru mengaburkan batas antara dakwah dan kampanye. Alih-alih menjadi penyejuk di tengah kontestasi, MUI malah memperkeruh suasana dengan membatasi hak politik seorang warga negara seperti UAS.  

Hak Politik UAS: Antara Privasi dan Publik

Secara konstitusi, setiap warga negara, termasuk ulama seperti UAS, berhak memilih dan mendukung kandidat politik. Pendekatan pragmatis seperti melarang ulama yang “terindikasi” berpolitik hanya karena khawatir memecah belah umat adalah bentuk overreach—atau melampaui kewenangan—. Di sini, kita bisa melihat betapa tipisnya garis antara menjaga netralitas dan mencampuri hak politik orang lain.  

Tokoh-tokoh seperti John Rawls dalam teori Justice as Fairness juga mengingatkan bahwa dalam demokrasi, semua warga negara, termasuk figur publik dan ulama, punya hak yang sama untuk berpartisipasi. Melarang seseorang hanya berdasarkan asumsi politik praktis bukan saja inkonstitusional, tetapi juga bertentangan dengan prinsip keadilan demokratis.  

Politisasi Agama: Jalan Terjal Menuju Integritas Sosial

Campur tangan MUI Payakumbuh dalam urusan politik praktis mencerminkan gejala klasik politisasi agama. Agama, dalam banyak teori sosiologis, sering kali digunakan sebagai alat mobilisasi massa dan legitimasi kekuasaan. Max Weber dalam  The Sociology of Religion menekankan bahwa otoritas agama kerap dijadikan pijakan moral dalam proses politik, tetapi ia juga mengingatkan bahwa penyalahgunaan otoritas ini bisa merusak tatanan sosial.

Ketika MUI melarang UAS atas dugaan politik praktis, mereka seolah lupa bahwa netralitas agama adalah pilar penting dalam menjaga kohesi umat. Pembatasan terhadap ulama berdasarkan asal dan indikasi politik malah berisiko memicu konflik horizontal di masyarakat. Hal ini bisa dilihat sebagai manifestasi dari in-group vs. out-group conflict yang dipaparkan oleh Emile Durkheim, di mana identitas kelompok (dalam hal ini “ulama lokal” versus “ulama luar”) bisa dijadikan justifikasi untuk menyingkirkan yang dianggap tidak sejalan.  

Di sisi lain, intervensi MUI terhadap hak politik seseorang juga menggambarkan apa yang disebut sosiolog C. Wright Mills sebagai power elite. Lembaga agama yang seharusnya berada di atas kepentingan politik justru bertransformasi menjadi alat kekuasaan untuk menjaga status quo dan mengontrol pilihan masyarakat. Dalam konteks ini, umat bisa jadi sekadar instrumen dalam permainan politik elite, dan agama menjadi komoditas yang mudah dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.

Pluralitas Pilihan Politik dan Kearifan Ulama

MUI Payakumbuh seharusnya mengambil peran sebagai penyeimbang, bukan pembatas. Membatasi ulama untuk terlibat dalam politik adalah bentuk 'reduksi peran publik' yang seharusnya mereka miliki. Seyogianya, ulama yang aktif dalam politik dilihat sebagai bentuk ijtihad, bukan ancaman. Ini selaras dengan teori Robert Putnam tentang social capital—di mana keterlibatan aktif figur publik dalam urusan sosial dan politik justru memperkaya kohesi sosial, bukan memecah belahnya. Namun, keterlibatan tersebut harus berjalan dengan cara-cara yang tetap mengedepankan etika dan menghormati perbedaan.  

Jika kekhawatiran MUI adalah potensi perpecahan, maka tugas mereka bukanlah membatasi ulama tertentu, melainkan menciptakan ruang diskusi yang sehat. Ini selaras dengan gagasan Habermas tentang public sphere, di mana semua pandangan, termasuk pandangan politik dari ulama, dapat dibicarakan dengan terbuka dan kritis. Sebaliknya, melarang satu suara hanya akan memperkuat polarisasi dan membuat umat merasa terkotak-kotakkan.  

Hak Konstitusional dan Dilema Demokrasi

Peran MUI seharusnya dipahami dalam batasan moral dan sosial, bukan legal-formal. Hak politik adalah bagian tak terpisahkan dari demokrasi, dan seperti yang diungkapkan John Rawls, setiap warga negara, termasuk ulama, memiliki hak untuk memilih dan berpartisipasi dalam politik. Pembatasan terhadap UAS bukan hanya bertentangan dengan prinsip keadilan, tetapi juga menempatkan MUI dalam posisi yang ambigu: di satu sisi mereka mengaku menjaga netralitas, di sisi lain mereka secara aktif menilai siapa yang layak tampil di ruang publik.

Lebih jauh, larangan terhadap UAS justru menimbulkan kecurigaan bahwa MUI sendiri memiliki afiliasi politik tertentu. Jika MUI terus bertindak layaknya wasit politik, alih-alih menjaga keseimbangan, mereka malah memperkeruh suasana. Dalam hal ini, masyarakat akan semakin mempertanyakan independensi lembaga agama dan melihatnya sebagai alat kelompok politik tertentu.

Menyatukan Umat: Jalan Tengah yang Mulai Hilang?

Dalam dunia politik modern, peran agama sangat penting dalam menjaga stabilitas dan moralitas masyarakat. Namun, ketika lembaga agama seperti MUI mulai terseret dalam pusaran politik praktis, mereka kehilangan posisi strategis sebagai penjaga moral kolektif. Seperti kata Durkheim, agama berfungsi sebagai perekat sosial (social glue), tetapi jika digunakan untuk memperkuat perbedaan politik, ia malah memicu fragmentasi dan konflik.  

MUI Payakumbuh harus segera kembali kepada fungsinya sebagai penyejuk dan perekat umat. Mereka bisa berperan aktif dalam memberikan panduan moral tanpa harus menghakimi siapa yang boleh atau tidak boleh tampil di ruang publik. Sebuah ruang dialog terbuka, di mana ulama dari berbagai latar belakang dapat menyampaikan pandangan tanpa dihambat oleh sekat politik atau geografis, adalah solusi ideal yang dapat mengurangi ketegangan.

MUI di Persimpangan Jalan

Pada akhirnya, MUI Payakumbuh harus introspeksi. Apakah mereka ingin jadi lembaga pemersatu umat atau justru terjebak dalam permainan politik? Mendikotomikan ulama lokal dan luar hanya memperkuat sekat-sekat identitas yang seharusnya tak ada. Umat tak butuh ulama yang disaring berdasarkan wilayah, melainkan ulama yang memberi pencerahan, terlepas dari latar belakangnya.  

Jika MUI ingin menjaga kredibilitas, mereka harus berhenti cawe-cawe dalam urusan politik praktis. Negara sudah punya Bawaslu dan KPU untuk mengawasi Pilkada. Tugas MUI adalah mempersatukan umat, bukan menjadi wasit politik. Kalau tidak, jangan salahkan umat kalau mereka mulai bingung: Ini lembaga agama atau pengawas pemilu?

Membangun Ruang Publik yang Sehat dan Inklusif

Masalah UAS dan MUI Payakumbuh seharusnya menjadi pelajaran bagi kita semua tentang betapa pentingnya menjaga integritas lembaga agama. Politisasi agama, dikotomi ulama, dan pelarangan hak politik seseorang hanya akan merusak tatanan sosial dan menambah ketegangan. Demokrasi seharusnya memberi ruang bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi, termasuk ulama, tanpa ada rasa takut dikucilkan atau dibatasi.  

Sudah waktunya bagi MUI untuk meletakkan kembali kompas moral mereka pada poros yang benar. Biarkanlah setiap pihak menjalankan peran mereka dengan proporsional: ulama menyampaikan dakwah, pilkada diawasi oleh Bawaslu, dan masyarakat bebas menentukan pilihan. Dengan begitu, kita bisa menjaga kohesi sosial dan menciptakan ruang publik yang sehat dan inklusif bagi semua, tanpa harus terjebak dalam permainan politik jangka pendek.

Billahitaufiqwalhidayah...

Penulis.

ARYANDA PUTRA

(Sekretaris Umum Badko HMI Sumbar)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun