Sebagian besar negara Barat, terutama Amerika Serikat, telah cenderung mendukung Israel dalam konflik tersebut. Alasannya, tentu saja, adalah hubungan historis yang kuat antara AS dan Israel, yang diwarnai oleh persamaan nilai, kepentingan strategis, dan dukungan politik yang kokoh. Namun, pandangan ini telah menimbulkan kontroversi besar-besaran di kalangan masyarakat internasional dan para pengamat politik.
Banyak yang mengkritik sikap negara-negara Barat ini sebagai contoh yang mencolok dari hipokrisi politik dan pemilihan ganda dalam kebijakan luar negeri. Bagaimana mungkin negara-negara yang mengklaim mendorong perdamaian dan keadilan di dunia bisa secara aktif mendukung negara yang terlibat dalam konflik yang telah mengakibatkan begitu banyak penderitaan dan ketidakadilan bagi rakyat Palestina?
Ini mengundang pertanyaan tentang konsistensi moral dan prinsip dalam kebijakan luar negeri negara-negara Barat. Sementara mereka seringkali menyerukan penyelesaian damai dan penghormatan terhadap hak asasi manusia di berbagai belahan dunia, sikap mereka terhadap konflik Israel-Palestina nampaknya menunjukkan bahwa prinsip-prinsip tersebut dapat dengan mudah dikompromikan demi kepentingan politik dan strategis.
Namun, meskipun tekanan politik dan kepentingan strategis mungkin dapat menjelaskan sebagian dari dukungan negara-negara Barat terhadap Israel, tidak dapat dihindari bahwa sikap tersebut juga mencerminkan ketidaktertarikan yang lebih dalam terhadap penderitaan rakyat Palestina. Dalam beberapa kasus, hal ini bahkan dapat dianggap sebagai contoh dari rasisme struktural dalam politik global, di mana nyawa dan keberadaan rakyat Palestina dianggap sebagai kurang bernilai daripada nyawa dan keberadaan orang Israel.
Ironisnya, dalam banyak kasus, negara-negara Barat justru menggunakan retorika tentang kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia sebagai dasar untuk mendukung tindakan Israel yang merugikan hak-hak tersebut. Mereka menggambarkan Israel sebagai satu-satunya demokrasi di Timur Tengah, sementara pada saat yang sama mengabaikan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara itu terhadap rakyat Palestina.
Dengan demikian, sikap negara-negara Barat terhadap konflik Israel-Palestina ataupun konflik Israel - Iran merupakan contoh yang menarik dari bagaimana kepentingan politik dan strategis seringkali mengalahkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan dalam politik global. Meskipun banyak yang menyerukan perubahan dalam sikap ini, tampaknya masih banyak rintangan yang harus diatasi sebelum terjadi perubahan yang signifikan dalam kebijakan luar negeri negara-negara Barat terhadap konflik tersebut.
"Ironi Dukungan Barat: Kebenaran yang Tereduksi
Ketika kita mengamatinya dari sudut pandang geostrategis, sikap Barat terhadap konflik Israel-Iran mengungkapkan ironi yang tak terelakkan. Sementara Barat terus-menerus menegaskan komitmen mereka pada kebenaran dan perdamaian, tindakan mereka justru memperpanjang dan memperdalam konflik yang telah merenggut ribuan nyawa dan menghancurkan harapan akan perdamaian di kawasan tersebut.
Di tengah sorotan reflektor geopolitik global, Barat seringkali mengklaim dirinya sebagai pelindung nilai-nilai moral dan demokrasi. Namun, ketika datang ke Timur Tengah, moralitas itu seringkali terbenam dalam kepentingan-kepentingan politik yang gelap. Dukungan tanpa syarat terhadap Israel, bahkan ketika tindakan mereka bertentangan dengan hukum internasional, telah menempatkan Barat dalam posisi yang memalukan di panggung dunia. Negara-negara Barat tampaknya memiliki magnetik moralitas yang cenderung berpihak pada kepentingan Israel dalam konfliknya di timur tengah. Seperti film lama yang terus diulang, mereka sering mengacu pada 'self-defense' Israel, tanpa pernah bertanya-tanya apakah pembelaan itu melewati batas kemanusiaan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Israel memiliki kepentingan strategis yang kuat bagi negara-negara Barat. Dengan posisinya yang strategis di Timur Tengah, Israel menjadi sekutu yang berharga dalam menjaga stabilitas regional dan melindungi kepentingan Barat di wilayah tersebut. Namun, hal ini tidak seharusnya menjadi alasan untuk membenarkan tindakan agresif Israel atau mengabaikan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh rezim tersebut.
"Kepentingan Ekonomi: Pertaruhan di Atas Darah dan Penderitaan