Perilaku konsumen yang demikian dimanfaatkan betul oleh penyedia jasa pendidikan. Penyedia jasa pendidikan yang mendapatkan permintaan tinggi namun tidak dapat meningkatkan penawaran tentu akan menaikkan harga. Pemerintah yang mengikuti ideologi Karl Marx tidak setuju mengenai menaikkan harga. Akhirnya, terjadilah peristiwa siswa titipan dan pungutan liar (pungli). Hal ini juga menimbulkan ironi selanjutnya ketika pendidikan karakter yang diajarkan oleh penyelenggara pendidikan adalah seperti ini.
Apabila pemerintah tidak mengatur pasar pendidikan, harga pasti akan muncul dengan sendirinya. Seperti halnya beberapa perguruan tinggi negeri yang menaikkan uang pangkal minimum untuk masuk jalur mandiri. Bahkan untuk jurusan favorit, tidak perlu ditetapkan harga minimum, sistem lelang yang terjadi untuk mendapatkan titik equilibrium harga. Yang hanya berani menawar dibawah seratus juta rupiah, akan gugur. Peristiwa ini legal.
Perguruan tinggi negeri juga tidak bisa disalahkan menerapkan sistem ini. Secara aturan, mereka dibebaskan mengelola jalur masuk mandiri. Pemerintah juga tersendat-sendat dalam membiayai pembangunan pendidikan di Indonesia. Akhirnya, dana tersebut digunakan untuk menunjang operasional pendidikan dan pembangunan gedung yang nilainya ratusan miliar rupiah.
Lagipula, jika pengguna jasa pendidikan sudah berperilaku layaknya konsumen pasar, salahkah penyelenggara pendidikan berperilaku layaknya sebuah perusahaan?
Seperti yang sudah dipaparkan, masyarakat menempatkan pendidikan dalam tiga fungsi. Yaitu ego-defensive, value expressive, dan knowledge function. Ketiga fungsi ini seolah menggambarkan perilaku masyarakat yang menempatkan diri sebagai konsumen dalam pasar pendidikan. Apabila masyarakat memandang pendidikan dalam tiga fungsi tersebut, maka pendidikan bukan lagi kepentingan sosial yang perlu diatur pasarnya seperti ideologi Karl Marx.
Terlepas dari itu, terdapat satu lagi fungsi yang dikemukakan Daniel Katz. Fungsi tersebut dapat dibenarkan dalam kepentingan pendidikan. Fungsi tersebut pantas memperjuangkan pendidikan sebagai kepentingan sosial yang pasarnya perlu diatur. Menjalankan fungsi tersebut berarti orang telah menempatkan hakikat pendidikan seperti yang semestinya.
Fungsi tersebut adalah fungsi utilitarian, sepadan dengan Karl Marx yang merupakan seorang utilitarian. Orang yang menjalankan fungsi tersebut kurang peduli dengan prospek kerja, profil alumni, prestise, atau opini eksternal. Yang sering kali menjadi pertanyaan orang pada fungsi ini adalah apa yang akan ia pelajari di sekolah lanjutan yang ingin ia geluti. Yang ia pedulikan adalah ultimate goals-nya yang mungkin dicapai melalui pendidikan lanjutan tersebut.
Mereka yang menjalankan fungsi utilitarian memahami hakikat pendidikan untuk menuntut ilmu. Ijazah beserta angkanya bukan tujuan utama. Menjiwai ilmu dan penerapannya yang utama. Dengan demikian, hatinya pantas sakit ketika menimba ilmu dihalangi biaya dan ketidakadilan harga.
Namun, sebelum komersialisasi pendidikan dicela habis-habisan, terlebih dahulu tengoklah perilaku konsumen yang akan diperjuangkan kepentingannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H