ditulis 14 Juli 2017
Sekitar tiga abad lalu, Adam Smith mengungkapkan teori Invisible Hand. Melalui pandangan tersebut, orang memahami pasar sebagai entitas yang tak perlu diatur. Harga akan muncul dengan sendirinya, tangan tak terlihat mengaturnya. Seabad kemudian, Karl Marx muncul dan mengungkapkan hal lain: Pengaturan pasar diperlukan untuk kepentingan sosial.
Akhir-akhir ini, dunia pendidikan di Indonesia dipenuhi ironi. Banyak pelajar mulai mengkritisi sistem pendidkan di Indonesia yang buruk. Menurut mereka, sekolah bukanlah jalan menuju kesuksesan. Opini inipun diperkuat oleh kalangan orang ternama yang gagal pada masa sekolah namun telah membuktikan kesuksesannya. Ironisnya, mengapa jumlah pendaftar sekolah dan perguruan tinggi malah bertambah?
Ironi lain juga ditunjukkan oleh beberapa sekolah dan perguruan tinggi yang menolak ratusan bahkan ribuan calon pelajar karena daya tampung sudah penuh. Namun, di sisi lain beberapa sekolah malah memiliki jumlah pendaftar yang hanya satu digit karena kurang diminati.
Soal mengapa mereka berperilaku seperti ini, dijelaskan oleh Daniel Katz melalui teori fungsionalnya pada perilaku konsumen. Salah satunya adalah alasan ego-defensive. Pada alasan ini, fungsi mengenyam pendidikan bagi pelajar didasarkan oleh desakan lingkungan dan perasaan internalnya. Jika mereka tidak bersekolah, lingkungan akan mengecamnya, memicingkan mata ketika melihatnya. Tidak bersekolah akan menimbulkan gejolak dalam dirinya.
Sebagai contoh, seseorang yang duduk di bangku SMA favorit di kotanya, banyak yang tertekan untuk mendapatkan tempat kuliah favorit. Hal ini disebabkan senior dan teman seangkatannya mayoritas mendapatkan tempat kuliah favorit pula. Perasaan terintimidasi tidak dapat dihindarkan ketika gagal mendapatkan apa yang didapatkan lingkungan sekitarnya.
Perasaan terintimidasi juga muncul ketika seseorang ingin memutuskan pendidikan SMA karena menurutnya yang dipelajari tidak akan digunakan di masa depan. Untuk melindungi diri dari tragedi tersebut, orangpun tetap menggunakan jasa pendidikan meskipun dengan membayar harga lebih disertai dengan mencemooh sistem pelayanannya.
Selain alasan ego-defensive juga terdapat alasan value-expressive. Pada poin ini, fungsi mengenyam pendidikan dititikberatkan untuk meningkatkan nilai-nilai dan identitas sosial seseorang. Ini merupakan salah satu alasan mengapa terjadi kesenjangan jumlah pendaftar pada beberapa sekolah. Pasalnya si peringkat terbawah di sekolah favorit, ketika bertemu seseorang yang menanyakan sekolahnya dimana, respon selanjutnya akan sama: "Wah, pasti pintar ya!"
Sedikit bercerita, terdapat seseorang yang rela kembali mengikuti tes tulis masuk perguruan tinggi. Targetnya adalah jurusan yang sama yang ia dapatkan di tahun sebelumnya. Hanya perguruan tingginya yang berbeda. Ia tidak puas jika tidak mendapatkan perguruan tinggi yang katanya terbaik di Indonesia. Ia mengaku, alasannya ada dua, yaitu prestise dan prospek perguruan tinggi. Dalam kasus ini, berdasarkan teori Daniel Katz, ia memfungsikan pendidikan pada value-expressive dan knowledge.
Knowledge function merupakan fungsi mengenyam pendidikan yang banyak dibenarkan masyarakat. Mereka yang menggunakan pendidikan pada fungsi ini, cenderung mencari informasi terlebih dahulu terhadap sekolah yang akan didaftarinya. Jika lulusan yang sudah-sudah sesuai seperti yang diharapkannya, ia akan mendaftar. Yang menjadi pertanyaan mereka sering kali adalah prospek kerja, data persebaran alumni, dan prestasi sekolah.
Melalui perspektif knowledge function, sekolah dipahami sebagai perusahaan jasa investasi. Biaya pendidikan akan sukarela dikeluarkan karena mereka yakin akan panen ketika tiba saatnya. Sekolah diibaratkan perusahaan yang menawarkan proses lanjutan agar nilai suatu barang bertambah. Telur menjadi mayones, susu menjadi keju, sarjana menjadi master.
Perilaku konsumen yang demikian dimanfaatkan betul oleh penyedia jasa pendidikan. Penyedia jasa pendidikan yang mendapatkan permintaan tinggi namun tidak dapat meningkatkan penawaran tentu akan menaikkan harga. Pemerintah yang mengikuti ideologi Karl Marx tidak setuju mengenai menaikkan harga. Akhirnya, terjadilah peristiwa siswa titipan dan pungutan liar (pungli). Hal ini juga menimbulkan ironi selanjutnya ketika pendidikan karakter yang diajarkan oleh penyelenggara pendidikan adalah seperti ini.
Apabila pemerintah tidak mengatur pasar pendidikan, harga pasti akan muncul dengan sendirinya. Seperti halnya beberapa perguruan tinggi negeri yang menaikkan uang pangkal minimum untuk masuk jalur mandiri. Bahkan untuk jurusan favorit, tidak perlu ditetapkan harga minimum, sistem lelang yang terjadi untuk mendapatkan titik equilibrium harga. Yang hanya berani menawar dibawah seratus juta rupiah, akan gugur. Peristiwa ini legal.
Perguruan tinggi negeri juga tidak bisa disalahkan menerapkan sistem ini. Secara aturan, mereka dibebaskan mengelola jalur masuk mandiri. Pemerintah juga tersendat-sendat dalam membiayai pembangunan pendidikan di Indonesia. Akhirnya, dana tersebut digunakan untuk menunjang operasional pendidikan dan pembangunan gedung yang nilainya ratusan miliar rupiah.
Lagipula, jika pengguna jasa pendidikan sudah berperilaku layaknya konsumen pasar, salahkah penyelenggara pendidikan berperilaku layaknya sebuah perusahaan?
Seperti yang sudah dipaparkan, masyarakat menempatkan pendidikan dalam tiga fungsi. Yaitu ego-defensive, value expressive, dan knowledge function. Ketiga fungsi ini seolah menggambarkan perilaku masyarakat yang menempatkan diri sebagai konsumen dalam pasar pendidikan. Apabila masyarakat memandang pendidikan dalam tiga fungsi tersebut, maka pendidikan bukan lagi kepentingan sosial yang perlu diatur pasarnya seperti ideologi Karl Marx.
Terlepas dari itu, terdapat satu lagi fungsi yang dikemukakan Daniel Katz. Fungsi tersebut dapat dibenarkan dalam kepentingan pendidikan. Fungsi tersebut pantas memperjuangkan pendidikan sebagai kepentingan sosial yang pasarnya perlu diatur. Menjalankan fungsi tersebut berarti orang telah menempatkan hakikat pendidikan seperti yang semestinya.
Fungsi tersebut adalah fungsi utilitarian, sepadan dengan Karl Marx yang merupakan seorang utilitarian. Orang yang menjalankan fungsi tersebut kurang peduli dengan prospek kerja, profil alumni, prestise, atau opini eksternal. Yang sering kali menjadi pertanyaan orang pada fungsi ini adalah apa yang akan ia pelajari di sekolah lanjutan yang ingin ia geluti. Yang ia pedulikan adalah ultimate goals-nya yang mungkin dicapai melalui pendidikan lanjutan tersebut.
Mereka yang menjalankan fungsi utilitarian memahami hakikat pendidikan untuk menuntut ilmu. Ijazah beserta angkanya bukan tujuan utama. Menjiwai ilmu dan penerapannya yang utama. Dengan demikian, hatinya pantas sakit ketika menimba ilmu dihalangi biaya dan ketidakadilan harga.
Namun, sebelum komersialisasi pendidikan dicela habis-habisan, terlebih dahulu tengoklah perilaku konsumen yang akan diperjuangkan kepentingannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H