Mohon tunggu...
Arya Maulana Saputra
Arya Maulana Saputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA

Selanjutnya

Tutup

Book

Review Book Hukum Perkawinan Islam Indonesia

8 Maret 2023   15:25 Diperbarui: 8 Maret 2023   15:27 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

            Dalam melakukan Perkawinan pastinya ada tujuan untuk melaksanakan perkawinan tersebut, didalam buku ini mengambil referensi dari Undang Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tapi tidak dijelaskan secara khusus dalam pasal tersebut namun intinya tujuan pernikahan itu Membentuk keluarga yang bahagia dan kekal , Adapun pendapat lain tujuan pernikahan itu untuk mewujudkan rumah tangga yang Sakinah mawadah dan warahmah serta rumah tanga yang bahagia, saling mengasihi, tentram.

            Dalam Melaksanakan Perkawinan harus memenuhi rukun dan syarat perkawinan kalau tidak memenuhi salah satunya maka tidak sah akan perkawinan itu, Di buku ini menjelaskan apa aja rukun dan syarat perkawinan yang harus terpenuhi, Menurut KHI syarat dan rukun ini merupakan satu kesatuan yang sulit dipisahkan. Dalam pasal 14 KHI menjelaskan ada 5 rukun yaitu 1. Calon suami, 2. Calon istri, 3. Wali Nikah, 4. Dua orang saksi, 5. Ijab dan Kabul. Untuk syarat nya sendiri disini dijelaskan yang pertama Calon mempelai laki laki sekurangnya berumur 19 tahun dan seorang mempelai Wanita sekurangnya berumur 16 tahun dan para calon mempelai yang belum berumur 21 tahun harus meminta ijin dari orang tua atau wali, perkawinan dilakukan dengan atas persetujuan dari kedua mempelai tanpa paksaan manapun. Lalu syarat yang kedua disini bersandar pada Pasal 19 sampai pasal 23 KHI mengatur mengenai wali nikah, Wali nikah harus seorang Laki laki muslim, berakal, dan baligh. Dan Wali Nikah terdiri dari Wali nasab dan Wali Hakim , Wali nasab itu wali yang berkerabat dari garis lurus keatas dari pihak ayah, saudara laki laki sekandung atau saudara seayah. Kalau Wali Hakim baru dapat dilakukan apabila wali nasab sudah tidak ada sama sekali atau tidak bisa menghadiri nya, namun wali nasab juga bisa mempasrahkan kepada wali hakim.

            Mengenai Saksi Nikah dalam pernikahan itu juga rukun dalam pelaksanaan akad nikah yang harus dijalani, Setiap pernikahan harus disaksikan oleh 2 saksi, syarat menjadi saksi Laki laki muslim, Adil, Akil balig, Tidak terganggu ingatan, Tidak tunarungu atau tuli. Saksi harus juga datang dan menyaksikan akad pernikahan tersebut. Lalu untuk akad nikah disini dijelaskan ijab dan Kabul wali dan calon mempelai pria harus jelas , beruntun dan tidak berselang waktu, ijab itu mempunyai arti sebuah pernyataan dari calon mempelai Wanita yang pertanyaan itu diucapkan oleh wali nikah mempelai Wanita dan untuk Kabul itu pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria terhadap pernyataan ijab dari Wanita. Tahapan ketika melaksanakan Akad Nikah Pernyataan dari wali untuk mengkawinkan ( ijab ), Pernyataan penerimaan dari mempelai pria ( Kabul ), Kata nikah atau kawin, Tidak ada jeda waktu antara ijab dan Kabul, Sighat ijab dan Kabul jelas.

Syarat ke 5 Mahar Dalam pasal 30 KHI menegaskan bahwa mahar merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh calon mempelai pria kepada mempelai Wanita berdasarkan kesepakatan kedua pihak. Untuk syarat yang terakhir yaitu syarat perkawinan yang harus terpenuhi, karena dapat menentukan sah atau tidaknya pernikahan tersebut, maka harus memenuhi syarat syarat dan prosedur tertentu apa saja syaratnya : Persetujuan kedua calon mempelai, Adanya izin kedua orang tua , Usia calon mempelai sudah 19 tahun, antara calon keduanya tidak boleh berhubungan darah , tidak berada ikatan perkawinan, tidak berada massa idah.

Dalam Perkawinan ada juga hal hal yang perlu diperhatikan dalam perkawinan agar tidak dapat dilaksanakan karena larangan larangan tertentu oleh karena itu pasal 38 dilarangnya sebuah perkawinan disebabkan oleh : 1. Pertalian Nasab, 2. Pertalian kerabat semenda, 3. Pertalian susuan. Di dalam buku ini juga dijelaskan akan tejadinya Pencegahan Perkawinan apabila melanggar ketentuan syarat syarat dan rukun yang sudah ditentukan maka terjadinya pernikahan yang tidak memenuhinya maka bisa cegah pernikahan nya ,dan syarat syarat yang harus terpenuhi ada dalam pasal 7 hingga pasal 12 seperti salah satu syarat nya Perkawinan dapat ditangguhkan apabila mempelai atau salah satu mempelai ternyata masih dibawah umur berdasarkan undang undang dan itu salah satu syarat yang disebutkan di pasal diatas, Pencegahan ini bertujuan untuk menghindari perkawinan yang ternyata hakikatnya dilarang bagi mempelai dan bertujuan untuk menegakkan rukun dan syarat serta membentuk keluarga yang kekal abadi.

Melakukan sebuah perkawinan pastinya akan melakukan perjanjian antara 2 pihak dari mempelai atau lebih baik secara lisan maupun tertulis, dengan adanya Perjanjian dalam pernikahan diharapkan kedua mempelai saling menaati perjanjian tersebut lalu akan disahkan oleh pegawai pencatatan sipil. Serta dalam KHI yang mengatur akan perjanjian dipernikahan ada di pasal 47 untuk Undang undang perkawinan itu sendiri dimuat di No 1 tahun 1974. Menariknya dibuku ini juga menjelaskan tentang kedudukan perjanjian perkawinan yang dimana perjanjian tersebut menyatkan bahwa kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk taklik talak atau perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum islam dan pembahasan ini merujuk pada KHI Bab VII Pasal 45 hingga Pasal 52.

Pada Bab II penulis menyampaikan 3 point pembahasan mengenai Hak dan kewajiban suami istri, yaitu tentang Tujuan Pembelajaran, Hak dan Kewajiban Suami, Nafkah. Didalam bab Hak dan kewajiban suami istri penulis menjelaskan Tujuan Pembelajaran dibab ini yaitu diharapkan mahasiswa memiliki kecakapan dalam memahami materi hak dan kewajiban suami istri dan memahami nafkah. Dalam pembahasan hak dan kewajiban suami istri ini dijelaskan bahwa antara hak dan kewajiban merupakan hubungan yang tidak dapat dipisahkan dalam sebuah ikatan perkawinan yang harmonis, UU yang mengatur hak dan kewajiban ini terdapat pada Undang undang No 1 Tahun 1974 dalam pasal 30 hingga pasal 34 contoh salah satu pasal tersebut, didalam pasal 30 "Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat". Untuk KHI sendiri dimuat pada pasal 77 hingga 83 contoh salah satu pasal KHI tersebut didalam pasal 79 ayat 2 " Hak dan kedudukan istri adalah seimbang hak dan kedudukan sua,mi dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. ". Dalam perkawinan pastinya kewajiban seorang suami untuk memenuhi Nafkah kepada istri dan anaknya. Penulis menjelaskan Nafkah merupakan sesuatu yang wajib diberikan oleh suami untuk memenuhi kewajiban kepada anak dan istri, Nafkah ini juga dibagi menjadi 2 yaitu Nafkah materiel dan nafkah non materiel, yang termasuk nafkah materiel adalah nafkah yang seperti tempat tinggal, pakaian, biaya rumah tangga, biaya yang dibutuhkan anak dan istri. UU yang berkaitan dengan nafkah ini tercantum pada Undang undang No 1 Tahun 1974 pada pasal 34 ayat (1) yang menjelaskan bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai kemampuannya, pasal kedua ada di Pasal 34 ayat (2) sedangkan KHI dijelaskan pada Pasal 80 ayat (4) dan Pasal 80 ayat (4).

Bab III Penulis menyampaikan 5 sub bab point mengenai Pembahasan putusnya perkawinan, dibuku ini menjelaskan adanya Tujuan pembelajaran, Pengertian dan Dasar Hukum Putusnya Perkawinan, Macam macam Bentuk Perceraian, Tata cara melakukan Perceraian, Akibat Hukum Perceraian. Didalam Bab Putusnya perkawinan ada tentang Tujuan pembelajaran yang dimaksud disini diharapkan pembaca memahami seluruh pembahasan yang ada dibab ini, Putusnya perkawinan itu adalah upaya melepas ikatan perkawinan atau putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri, adanya perceraian itu dipengaruhi dari beberapa faktor atau penyebab dari perceraian itu ada dari Talaq, Kematian salah satu dari pasangan, atau juga bisa disebabkan pergi tanpa kabar dari salah satu dari pihak suami atau istri.

Dari Berbagai persoalan perceraian penulis menulis macam macam bentuk perceraian agar pembaca tau apa saja macam macam nya , Menurut KHI pasal 118 hingga pasal 124 menjelaskan macam macam perceraian 1. Talaq raj'i yaitu talak ke satu atau kedua yang bisa rujuk, 2. Talaq ba'in shugra yaitu talaq yang tidak boleh rujuk namun bisa melakukan pernikahan Kembali dengan suami lamanya selama masih dalam massa idah, 3. Talaq ba'in kubra yaitu talaq yang terjadi untuk ketiga kalinya tidak bisa rujuk maupun dinikahkan Kembali, 4. Talaq sunni yaitu talaq yang dijatuhkan kepada istri yang sedang suci dan tidak dicampuri. 5. Talaq bid'i yaitu talaq yang dilarang yang dijatuhkan kepada istri dalam keadaan haid atau istri yang sedang suci tapi sudah dicampuri, 6. Pasal 123 menjelaskan perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan didepan pegadilan, 7. Khulu' adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan kepada persetujuan suami, 8.Li'an yaitu seoarang suami menuduh seorang istri berbuat zina atau mengingkari anak yang dalam kandungan maupun yang sudah lahir dari sitrinya, sedangkan istri menolak tuduhan itu. Sedangkan menurut UU No 7 Tahun 1989 dibagi menjadi 2 yaitu cerai talaq dan cerai gugat, yang dimaksud cerai talaq disini seorang suami beraga islam mengajukan permohonan ke pengadilan dan meminta untuk mengadakan sidang untuk menyaksikan ikrae talak, cetrai gugat adalah gugatan yang di ajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat keadilan penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman Bersama tanpa izin tergugat.

Tata cara untuk melakukan perceraian berdasarkan UU Peradilan Agama Pasal 65 dan 115 KHI menjelaskan perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak bisa mendamaikan kedua belah pihak, Untuk Cerai talaq dimuat dijelaskan secara terperinci  pada pasal 66 dan 67 Undang Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ,Pasal 131 ayat ( 5 ) KHI , UUPA Pasal 71,84,85. Sedangkan Cerai Gugat perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan ( iwald ) Kepada dan atas persetujuan suaminya , Cerai gugat ini dijelaskan secara terperinci didalam UUPA Pasal 73 hingga 76 lalu Pasal 133 KHI , lalu dijelaskan bahwa gugatan perceraian itu bisa gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan dari pengadilan sesuai dijelaskan pada UUPA Pasal 79, sedangkan apabila gugatan sudah diterima maka tinggal menunggu pelaksanna sidang sesuai dijelaskan pada UUPA Pasal 81 dan 82 .

Apabila Perceraian tersebut di disebabkan Zina dari salah satu pihak suami ataupun istri sesuai dengan Pasal 19 huruf a Peraturan pelaksanaan nomor 9 tahun 1975. Undang undang yang berkaitan dengan perceraian alasan zina tertuang pada pasal 87 dan 88 UU No 7 tahun 1989.  Setiap Perceraian pasti ada dampak atau akibat hukum perceraian karena sesungguhnya perceraian itu tidak dilarang apabila alasan perceraian itu atas ketentuan ketentuang yang telah diatur dalam Undang undang. Akibat dari perceraian dalam hukum itu adanya masalah terhadap hubungan suami istri setelah putusnya hubungan karena perceraian suami atau istri bebas menikah lagi, namun istri harus memperhatikan massa idah ,berdampak juga pada pembagian harta Bersama karena munculnya harta Bersama selama pernikahan, saat terjadi perceraian maka akan terjadi perselisihan antara pihak suami maupun istri ,untuk masalah ini sudah diatur pada KHI Pasal 85 hingga 97.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun