Kedua, belum meratanya sebaran akses televisi bagi banyak pemilih di Indonesia. Mayoritas pemilih yang mempunyai banyak akses untuk menonton acara debat politik capres/cawapres umumnya adalah masyarakat yang tinggal perkotaan. Padahal, mayoritas pemilih dalam pilpres mendatang berada di pedesaan.
Ketiga, masih sedikitnya pemilih yang rasional. Sehingga motivasi dalam memilih capres/cawapres tidak didasarkan pada pertimbangan rasional tetapi pertimbangan tradiosional, seperti agama, kharisma, patron-klien, dan sebagainya.
Keempat, masih lemahnya pendidikan politik. Secara umum, masyarakat belum memberikan penilaian yang positif terhadap debat. Apalagi, debat politik masih dianggap tabu dan tak sesuai dengan nilai-nilai ketimuran.
Kelima, masyarakat sudah yakin dalam menentukan pilihan politiknya sebelum acara debat digelar (LSI, 2009), sehingga performa kandidat capres/cawapres dalam debat politik tak banyak mempengaruhi masyarakat untuk merubah pilihan politiknya.
Akhirnya, tiadanya korelasi antara debat dan elektabilitas politik menunjukkan betapa kita memang belum terbiasa dengan debat. Dan mungkin, karena elite politik kita juga belum siap berdebat di ruang publik. Mungkin nanti, bila pemilih rasional di Indonesia semakin meningkat dan pendidikan politik telah merata, debat adalah pilihan terbaik untuk "menguji" kualitas kandidat capres/cawapres. Sehingga performa kandidat dalam debat akan berpengaruh banyak pada tingkat elektabilitas kandidat. Dan debat politik bisa menjadi alternatif dan instrumen politik untuk mempengaruhi persepsi dan opini pemilih tentang kualitas debat capres/cawapres.
Peneliti Politik dan Media Charta Politika Indonesia
*Tulisan pernah dimuat di harian Jurnal Nasional pada Sabtu, 11 Juli 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H