Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Memulai Cerita Lama di Kaliwadas - 2

3 Oktober 2021   22:09 Diperbarui: 3 Oktober 2021   22:34 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usai berjalan tanpa keseimbangan yang baik sepanjang jalur dari Tuk Suci, pos satu yang dinamakan Pos Wit Growong muncul dihadapan pada ketinggian 1,900 mdpl. Waktu menunjuk pukul sepuluh pagi dan kami merebahkan tas-tas besar dipunggung ke atas panggung mirip altar yang  berhadapan dengan satu pohon yang lebih mirip fossil dengan akar yang membentuk terowongan sehingga  disebut Pos Wit Growong (Pohon berlubang)

Lama perjalanan dari Tuk suci ke Pos Wit Growong lebih banyak ditempuh dengan diselingi istirahat yang cukup memakan waktu, belum lagi mengobati kulit Fai dari serangan tanaman Jingkat yang  berduri.  Jika kami berjalan terus dan jalan tak licin sesungguhnya waktu yang ditempuh cukup setengah jam saja.

 Di dekat pos ini terdapat sumber mata air  yang bernama sumur penganten. Dari namanya kami tak berminat untuk mengambil airnya karena konon dari cerita masyarakat, sumur ini adalah tempat beberapa orang melakukan ziarah atau melakukan persemedian.

Sumur ini berada di sebelah barat  pos Wit growong, berjalan beberapa ratus meter dari sana   bisa ditemui beberapa bangunan rusak dan sumur yang menjorok kedalam melalui tangga besi dengan mulut sumur berbentuk  horizontal lebih menyerupai pintu gua yang ditumbuhi semak-belukar.

Kami berhenti sejenak dan melanjutkan pendakian ke pos dua bernama Pos Istana Jingkat diketinggian 2,126 mdpl yang hanya berselisih dua ratus meter dari pos satu. Jalur yang baru kami lalui dari pos satu relatif landai, namun meliuk panjang dan bervegetasi rapat. Meskipun begitu kami tak mau jumawa dengan tetap mengambil waktu istirahat secukupnya ditengah jalur pendakian.

Pos dua berada ditengah hutan yang cukup lebat dan tepat berada  pada tikungan tajam sebelum menuju jalur terjal menanjak ke  pos tiga yang berbeda ketinggian sejauh  empat ratus meter. Di Pos tiga  konon sumber air terakhir berada dan tempat dimana kami berencana mendirikan tenda.

Empat ratus meter bukanlah ketinggian yang rendah buat kami terutama orang berumur seperti saya, sehingga kami betul-betul memanfaatkan waktu istirahat di pos dua semaksimal mungkin dengan menyantap makan siang yang berupa lapisan tortilla, keju, acar timun, kornet dan saus honey mustard.

Digunung adalah tak penting mengutamakan perut kenyang, jumlah gizi asupan yang cukup lebih bermanfaat untuk menggantikan kalori yang hilang. Untuk urusan membuat sandwich tortilla ini, Fai si bungsu adalah chef yang jempolan. Ramuannya tak kalah dengan ramuan restoran Taco Bell. Kami meyantapnya dengan lahap, Sempurna.

Kami memulai pendakian tepat pukul satu siang dan dengan beratnya perjalanan, waktu yang bisa kami tempuh ke pos tiga ternyata memakan waktu tak cukup empat jam lamanya. Pukul lima sore lebih kami baru dapat menjumpai punggungan gunung yang memiliki tanah sedikit lapang untuk memuat empat tenda. Disanalah Pos tiga berada.

Setiba disana, matahari terbenam sebentar lagi dan puncak gunung slamet di timur mendapatkan sinar matahari sore  berwarna perunggu. Sungguh pemandangan yang luar biasa. Kami memutuskan bermalam ditempat ini, mendirikan tenda dan  merencanakan penambahan perbekalan berupa air karena disini adalah sumber mata air terakhir yang tersedia. Tidak ada sumber air lagi hingga menuju puncak diketinggian 3,428 mdpl.

Satu tenda telah berdiri disana sebelum kami tiba, entah mereka berangkat jam berapa. Mereka tengah bersiap  untuk melipatnya, kemudian berancana turun kembali ke pos dua  karena telah menginap satu malam disana.

"Habis ke puncak mas?" tanya saya pada mereka.

"Nggak, kami putuskan sampai disini saja. Kami akan kembali, gak kuat lagi," jawab mereka lunglai.

Saya tak berniat bertanya alasan mereka kembali karena ini baru setengah perjalanan menuju puncak. Sebelum kami tuntas mendirikan tenda mereka telah pergi turun dan terlihat menyusuri jalan-jalan gelap dengan pelita yang melingkar di kepala.

Saat makan malam tiba, kami memasak dan menghabiskan beberapa liter air untuk mencuci beras serta menanaknya. Air yang tersisa hanya satu botol saja untuk sarapan pagi besoknya. Tak mengapa, kami memang berencana memenuhi semua botol-botol kosong kami di pos ini lalu melanjutkan menuju puncak yang nampak terus merayu dalam silhouet malam itu.

Angin tak menyapa, langit penuh bintang, suhu udara berada pada belasan derajat, lampu-lampu dibawah lembah gemerlap menari-nari berkelap-kelip. Oksigen terasa kembali lebih manis, Vegetasi Hutan berpohon besar telah kami lalui dan didepan sana menuju puncak, pohon-pohon edelweiss  memantulkan sinar bintang malam  seolah menyambut dengan salam liukan bunga-bunganya yang putih dikegelapan.

Kami tertidur dengan lelap sejenak, menanti Fajar menyingsing. Lolongan hewan sesekali terdengar, lelapnya tidur seolah melupakan semua persoalan dibawah sana. Hanya kami, bumi dan Langit yang menyatu dalam kesunyian.

Menjelang tengah malam kami terjaga. Serombongan orang terdengar membanting tubuh-tubuh mereka ketanah. Mereka baru tiba dari pos dua lalu terdengar mendirikan tenda dengan nafas helaan deras karena keletihan yang luar biasa. Seorang dari mereka memerintahkan tiga orang untuk mencari air ke mata air  di lembah sebalah timur seperti yang tertera di peta yang dibagikan pada para pendaki dibasecamp. Tak lama serombongan orang melewati tenda kami dengan suara dentang kosong bejana-bejana air. Kami hanya mendengarkan saja ditengah dekapan kantung tidur hingga dua jam kemudian mendengar berita tak mengenakkan.

"Ini air terakhir kita, dibagi bertujuh ya! Mata air di bawah sana ternyata kering. Cuma satu botol ini yang ada, harus hemat-hemat kalau nggak semua rencana kita bisa batal. Mau minum saja susah apalagi mau sampai puncak," sungut seseorang diantara mereka ketika pencari air telah kembali tiba ditenda. Sebagian dari mereka bersungut-sungut dan saling menyalahkan.

Tak  membawa air yang cukup untuk ke puncak sejak dari basecamp menjadi suatu keputusan  yang mereka sesalkan. Tak lama kelelahan meredakan keributan mereka, hanya suara dengkur letih yang memenuhi malam. Nampaknya tak ada ritual makan malam diantara mereka.

Saya melirik botol dibawah kaki yang juga merupakan persediaan air kami. Mendengar keributan di tenda sebelah, air itu jangankan akan bisa membawa kami ke puncak, untuk turun kembali saja kami perlu lebih dari itu. Sambil bergumam saya  bertanya kearah langit-langit tenda:

"Mata air disini kering? Lalu besok kita bagaimana? Kita bisa gagal ke puncak kalo gini!" bisik saya seraya  melirik Rafi dan Fai yang juga tengah mendengarnya. Saya tak menemukan jawaban apapun dari mereka, sunyi.

Hari esok adalah misteri, terserah bagaimana nanti.

 --

Malam usai. Dingin tak begitu menyiksa karena angin pergi entah kemana. Namun gunung tetaplah gunung, suhu tak pernah beranjak dari derajat belasan.Semestinya kami  menjarang air untuk menyeduh minuman hangat, namun rencana itu urung mengingat hanya memiliki tiga perempat botol air dan itu adalah air terakhir yang dimiliki.

"Kita masih punya roti keju untuk pagi ini, nggak perlu memasak, tinggal makan!" saya membuka percakapan didalam tenda.

"Roti atau apapun sarapannya kita tetap membutuhkan air untuk minum setelahnya," sahut Rafi

"Kamu dengar dari orang ditenda sebelah. Mata Air kering!" sahut saya. Rafi mengangguk sambil melungsurkan kantung tidur kebagian kakinya.

"Jadi gak mungkin perjalanan kali ini kita bisa menuju puncak?" Fai menyembulkan kepalanya dari balik kantung tidurnya, wajahnya nampak kecewa. Mahasiswa Undip ini sejak dari Jakarta adalah yang paling berkeras untuk menggapai puncak gunung Slamet.

"Mari kita berhitung. Jika kita berjalan dari sini, masih ada Sembilan ratus meter lebih elevasi vertikal tanah yang harus kita taklukkan untuk sampai dipuncak. Perlu lima atau enam jam lagi jika kita berjalan  tanpa istirahat dan itu semua memerlukan air, air minum," pancing saya. Keduanya terdiam.

"Kalau begitu kita harus menemukan air," seru Rafi

"Ya, kita harus menemukan air. Fai gak mau kita mundur disini," tukas Fai

"Ok, kalau begitu pagi ini kita coba mencari air. Kalau nggak dapat, kita turun kembali ke Kaliwadas," tutup saya mencoba menjaga asa meskipun menyadari semua itu hanya akan sia-sia belaka.

Tenda kami tinggalkan bersama peralatan yang kami bawa. Semua bejana kosong kami masukkan dalam satu carrier untuk memudahkan. Lalu mengikuti arah sumber air di peta. Peta adalah peta. Ia hanya menunjukkan letak mata air sejauh tiga ratus lima puluh meter dari pertigaan dan kami telah tiba dipersimpangan itu.

Karena jalan ini berada pada punggung pegunungan maka peta itu tak pernah bercerita bahwa tiga ratus lima puluh meter itu harus menempuh kemiringan dinding sebesar lebih dari lima puluh derajat.

Artinya sebuah jurang menuju lembah yang berkemiringan lima puluh  derajat harus kami tempuh untuk mendapatkan air. Dari sanalah jarak tiga ratus lima puluh meter itu dihitung. Ada jalan yang dirintis menuju kesana namun semua begantung pada akar-akar pohon yang menjadi tumpuan kaki dan tangan.

Kami saling pandang. Jalan menuju lembah ada dihadapan, begitu menantang. Dua orang tiba-tiba muncul dari rerimbunan semak yang menutupi jalan menuju jurang mata air. Lidah mereka menjulur-julur bagai seekor hewan yang kehausan lalu menjumpai kami dihadapan.

"Prank...kita diprank om. Gak ada air dibawah sana. Ganti aja tulisan petunjuk dipapan itu. Dari Mata Air jadi Air mata," lelaki berusia dua puluhan menunjuk plang penunjuk jalan dibelakang kami. Mereka nampak kelelahan setelah kembali dari mata air yang berada nun jauh dibawah jurang sana.

"Amsyong...amsyong!" ujar mereka berdua. Meski begitu pendaki tetaplah pendaki, kegagalan tak menjadikan mereka bersungut serius. Lidah kembali mereka julurkan, menghadapi semua itu kami tetaplah mencoba tertawa.

Waktu menunjukkan pukul Sembilan. Ketinggian tanah yang tertera di altimeter kami 2,515 mdpl. Matahari tepat empat puluh lima derajat menghadap kami. Dihadapan kami, jalan menuju sumber mata air tengah menunggu.

"Kita bergerak saja kebawah, apapun hasilnya nanti tinggal kita putuskan bagaimana setelahnya," usul Fai. Rafipun mengangguk meyakinkan saya.

"Sudah dua rombongan kita ketemu, semuanya bilang mata air tengah kering. Apa itu nggak jadi pertimbangan?" seru saya.

"Kalaupun pendakian kita ini nggak sampai kepuncak kali ini, Fai nggak mau cuma tinggal ditenda saja. Paling nggak kita cari air sampai dapat dan kita sudah membuktikan bahwa air memang tidak ada dibawah sana"

Saya setuju, perlahan kami menuruni lembah berdinding terjal. Sesekali kaki kami tersangkut akar-akar yang justru menolong  dari kejatuhan lebih jauh. Merayapi dinding yang hampir menempel di dada kami. Saya memang tak ingin menghentikannnya, apalagi mencoba menyerah Karena menurut perhitungan saya. Perjalanan ke bawah masih dalam batas aman menurut perhitungan saya. Kalaupun kami terjatuh, pepohonan perdu akan menyelamatkan kita untuk terjerumus lebih jauh. Kami datang kesana memang untuk belajar, pada alam.

Kembali kami berjumpa tiga orang rombongan yang merayap naik. Ketiganya membawa bladder dan tas daypack penampung air. Ketiganya menyarankan kami kembali keatas karena mereka tak menemukan air sedikitpun dibawah sana. Kami berterima kasih pada mereka sambil membiarkan mereka melewati kami untuk merayap keatas.

Di dinding pertengahan yang sedikit memiliki teras yang datar kami berhenti, memandang matahari yang makin meninggi di sebelah timur. Lembah kering kerontang nampak terhampar dihadapan dan rombongan ketiga yang menyatakan dibawah tak ada air telah hilang dari pandangan.

"Lanjut?' tanya saya setelah mengunyah separuh batang wafer coklat Kit-kat sebagai sumber kalori kami. Menurut perhitungan kemasan, saya mendapatkan tambahan 180 Kilo kalori untuk menuruni lembah.

Rafi dan Fai perlahan tetap meluncur turun. Saya menggelangkan kepala, Tak ada kata menyerah untuk mereka dan itulah yang ingin saya lihat dari anak-anak muda dimana DNA saya berada pada tubuh mereka.

"Di gunung, Jangan dengarkan berita dari orang yang sedang kelelahan. Itu kan kata ayah!" cetus Fai tanpa menghadap keatas pada saya yang masih duduk diteras batu.

Angin menolong kami dari terik matahari. Kami bisa melihat pohon-pohon besar yang bertumbangan akibat kebakaran hutan dua tahun lalu. Lembah kering memperlihatkan alran sungai. Dari kejauhan, kami tak melihat sedikitpun titik berkilau menandakan adanya air.

"Memang Amsyong!" gumam saya.

Saya mulai berkesimpulan, kali ini kami harus menyerah dan kembali ke basecamp. Karena hari masih terang benderang, menuruni lembah terjal akan menjadi hiburan terakhir  sebelum kembali ke tenda dan melipatnya   untuk bilang 'Sayonara' pada puncak Slamet.

Dua anak saya tetap keras kepala meskipun  dengan keraguan. Saya hanya mengikuti tanpa mencoba menghentikan. Sedikit demi sedikit kami tetap turun dan mencapai dataran lembah kering.

Sungai dan bebatuan berkelok membentuk lorong-lorong. Sampai kami menjejakkan kaki disana, memang air tak ada sedikitpun dijumpai.

"Memang air gak ada, ayah!" mereka berdua menggeleng lemah. Saya menghela nafas lalu merenung sejenak.

"Kalian pernah dengar  bagaimana siti hajar berdiri ditengah gurun mencari air?" orang tua macam saya memang suka mengada-ngada, kadang lebay. Tapi begitulah cara saya mendidik anak-anak, mengambil metafora, menukil sejarah, sesekali menyitir kitab suci, pada situasi yang mirip dari yang dihadapi .

Meski mental kami tengah lemah saya mencoba menggugah dua anak saya, dua anak muda yang memang meminta saya membimbingnya menghadapi keganasan gunung untuk batas-batas yang didapat berdasarkan pengalaman setua saya.

Kami bertiga merebahkan tubuh ketanah, ke dasar sungai yang tengah kehilangan mata air. Kering kerontang. Mata kami terpejam, membiarkan diri mendengar bisikan angin, gesekan pepohonan dan nyanyian hewan-hewan kecil yang tetap hidup ditengah lembah dimana lahar letusan pernah meluluh lantakkan keidupan disana.

"Allahumma inni, lima anzalta, ilayya min khairin fakir!" doa nabi Musa ketika menanti air di Madyan, terngiang ditelinga. Dan saya melafazkannya dengan lembut. Inilah doa saya disetiap menghadapi kesulitan yang paling paripurna.

Sementara kami membiarkan tubuh-tubuh kami bersandar pada batu-batu sungai kering, dinding punggung gunung  nampak menjulang tinggi, tempat dimana tenda kami berada dan kami masih harus berjuang memanjatnya... untuk kembali.

"Ya Tuhanku, sungguh aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang engkau turunkan kepadaku!" saya mengartikan doa itu meskipun air dilembah itu adalah suatu kemuskilan dan kami bukanlah nabi, pemilik segala kemukzizatan dunia.

Kami memang nampaknya harus kembali dan cukup berdoa saja sebelum melupakan kesempatan untuk mendekat ke langit di Puncak Gunung Slamet.

--

"Sebentar lagi matahari semakin tinggi, kita harus terus bergerak mencari air. Kami berdua akan keatas, mendekati  tebing dimana sungai berasal. Ayah cari kebawah kehilir sungai!" usul Rafi mengusik rebah diamnya didasar sungai kering.

"Kalian yakin masih ada air disekitar sini? Sudah tiga rombongan kembali naik keatas," saya hanya mencoba mengajak mereka berdamai pada kenyataan.

"Yang penting bergerak. kalau keatas biar kami berdua saja yang naik mencari," tegas Rafi.

"Ok, kalau begitu ayah bergerak kebawah, menyusuri aliran sungai. Kalian bergerak keatas menuju hulu sungai. Hati-hati sungai ini cukup curam! Apa kode kalau terjadi sesuatu, atau salah satu dari kita butuh pertolongan?" tanya saya. Kami bertiga sejenak berpikir untuk menemukan kata yang tepat untuk  saling berkomunikasi dari kejauhan jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan.

"Moji....teriak Moji!" usul Fai. Moji adalah nama panggilan Mojito kucing jantan dirumah kami. Ia jarang berbunyi, namun jika membutuhkan sesuatu baru ia akan mengeluarkan suaranya. Entah bagaimana usul itu muncul dari kepala Fai.

"Ok,  setengah jam lagi kita kumpul disini. Kalau ada sesuatu, teriak Moji" sahut Rafi.

Sebelum bergerak, saya membiarkan keduanya berangkat terlebih dahulu hingga hilang dari pandangan di bebatuan dasar sungai yang membentuk sudut Sembilan puluh derajat.

Dihadapan, Sungai kecil meliuk menuju lembah yang lebih rendah. Seluruh badan sungai tetap tak berisi air. Saya menyusurinya pelan setapak demi setapak berharap menjumpai mata air. Ranting-ranting patah berguguran di dasar sungai, bongkahan batu-batu besar menyembul disana-sini, matahari makin meninggi, angin lembut berdesir.

Lima belas menit saya mencari terus hingga kebawah sampai menemukan kontur sungai yang curam tak mungkin lagi saya tempuh. Langkah dihentikan, ditepi jeram sungai kering itu saya terduduk diam namun tak mengosongkan pikiran. Sunyi, haus dan hening amat terasa.

Muncul pertanyaan mengapa saya sampai disini? Ditengah aliran sungai kering seperti ini? Mencari kesulitan? mencari  sesuatu yang bagi sebagian orang tak pantas bagi orang seusia saya?

Begitu banyak pelajaran hidup yang telah dilalui, cobaan kesulitan, cobaan kesenangan, silih berganti  selama ini dan kini saya malah menghampiri  musuh abadi, musuh yang sejatinya adalah sahabat baik manusia...ia Alam semesta.  Anehnya saya datang kesini atas kemauan sendiri, mengajak keturunan saya sendiri, untuk menghadapinya.

Angin dari kaki gunung mencoba lagi menyapa, seolah menghibur saya yang terdiam  mencari makna dalam kekeringan. Sesuai perjanjian, lima belas menit lagi saya harus kembali ketempat kami berpisah, memastikan perjalanan pendakian kami akan diputuskan untuk berlanjut atau tidak.

Di alam raya , tak ada orang lain yang bisa menentukan jalan kecuali diri sendiri. Saya beringsut bergerak kembali keatas, akan mencoba berdamai pada anak-anak, kali ini harus memutuskan untuk kembali ke kaliwadas.

"Aiiiir....Aiiiir....Aiiir!" tiba-tiba gemuruh suara bariton Fai mengisi relung lembah. Bukan kata 'Moji' yang ia teriakkan, itu artinya tak ada bahaya menyapa, entah apa maknanya? Saya khawatir ia terlalu terobsesi pada air sehingga berteriak keseluruh lembah.

Yang saya tahu ada dua hal yang membuat orang berteriak digunung tanpa jelas maknanya yaitu karena ia kelelahan atau  mengalami Hypothermia, keadaan dimana suhu dingin  merampas kalor ditubuh sehingga menghilangkan kesadaran diri. Dalam tahap ini biasanya pendaki akan merasakan tubuhnya kegerahan lalu membuka bajunya dalam dinginnya gunung,  kemudian dinginnya gunung akan merampas nafas dan jiwanya. 

Saya bergegas tiba ditempat kami berpisah sedang mereka berdua belum tiba sesuai waktu yang disepakati. Saya mencoba tak cemas tetapi keheningan justru menyiksa. Saya tak ingin berteriak menghabiskan tenaga dan akhirnya pecah kesabaran selama sepuluh menit menunggu. Saya akan berteriak memanggil keduanya.

Belum lagi memulai untuk teriak memanggil Rafi dan Fai, suara dentang veldples logam yang biasanya digantung dipinggang terdengar berirama. Semakin mendekat dan mendekat. Matahari berada di pukul sebelas, teriknya diredam oleh batang pohon besar yang melintang menjorok ke badan sungai.

Pada tikungan sungai, Rafi dan Fai muncul dengan senyum mengembang. Ditangan mereka empat botol air mineral berukuran satu setengah liter ada di genggaman kedua tangan masing-masing. Mereka mengangkat keempat botol itu  seperti mengangkat piala kejuaraan lalu perlahan  mendekat dan  merebahkan tubuhnya kembali ke dasar sungai. Lelah mereka lepaskan dengan senyuman, usai lelah yang hampir menembus batas kesabaran.

"Ya Allah, baru kali ini hidup terasa cukup hanya untuk sebotol air. Kita dapat air, Ayah. Di ujung tebing sana, diujung dimana orang lain gak akan mau kesana. Rafi hebat, instingnya hebat!" Fai  seolah meracau namun ia nampak begitu dipenuhi suasana kepuasan. Nafasnya tersengal naik turun.

"Siang ini kita akan makan cukup, minum cukup," bisik Rafi dengan nada puas.

"Alhamdulillah," kami bertiga mengucap syukur nyaris bersamaan.

Kami berdamai, dua teguk air yang kami bawa dari atas kemudian dihadiahkan kapada tubuh  masing- masing. Mencoba mengembalikan stamina yang diperlukan untuk merayap pulang keatas menuju tenda yang ditinggalkan.

Perjalanan kembali keatas dilalui lebih mudah. Moral keberhasilan meringankan perjalanan menanjak yang harus ditempuh setengah  jam lamanya. Enam liter air telah ada dalam tas carrier yang kami bawa, dan mungkin kelak piala apapun yang akan diraih oleh Rafi dan Fai dalam hidupnya tak akan pernah bisa mengalahkan piala berbentuk empat botol air mineral itu.

Sesampai di tenda, kami bertiga rebah serabah-rebahnya. Dengan cepat mengganti pakaian yang kotor dan menyalinnya dengan pakaian bersih. Siang itu kami putuskan untuk menunda perjalanan ke puncak dan bermalam satu malam lagi di pos tiga untuk mempersiapkan makan siang dan mengembalikan tenaga di tubuh kami.

"Malam ini kita menginap disini lagi, dan besok pagi buta pukul tiga kita akan summit attack. Menuju puncak dengan beban yang kita tinggal ditenda. Siap?" Rafi dan Fai megangguk  menerima usul itu.

Kesempatan sering datang terlambat namun Asa terus terjaga, tak tertepis kabut yang perlahan merayap turun. Kami masih punya hari yang baik untuk menggapai puncak dan tak harus kembali ke Kaliwadas.

Sore itu kami mampu mensesap kopi panas sambil memandang dan berdendang diantara bunga-bunga edelweiss yang kokoh dan selalu mencoba berdamai dengan keringnya  batu gunung,

Edelweiss, Edelweiss

Every morning you greet me

Small and white

Clean and bright

You look happy to meet me

15-16 Agustus 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun