"Aku tak bermaksud..,"
"Tak mengapa. Aku mengerti. Semua orang bersikap begitu,...bahkan polisi-polisi didalam sana pun kurasa bersikap sama. Ayahku memang bukan orang baik. Berulangkali aku menentangnya tetapi ia berkata hanya itu yang bisa ia lakukan untuk hidupnya. Tak ada kebisaannya yang lain. Aku tak setuju bahkan semenjak ibu tak ada dan aku mulai tahu bahwa apa yang dilakukan ayahku adalah salah,, aku sempat tak mau melanjutkan sekolah," matanya kini berani menatapku. Niken seperti tengah  mencoba meyakinkan bahwa apa yang dilakukan ayahnya bukan pula kemauannya.
"Sudahlah jangan bicara itu lagi!" aku seperti hakim yang tengah melucuti toganya sendiri dan meletakkan palu vonis yang kubawa-bawa sedari tadi.
"Lalu apa rencanamu sekarang?" sambungku. Niken menggeleng. Wajahnya berubah ragu.
"Aku sendiri tak tahu. Bahkan untuk kembali ke rumah saja aku ragu,"
"Mengapa begitu. Dirumah ayahmu tinggal dengan siapa?"
"Ibu tiriku," Niken menatapku. Wajahnya mencerminkan kesendirian. Hidungnya memerah bergerak seperti buah strawberry yang tertiup angin.
"Kamu anak tunggal?" tanyaku. Gadis itu mengangguk.
"Begitu juga ayah dan juga ibuku,"
"Lalu dengan siapa kamu tinggal di Yogya?"
"Sendiri, Indekost. Sekarang sekolahku usai,"