Sahabat akrab saya sejak SMA tiba-tiba menghilang dari dunia maya. Sosial medianya yang biasa berisi ekspresi riuh rendah postingannya, seolah lenyap tanpa saya sadari. Berbilang bulan lamanya saya tak melihat apapun tertulis dalam akunnya.
Tapi begitulah, syahdan tabiat manusia yang mulai terbiasa dengan dunia serba digital. Untuk mengetahui nasib sahabatnya, kita melulu hanya mencoba mencari lewat cara-cara non-fisik, lebih memilih bertanya kesana kemari lewat aplikasi percakapan antara teman yang lain tanpa menyempatkan diri untuk mendatangi ke kediaman yang dicarinya. Alhasil waktu berjalan tanpa bisa saling sapa karena ketiadaan berita.
Sebelum menghilang, Â sahabat saya yang sedang tak beruntung ini kerap menghubungi lewat nomor pribadinya. Ia meminta bantuan untuk sekedar mengisikan saldo pulsanya yang drop dan ia tak mampu men'top-up' karena ketiadaan mata pencaharian yang sedang merundungnya. PHK menghancurkan semangat, juga rumah tangganya.
Saya tak banyak berkelebihan tetapi jika hanya membantu mengisikan pulsa sahabat yang tengah membutuhkannya untuk tetap bisa berhubungan dengan dunia luar maka saya tak pernah menolak untuk sekedar Berbagi.
Seiring hilangnya ia dari sosial media, nomor pribadinyapun tak lagi bisa dihubungi. Celakanya saya merasa terlalu sibuk hingga tak bergegas mencoba mengetahui  apa gerangan yang terjadi. Sampai suatu saat seorang sahabat lain bertemu saya pada kesempatan tak terduga disebuah acara resepsi pernikahan, lalu bercerita:
"Saya bertemu Naryo di ruang tunggu rumah sakit bro, dia hanya bisa menggerakkan separuh badan dan tak mampu bicara selancar biasanya.Mulutnya kaku" begitu berita yang mampir ke telinga saya.
"Kenapa dia?" tanya saya.
"Terkena stroke dan saat itu ia sedang berkunjung ke dokter syaraf, sendirian tanpa ada yang mendampingi,"
"Astaga, Naryo. Â Malang benar nasibmu," Saya bergegas kembali telepon kesana kemari mencari alamat sahabat saya itu yang terkini. Ternyata Ia telah pindah dari rumah yang terakhir dihuninya bersama sang istri. Saya merasa kehilangan jejaknya.
Lalu setelah sekian lama, suatu ketika sebuah pesan masuk lewat aplikasi percakapan. Sebuah nomor baru muncul mengirimkan pesan dalam tulisan tak beraturan dengan karakter vokal dan konsonan yang tak lengkap serta berantakan.
"Yek...," begitulah saya biasa dipanggil oleh sahabat-sahabat dekat saya, termasuk oleh Naryo.
"Tolong isi pulsa di nomor ini. Nomor lama sudah hangus dan  gak bisa pake buat internet, karena nggak punya HP. Ini baru dapat HP dari orang  ngasih waktu ketemu di Rumah sakit--Sunaryo-!"
Pesan itu masuk tanpa membuat saya ragu. Padahal dijaman banyak penipuan  biasanya tak mudah bagi saya untuk percaya seseorang yang tiba-tiba meminta saya Memberi bantuan saldo pulsa dari nomor yang tak dikenal. Saya mencoba menghubungi nomor tersebut tetapi gagal terangkat. Beberapa kali dicoba namun  tak juga berhasil sampai saya berkesimpulan untuk mengirimkannya pulsa ke nomor tersebut tanpa perlu memastikannya. Di lain hari saya mencoba mengirimkan pesan namun direspon dengan centang biru saja. Pesan terkirim, dibaca namun tak ada balasannya.
Seminggu kemudian akun facebook Naryo aktif, ditandai dengan sebuah postingan yang muncul setelah berbulan-bulan tak ada segarispun kata-kata yang hadir di berandanya.
"AKU INGIN SEKALI MAKAN MIE AYAM PALING ENAK DI PASAR MINGGU, MUDAH-MUDAHAN Â ALLAH Â MENGIJINKAN!"
Lalu Ia menyebutkan nama restoran tempat mie ayam itu tersedia dan berikut alamat rumahnya yang terbaru meskipun dengan tulisan yang berantakan. Sepertiya stroke pada tubuhnya telah membatasi kemampuannya untuk sekedar mengetikkan huruf demi huruf. Saya mencoba menyapa lewat komentar tapi tak berbalas dan  langsung menghubungi nomor terakhir tetapi tetap tak berjawab.
Sore itu juga saya yang tengah berdinas di luar kota menghubungi restoran mie ayam yang disebut dalam beranda dan memesan beberapa porsi untuk Naryo dan seluruh keluarga. Notifikasi lima porsi mie ayam  terkirim beberapa saat dengan saya meminta pada penjual mie ayam serta pengirimnya untuk tidak menyebutkan nama saya sebagai  pemesannya. Beruntung teknologi perpesanan dan pengiriman telah demikian canggih sehingga pembayaran pembelian mie ayam berikut cara dan ongkos kirimnya demikian mudah dilaksanakan.
Menjelang tengah malam postingan kedua dari sahabat saya di beranda facebook berisi ucapan syukur. Tak ada foto dan tak ada emoticon apapun kecuali kata-kata terima kasih bahwa ia telah menerima dan menikmati mie ayam yang diimpikan dari seseorang tanpa menyebut nama.
Dari sudut kamar hotel saya tersenyum  membacanya tanpa mau membalas. Sudah suatu kebiasaan ketika saya Menyantuni atau membantu seseorang, meniadakan nama adalah suatu hal yang lebih membahagiakan karena Kebahagiaan itu bukan hanya milik penerima tetapi juga milik Pemberinya tanpa berharap puja-puji . Apalagi untuk seorang sahabat akrab SMA yang telah lama hilang dan dicari.
Larut dalam kesibukan pekerjaan diluar kota membuat saya terpaksa menunda untuk menyambangi alamat sahabat saya. Satu minggu kemudian barulah punya kesempatan menyusun waktu untuk berkunjung ke alamat yang tertulis terakhir dalam beranda facebook sahabat saya itu.
Di hari minggu  yang terik menjelang waktu makan siang saya membuka halaman facebook dan mendapati sebuah pesan dari group yang saya ikuti, yaitu Group alumni SMA.
"Berita duka cita. Telah meninggal dunia sahabat kita SUNARYO subuh pukul 04:00 hari ini. Akan dimakamkan ba'da Djuhur di Pemakaman umum Kampung Kandang,"
Berita mengejutkan itu tiba di waktu mendekati prosesi pemakaman. Keterlambatan berita karena kabar yang diterimapun didapat oleh admin group pada kesempatan terakhir karena terputusnya komunikasi selama ini. Saya terhenyak, dalam hitungan jam di sore hari saya yang berencana ingin menyambanginya mendapati kenyataan lain.
Hanya pemakaman yang menjadi moment terakhir saya bisa menjumpainya dan saya tak ingin kehilangan momentnya. Beruntung say atiba bersamaan dengan ketibaan jenazah di area pemakaman. Saya membantu jenazahnya memasuki liang lahat dalam suasana khidmat tanpa bisa bertanya lagi kebahagiaan apa yang ia inginkan disaat seperti itu.
Ditepi liang lahat yang telah tertutup saya terpekur berdoa, mengingat wajahnya yang dulu sama-sama melewati masa-masa SMA susah maupun senang. Â Kebahagiaan terakhir yang saya bisa berikan adalah berbagi lima porsi mie ayam, dan saya bersyukur tak menunda berbagi kebahagiaan meski sekecil apapun bentuknya.
Kebahagiaan tercipta saat apa yang diinginkan oleh seseorang telah terpenuhi. Semakin cepat keinginan terpenuhi maka semakin dekat kebahagiaan itu terwujud. Beruntung kini kita hidup dimasa dimana memenuhi keinginan seseorang telah bisa lebih cepat terwujud lewat orang-orang yang mempersembahkan jasa penyampaiannya  dalam hitungan jam saja. Maka jangan pernah menunda untuk membahagiakan orang lain.Â
Lakukan hari ini!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H