Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Lelaki Pemikat Punai (7)

29 Desember 2020   04:43 Diperbarui: 29 Desember 2020   04:52 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Chapter-2- GAMANG

“Mas Fatur dan Ibu ingat ketika Bapak mengajariku bagaimana bertahan hidup di alam bebas seperti halnya yang diajarkan bapak kepada Mas Fatur beberapa tahun sebelumnya?” tanya Ayu membuka ingatanku.

“Ya..itu enam bulan lalu, aku ingat. Bapak mengajariku juga ketika aku seusiamu tiga tahun lalu. Bapak mengajak menyusuri sungai disiang hari, lalu melakukan berbagai hal untuk bertahan hidup mulai dari cara memancing ikan dengan menjebaknya hingga cara membuat api dari dahan-dahan kering untuk membakarnya dan bagaimana membuat tenda alam bivak dari dahan-dahan kayu untuk menginap di tepi sungai yang terpencil. Lantas kenapa kamu saat itu, Ayu? Apa yang terjadi?” ingatanku melayang beberapa tahun lalu. Bapak memang mengajarkan anak-anaknya sebelum memasuki usia SMA untuk bisa bertahan hidup layaknya orang yang tersesat di hutan.

Meski kami anak desa tetapi ada situasi dimana menurut bapak seseorang tak memiliki apa-apa selain dirinya sendiri menghadapi kehidupan. Dan menurutnya  alam bukan menjadi musuh tetapi dapat menjadi sahabat yang diciptaan Tuhan  sebagai tempat bertahan hidup.

“Nabi Adam yang biasa di Surga pun dulu harus menghadapi hal yang sama ketika diturunkkan ke bumi. Bagaimana Adam mengenal alam satu demi satu berikut nama dan kegunaannya lewat perjalanannya yang tak mudah. Setiap manusia harus mampu bertahan dalam keadaan apapun,” nasehat bapak pada kami yang diajarinya bertahan di tepi hutan dan sungai satu hari satu malam.

Sungai Tuntang mengalir dari hulunya di kawasan Merbabu. Dipercaya Danau Rawa pening menjadi tempat dimana airnya berasal. Ratusan kilometer sungai ini meliuk-liuk hingga pantai utara jawa dan menyentuh desa kami beberapa kilometer menembus hutan-hutan jati dan vegetasi lainnya. Batu-batu besar menghalangi sepanjang laju aliran air sehingga membuat riak yang teramat sangat syahdu jika didengar malam hari.

“Menjelang sore bapak mengajariku memasang penjebak ikan di tepi sungai dan memasang jerat burung Punai dipohon beringin karena menurut bapak burung-burung Punai daun kerap kembali kesarang sarang mereka menyinggahi pohon-pohon beringin di tepi sungai menjelang maghrib,” lanjut Ayu.

“Ya betul   bapak mengajari kita untuk memasang tali berbentuk laso untuk menjerat kaki punai yang tak sadar ketika menginjak dahan-dahan saat mereka singgah disore hari. Saat dulu, aku mendapat tiga ekor Punai. Dua betina dan seekor Punai jantan. Warna di dada yang membedakan mereka. Lantas apa yang terjadi?” sahutku.

“Menjelang gelap bapak mengajakku shalat maghrib setelahnya kami memasuki tenda alam bivak sambil memperhatikan bagamana jerat Punai kami akan berhasil esok pagi. Ketika kami terdiam di dalam bivak kami mendengar beberapa lelaki lewat dengan diawali suara bersin yang cukup kencang. Mereka berhenti sejenak tanpa melihat kami yang bertahan dalam bivak yang tersembunyi. Bapak memberikan tanda telunjuk didepan bibirnya kepadaku agar tak mengeluarkan suara. Para lelaki itu menurut bapak adalah rombongan yang akan berangkat berburu celeng liar dikawasan hutan,”

 “Ya mereka berhenti sejenak dalam gelap yang belum sempurna. Kami tak tahu mereka sedang apa dan mengapa berhenti. Sepertinya menyiapkan lampu lebih banyak,”lanjut Ayu      

“Lantas?”

“Kami mendengar mereka berbincang keras. Lelaki yang membuka percakapan bersuara tenor meminta satu senter untuk dirinya. Aku sudah mulai tak mampu melihat jalan didepan. Berikan aku senter, kita tak perlu menyeberangi sungai disebelah sini. Lima ratus meter lagi kita bisa temukan permukaan sungai yang lebih dangkal dan banyak batu-batu lebih besar untuk bisa kita gunakan menyeberang, seru lelaki bersuara tinggi,”

“Hmm batu-batu itu harta karun kita…heheheehe. Sahut lelaki yang satunya. Suaranya penuh getaran tak senada seperti ada duri yang merobek pita suaranya,” Ayu terus melanjutkan ceritanya. Matanya yang tipis namun bening menelusuri langit-langit kamarku mencoba menggali ingatannya. Sementara Ibu duduk mematung tanpa bersuara duduk disampingku. Pandangannya tak lepas pada Ayu anak putri yang telah kehilangan bapaknya.

“Ya batu-batu itu akan membuat hidup kita lebih baik. Lelaki bersuara tenor kembali meyahut. Aku bertanya pada bapak dengan berbisik siapa mereka tetapi bapak tetap meletakkan telunjuknya di depan bibir tanda meminta padaku untuk tetap diam,”

“Tahun depan Panjenengan harus memimpin desa ini Romo. Jangan biarkan orang lain memimpin, Jika tidak batu-batu itu akan tetap disitu. Kita tidak akan bisa mengolahnya karena lurah yang sekarang mempengaruhi msayarakat untuk tak menyetujui pengolahan batu-batu itu. Padahal berapa banyak uang yang bisa kita hasilkan dan aku bisa meminang gadis desa lain untuk selir…hahahahaha,”

“Selir-selir..dapurmu! seru lelaki yang dipangil Romo. Lurah sekarang banyak aturannya, untung sebentar lagi tua bangka itu akan mati. Penyakit bludreknya gak akan sembuh dalam waktu dekat. Ngomong-ngomong siapa menurutmu didesa sendang witir ini yang bisa menggantikannya?” Ayu menguap ditengah ceritanya.

“Ngantuk, Ayu?” tanya ibu

“Sedikit, bu,”

“Ayo lanjutkan ceritamu!” pintaku

“Tidak ada selain Romo,”

“Ada! Seru seorang lelaki lain yang nampak bersuara dingin,”

“Siapa?”

“Renggo,”

“Renggo mana? Renggo Kelobot?”

“Ya..Renggo kelobot. Mulai banyak warga yang seperti menginginkanya. Ladang jagungnya mulai bertambah luasnya entah uang darimana, Dan yang paling penting, anak lelakinya pandai sekali, sekolah di Semarang, sepertinya namanya akan lebih harum lagi jika anaknya bisa kuliah ke Jogjakarta atau Jakarta dan akan menjadi sarjana pertama dari desa ini. Anak bungsunya yang perempuan juga akan menjadi gadis yang cantik. Keluarga yang ideal menurut orang-orang desa untuk menjadi Lurah,”

“Lantas apa reaksi bapak?” tanyaku memotong cerita Ayu.

“Bapak lantas membekap mulutku untuk tidak benar-benar bersuara. Bapak ingin terus mendengar pecakapan mereka,”

“Bahaya kalau begitu, Romo!”

“Hmm, yaa. Kamu masih ingin kaya, wir?”

“Masih Romo,”

“Kalau begitu, pikirkan cara menghentikannya!”

“Menghentikan? Menghentikan siapa, Romo?”

“Dapurmu….Utekmu macam sumur dangkal! Ya menghentikan Renggo! Kalo tidak, kamu akan terus jadi blandong jati..ngerti?”

“Nggih..nggih Romo, laksanakan!”

“Bapak tidak langsung bersikap, Ayu?” kejarku.

“Tidak, mas. Bapak tetap memelukku, menutup mulutku sampai malam kembali hening,” balas Ayu.

“Kenapa bapak tidak pernah cerita ke aku atau Ibu?” tanyaku pada Ayu.

“Iya, Ayu. Kenapa kamu tidak bercerita pada Ibu?” timpal ibu. Ayu duduk terdiam, bulir air mata mulai merangkak jatuh.

“Bapak yang meminta untuk tak bercerita. Mungkinkah kalau aku tak menuruti kata bapak untuk tak bercerita, Bapak akan tetap bisa hidup bersama kita?” tangis Ayu yang telah berhasil ia tahan beberapa hari  kembali datang.

“Romo?..siapa di desa ini yang dipanggil Romo?” gumamku.

Malam melarut. Lolongan anjing liar melesat melintas langit malam, Kunang-kunang berpendar mampir ke tepi jendela kamarku yang sengaja terbuka. Beberapa hari lagi Ibu memintaku tetap berangkat ke Jakarta sementara cerita Ayu menyisakan teka-teki yang harus kuselesaikan. Dingin malam, wangi dupa dan  pendar cahaya kunang-kunang  membuatku… Gamang.

Part-8-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun