Seorang pejabat suatu departement tertangkap tangan oleh kejaksaan karena menerima gratifikasi. Satu persatu aliran uang ditelusuri dari rekening yang disita dan dari situlah saya mendapatkan amplop coklat panggilan pertama untuk hadir ke gedung bundar.
Panggilan pertama tak bisa dihadiri karena bebenturan dengan jadwal perjalanan dinas hingga akhirnya dipanggilan kedua membawa saya menginjakkan kaki untuk pertama kalinya menemui penyidik digedung bundar.
Pemeriksaan Marathon pagi hingga siang dilakukan dengan dasar laporan seorang kontraktor yang terdeteksi memberi gratifikasi kepada sang pejabat dimana sang direktur berdalih pemberian tersebut adalah atas perintah kliennya yang bernama Aryadi Noersaid.
Mungkin sesuai metode penyidikan dimanapun. Penyidik dibuat seolah sibuk dan disetting beralih peran silih berganti. Pemeriksaan harus dimulai dari awal lagi ketika penyidik  pertama mengaku harus hadir dipersidangan kasus lain. Begitu berulang-berulang.
Karrna berstatus sebagai saksi, tak ada satupun penasehat hukum boleh mendampingi.
"Jika anda berpotensi sebagai tersangka barulah anda berhak didampingi pengacara," begitu tegas penyidik.
Panik? nggak. Bila saksi lain berwajah gelisah ketika kami berpapasan di koridor gedung bundar, saya memilih tersenyum tetapi tidak mengacungkan jempol seperti yang dilakukan para tersangka didepan kamera media. Ketika awal muncul ke gedung keramat sejak orde baru itu tak ada satupun wartawan yang mengenali saya, seonggok remahan rengginang diantara kasus-kasus korupsi raksasa.
Enam jam lamanya tanpa jeda membuat pemeriksa yang berganti ganti melirik jam tangannya.
"Anda nggak lapar?" tanyanya. Saya menggeleng meskipun perut terasa kosong.
"Itu ada nasi kotak, makan dulu ya pak!" sapanya lagi sambil menunjuk lima hingga enam nasi kotak yang tergeletak diatas meja sebelah.
"Saya nggak selera makan, nanti saja setelah selesai," jawab saya.
"Selesainya bisa malam,"
"Ya sudah, kalo begitu saya puasa saja,"
"Stress ya pak?"
"Nggak.. sama sekali nggak. Malah kayaknya bapak dan teman-teman bapak yang stress dari tadi periksa saya gantian padahal sibuk mau sidang," jawab saya.
"Wah.. gawat kalau begini," keluhnya spontan.
"Gawat kenapa pak?" tanya saya heran.
"Kalau bapak nggak mau makan. Terus... siapa yang mau bayar nasi kotak sebanyak itu?" saya tak mampu menterjemahkan pertanyaan itu bercanda atau serius.
"Maksudnya?" tanya saya lagi.
"Ya sudahlah kita break dulu, saya lapar. Tapi siapa yang mau bayar nasi kotak ini niiih?"
"Hahaha.. kalo saya yang bayar nanti saya kena pasal. Dipanggil lagi sama  kejaksaan,"
"Bercanda pak, bercanda.. nggak usah serius!" seru penyidik.
"Yang serius kan bapak... dari tadi tanya-tanya saya terus. Saya sih santai saja. Orang lain yang transfer duit, saya yang kena perkaranya. Kok bapak gak cross cek dulu sama orang yang ngaku-ngaku saya suruh?"
"Nanti ada gilirannya. Sudah ah... saya lapar. Break dulu," Penyidik menghentikan sesi pertanyaan dan beringsut kemeja sebelah mengambil nasi kotak.
"Beneran nggak lapar pak?" tawarnya lagi. Saya tersenyum sambil tetap menggeleng.
"Makan ajaa.. saya yang bayar deh!"
"Maaf pak Jaksa... saya puasa saja,"
"Haduuh.. gawaat.. gawaat!"
-From the desk of Aryadi Noersaid-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H