"Andonesi...?" beliau bertanya
"Aiwa...Indonesia!" angguk saya.
"Siapa namamu?"
"Aryadi"
Ia yang tengah duduk pada sebuah kursi kecil lalu memiringkan tubuhnya sambil menunjuk kerumunan orang yang tengah menangis.Â
Dalam bahasa arab bercampur Bahasa Indonesia yang terpatah ia menasehati bahwa apa yang dilakukan kerumunan itu tidak patut ditiru. Mereka meminta kepada benda mati, kepada dinding dan kepada seonggok kayu mimbar.
"Memintalah kepada Allah, bukan pada dinding, bukan pada mimbar bukan pula pada batu ka'bah!" bebernya dengan bahasa campur aduk yang anehnya saya memahaminya.
"Kamu dari tadi dikerumunan orang itu duduk mau apa? Saya minta Askar menjemput kamu," tanyanya.
"Mau Shalat di Raudah, ditempat sajadah dimana Rasul memimpin sahabat shalat jamaah. Tapi saya rasa tidak mungkin melakukannya. Malam ini begitu banyak orang, lagipula saya juga harus membimbing orang tua dibelakang saya ini," saya menunjuk pak Ade yang masih menggenggam gamis saya.
Siapa Muslim yang tak ingin menunaikan shalat tepat di sajadah dimana junjungannya yang mulia Rasul Muhammad menunaikan shalat. Romantisme itu priceless dan sangat terbatas kesempatannya.
"Diantara rumahku dan mimbarku ada raudah min riyadhil jannah (sebuah taman diantara taman-taman surga)" - HR Bukhari