Kami yang datang semua tercekat mendapati kesunyian apalagi ketika pemilik memberitahu bahwa listrik hanya ada lewat pukul enam sore saja dan akan menghilang pukul enam pagi esoknya. Tetapi semua itu tak berarti apa-apa ketika kami mendapati bentangan didepan kamar yang hanya tersedia dua kamar saja.
Dunia begitu indah dengan hamparan hijau bukit Taman Nasional Karimunjawa. Didepan dan dibawah kamar kami karang-karang hidup dengan ikan-ikan berwarna-warni serta sesekali terlihat ikan Pari yang menyusuri dasar laut yang dangkalnya satu  meter saja. Disaat itu juga kami menyatakan listrik adalah urusan pelengkap saja.
"Bagaimana mungkin sampeyan bisa menjual keindahan ini keseluruh dunia dengan keterbatasan ini mas?" tanya saya kepada Mas Tono.
"Itulah, beberapa penduduk sini menjuluki saya orang gila," Mas Tono tertawa tetapi tersimpan kepuasan mendapati bahwa kami tidak kecewa atas keterbatasan yang ada.
Kalaupun ingin makan diluar mie instan dan sarapan roti home made ala inggris buatan Astrid maka kami harus mau mengarungi pejalanan yang penuh tantangan ke kota.Â
Anehnya kami sekeluarga segera berunding dan malah berencana memperpanjang  untuk tinggal ditempat itu dua hari lebih lama dari tiga hari yang seharusnya.  Tetapi empat orang Jerman akan tiba begitu kami pergi meninggalkan tempat ini dalam tiga hari kedepan.
"Sudah full book mas," sahut Mas Tono. Wow..saya menghitung tak akan lebih 1000 Â orang setiap tahunnya yang bisa merasakan bagaimana keindahan bumi dan airNya dari sini.
Kami seperti hidup diabad delapan belas dimana lampu pijar baru saja ditemukan oleh Thomas Alpha Edison tetapi disitulah indahnya. Hanya saja satu-satu penanda kami hidup dijaman modern adalah kerlap-kerlip sebagian pucuk tower milik salah satu provider telephone seluler yang mengirimkan signal 4 G dari balik sisi barat bukit.Â