Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Catatan Tepi dari Caribbean Van Java, Surga yang Terapung

6 Januari 2018   16:14 Diperbarui: 7 Januari 2018   00:38 1028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Udara laut menyeruak, angin dan air hanya yang bisa didengar dan kami disambut oleh seorang perempuan muda asal inggris yang ternyata adalah Istri Mas Tono, Astrid namanya. 

Kami yang datang semua tercekat mendapati kesunyian apalagi ketika pemilik memberitahu bahwa listrik hanya ada lewat pukul enam sore saja dan akan menghilang pukul enam pagi esoknya. Tetapi semua itu tak berarti apa-apa ketika kami mendapati bentangan didepan kamar yang hanya tersedia dua kamar saja.

Dunia begitu indah dengan hamparan hijau bukit Taman Nasional Karimunjawa. Didepan dan dibawah kamar kami karang-karang hidup dengan ikan-ikan berwarna-warni serta sesekali terlihat ikan Pari yang menyusuri dasar laut yang dangkalnya satu  meter saja. Disaat itu juga kami menyatakan listrik adalah urusan pelengkap saja.

"Bagaimana mungkin sampeyan bisa menjual keindahan ini keseluruh dunia dengan keterbatasan ini mas?" tanya saya kepada Mas Tono.

"Itulah, beberapa penduduk sini menjuluki saya orang gila," Mas Tono tertawa tetapi tersimpan kepuasan mendapati bahwa kami tidak kecewa atas keterbatasan yang ada.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Saya membayar sebuah kegilaan, dan ini sebuah keterbatasan yang teramat murah harganya dibanding keindahan yang ada. Bayangkan, berlibur ditempat yang kita harus mengarungi bukit dengan sepeda motor, menerobos  hutan, lalu berjalan kaki di antara pohon-pohon bakau sampai mendapati tempat sunyi yang siang hari tak ada listriknya. 

Kalaupun ingin makan diluar mie instan dan sarapan roti home made ala inggris buatan Astrid maka kami harus mau mengarungi pejalanan yang penuh tantangan ke kota. 

Anehnya kami sekeluarga segera berunding dan malah berencana memperpanjang  untuk tinggal ditempat itu dua hari lebih lama dari tiga hari yang seharusnya.  Tetapi empat orang Jerman akan tiba begitu kami pergi meninggalkan tempat ini dalam tiga hari kedepan.

"Sudah full book mas," sahut Mas Tono. Wow..saya menghitung tak akan lebih 1000  orang setiap tahunnya yang bisa merasakan bagaimana keindahan bumi dan airNya dari sini.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Maka empat hari tiga malam kami berkutat pada kesunyian. Menghindari keramaian dan menikmati matahari yang melintas dan bulan yang bergerak pelan dari atas susunan kayu-kayu diatas laut yang menawarkan keindahan yang tiada penah kami temui dimanapun juga. 

Kami seperti hidup diabad delapan belas dimana lampu pijar baru saja ditemukan oleh Thomas Alpha Edison tetapi disitulah indahnya. Hanya saja satu-satu penanda kami hidup dijaman modern adalah kerlap-kerlip sebagian pucuk tower milik salah satu provider telephone seluler yang mengirimkan signal 4 G dari balik sisi barat bukit. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun